Kala itu, ada pertanyaan yang muncul dari seorang sahabat penulis yang hidupnya penuh dengan tanda tanya terhadap apa sebenarnya di balik semua status quo ini? Tidak jarang kita acap kali menolak ada tipe kawan yang seperti ini. Mungkin kita dibuatnya lelah oleh pertanyaan yang muncul darinya secara bertubi-tubi. Tapi itulah memang indahnya ketidaktahuan, sehingga hasrat dalam diri selalu bertanya-tanya walaupun memang jawaban tersebut sudah ada dalam kepalanya. Hanya saja tersembunyi oleh bintik-bintik kekhilafan.
Ia bertanya, “Sebetulnya kenapa Allah menciptakan kenikmatan di surga padahal di dunia sudah ada dosa yang membuat hati nikmat?” Singkatnya begitu.
Tabiat hidup seorang manusia memang menyukai kenikmatan walaupun berderai derita mesti dilewatinya. Begitupun Allah juga menginginkan hamba-Nya agar bahagia dalam hidup yaitu dengan adanya ampunan Allah yang luas [QS. Hud:3]. Diutusnya para Rasul dan Nabi [QS. Al-An’am:48] dan diturunkannya Al-Qur’an [QS. As-Sajdah:3]. Kunci kebahagiaan itu terletak pada niat serta memahami dan menjalankan teorimu (alasan manusia diciptakan).
Tidak Cukup Hanya Memahami
Lalu mengapa kita mesti menderita dengan berbagai cobaan di dunia untuk mencapai surga yang penuh kenikmatan? Apakah ada orang yang sasaran hidupnya tidak ingin bahagia? Tentu ada. Yaitu orang yang salah identifikasi tentang apa itu bahagia.
Semisal. Kita mengetahui bahwa puasa Senin-Kamis itu bagus. Tapi terkadang kita melaksanakan puasa sunah itu ketika ada masalah, shalat tahajud pun ketika sedang merasakan kemelaratan. Menurut Al-Farabi, kamu tidak cukup jika hanya mengerti dan paham teorinya. Tetapi juga harus niat dan menjalani teori masing-masing. Terlebih mencintainya.
Di sini kehendak menjadi kunci. Kamu ingin bahagia atau tidak? Kita tahu kalau hafal Al-Qur’an itu mendapatkan banyak kebahagiaan dunia akhirat, tapi kamu juga harus menjalani hafalan Al-Qur’an dari awal. Tidak cukup berteori tentang demokrasi, kamu juga harus hidup secara demokratis. Tak cukup jua teori tentang anak sholeh, yang penting adalah kita melaksanakan amalan-amalan anak sholeh.
Begitupun dalam kelas perkuliahan maupun dalam majelis kajian. Mungkin kita tahu dan sadar ketika dalam kelas akan melakukan apa yang sudah disampaikan pengajar, tapi setelah keluar dari majelis tidak jalan, bahkan parahnya lupa. Sebab dalam diri, belum berkehendak untuk menerjemahkan itu dalam kehidupan.
Dan itu dapat menjadi sumber masalah ‘mengapa kamu tidak bahagia?’ karena ideal yang ada di kepala dan hatimu ternyata tidak selaras dengan praktik dan kebiasaan dalam hidup sehari-hari. Artinya, lakukanlah perubahan akhlak mulai dari kesadaran hati. Karena kebahagiaan dapat ditemukan seiring dengan berjumpanya penderitaan dan cobaan yang ada.
Derita adalah Irama Hidup
Mengikuti keinginan dunia memang tidak ada habisnya, ibarat kita mengejar bayangan yang di depan yang tidak akan tercapai kecuali kita berpaling arah. Belum lagi hadirnya hawa nafsu dalam diri yang dituruti terus menerus yang semakin dibuatnya tenggelam dalam kesengsaraan, terlebih jauh dari peringatan Allah Swt. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. An-Nur: 40.
“Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang-gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun”. [QS. An-Nur: 40].
Andaikata kita berpandangan bahwa hidup ini akan nikmat seterusnya sesuai kenikmatan yang kita tafsirkan, maka kerja-kerja peradaban itu tidak akan hadir sebagaimana yang kita temukan dalam rentetan perjalanan sejarah manusia.
Arthur Schopenhauer pernah menulis tentang “The World as Will and Idea”. Dalam tulisannya, disebut bahwa hidup ini digerakkan oleh keinginan kita. Sampai hari ini, kita masih hidup bergerak aktif karena hadirnya keinginan.
Namun, tidak semua keinginan itu akan terpenuhi. Implikasinya akan melahirkan kekecewaan-kekecewaan. Lahirlah kesedihan yang kemudian berubah menjadi penderitaan.
Tidak jarang, ada yang berpikiran ingin bunuh diri karena menilai hidup ini semua isinya adalah penderitaan. Jangan dikira bunuh diri itu bebas dari penderitaan. Justru ia membuat kita terjebak pada keinginan yang lain. Keinginan untuk mati, keinginan untuk bebas dari masalah ketika sudah mati.
***
Lalu, bagaimana agar terlepas dari penderitaan? Mengakhiri hidup bukanlah solusi. Asal muasal penderitaan berawal dari keinginan yang tidak tercapai. Maka, kita harus mampu mengontrol keinginan kita. Senjata dari pengendalian itu terletak pada hawa nafsu. Janganlah memiliki keinginan yang utopis untuk diwujudkan. Sebagaimana dua perkara yang ditakutkan oleh Rasulullah kepada umatnya, yaitu thulul amal (panjang angan-angan) dan mengikuti hawa nafsunya.
Singkatnya, memang hidup ini memiliki nilai penderitaan yang bertujuan agar manusia dapat berpikir dan menemukan alasan mengapa ia hadir di dunia dengan survive pada beberapa level ujian.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” [QS. Al-Baqarah: 214].
Cobaan Hidup dan Pola Pertolongan Allah
Setiap manusia memang memiliki masa di mana menginginkan kestabilan dalam menjalankan hidup. Lebih detailnya, ingin menjalani hidup penuh dengan kebahagiaan. Namun yang dimaksud stabil ini bukan berarti tanpa ada kegelisahan. Malah, kegelisahan dan penderitaan itu sangat dibutuhkan oleh manusia. Pagi sampai ke siang dan siang sampai ke malam, pasti memiliki skala ujiannya masing-masing. Sebagaimana yang disinggung ayat di atas (QS. Al-Baqarah: 214).
Dasarnya, hidup itu bukan kenikmatan. Esensi nomor wahid dari hidup adalah perjuangan. Perjuangan itu harus dilakukan sampai kita merasakan kenikmatan atas jerih payah ikhtiar kita. Tuntutan hidup bukanlah nikmat dan kemenangan, melainkan diawali dengan perjuangan. Semua langkah perjuangan sudah dijamin oleh Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Syukur jika sifat Rahman dan Rahim-Nya menjadi bagian dari jiwa kita yang utama.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dalam QS. Al-Baqarah: 214, yang dimaksud dengan al-ba’sa’ ialah kemiskinan. Sedangkan adh-dharra’ artinya rasa sakit. Serta zulziluu, yakni digentarkan oleh musuh-musuh dan diuji dengan ujian yang sangat berat.
Dalam hadis sahih dari Khabab ibnul Arit, Rasul menceritakan kepadanya bahwa sebelumnya terdapat orang yang digergaji dan terbelah kepalanya hingga di antara kedua kakinya. Tapi, hal itu tidak memalingkannya dari akidah Islam. Dan Demi Allah, Allah akan menuntaskan semua perkara ini dengan berserah dirinya manusia kepada pertolongan Allah.
Seiring dengan firman Allah tentang pertolongan, “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat”. Firman ini seperti firman yang lain, “Sesungguhnya, bersama kesulitan itu ada kemudahan dan sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.
Bahkan, Allah pun heran terhadap tingkah laku kita setelah melewati ujian dan mendapatkan pertolongan Allah. Dalam Tafsir Ibnu Katsir mengutip hadis, “Tuhanmu heran terhadap keputusasaan hamba-hamba-Nya dan kecepatan datangnya pertolongan. Allah melihat mereka yang berputus asa, kemudian Dia pun tertawa karena Dia mengetahui bahwa pertolongan sudah dekat.”
Editor: Yahya FR