Masih pada pembahasan mengenai kisah suatu negeri yang didatangi tiga rasul. Pada artikel sebelumnya, dijelaskan bahwa sebagian penduduk negeri menolak kehadiran mereka. Dengan mengasumsikan Rasul adalah malaikat. Artikel ini akan mengulas bagaimana penduduk negeri (ahlul qaryah) ini merasa tertimpa kesialan. Kemudian menyalahkan para rasul atas kesialan tersebut. Allah SWT berfirman:
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ () قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Qaaluu innaa tathayyarnaa bikum lainlam tantahuu lanarjumannakum wa layamassannakum minnaa ’adzaabun aliiim. Qaaluu thaairukum ma’akum a‘in dzukkirtum bal antum musrifuun.
Artinya:
“Mereka (penduduk negeri itu mengusir para utusan seraya berkata),”Sesungguhnya kami bernasib sial karena kamu, (sehingga) jika kamu benar-benar tidak berhenti (menyeru kami beriman atau memercayai Hari Kiamat), tentu kami akan merajam kamu dan kamu tentu akan benar-benar mendapat siksa yang sangat pedih dari kami. Mereka (para utusan) berkata:”Kesialan kamu itu adalah bersama kamu (yakni bahwa ia adalah sikap batin dan perbuatan buruk kamu sendiri). Apakah jika kamu diberi peringatan, (kamu menuduh kami sebagai penyebab kemalangan kamu?) sebenarnya, kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yasin ayat 18-19)
***
Atas dasar riwayat dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, Ibnu Jarir al-Thabari menerangkan bahwa para penduduk Anthiokia merasa tertimpa kesialan. Yang mana, disebabkan utusan-utusan dan ajaran yang disampaikan kepada mereka. Karena keyakinan ini, penduduk Anthiokia mengancam para utusan seraya seolah berkata, “Jika kalian tidak berhenti tentang apa yang kalian bicarakan dan atas pengakuan kalian sebagai rasul dengan tidak menghiraukan tuhan-tuhan kami dan mencegah kami untuk menyembah tuhan-tuhan kami, maka sungguh kami akan merajam kalian dengan batu dan menyiksa kalian dengan pedih.”
Masih dari riwayat yang sama al-Thabari meneruskan penjelasannya, kemudian para utusan tersebut menjawab tuduhan dengan berkata, “segala perbuatan kalian, rezeki yang kalian peroleh, kebaikan dan keburukan yang menimpa kalian adalah bersama kalian, tidak ada hubungannya dengan kami. Jika kalian tertimpa suatu kemalangan maka itulah yang telah tertulis atas kalian.”
“Pantaskah bila kami menyampaikan ajaran Allah SWT lalu kalian menyalahkan kami atas kemalangan yang menimpa kalian? Sungguh kalian adalah orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Swt dan pendosa yang dosa-dosa itu telah meliputi kalian.”
Terkait jawaban para rasul Al-Qusyairi menerangkan bahwa ketika penduduk mengancam akan merajam mereka, para rasul tersebut menjawab, “sungguh atas kebebalan dan kesemena-menaan kalian, kalian akan mendapatkan apa yang kalian perbuat.”
***
Al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menjelaskan bahwa persoalan menyalahkan (blaming) penduduk Anthiokia kepada para utusan merupakan adat jahiliyah yang sering dicontohkan dalam al-Quran. Menurutnya hal ini juga menimpa Nabi Musa yang disalahkan Bani Israil, dan juga menimpa Nabi Muhammad SAW ketika disalahkan oleh penduduk Mekah. Kemudian terkait dengan jawaban para rasul, al-Zamakhsyari menerangkan bahwa kemalangan tersebut bukan karena adanya para rasul, melainkan karena sikap mereka yang berlebih-lebihan.
Terhadap penjelasan ayat 18 surat Yasin ini, Thahir Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa akibat dari adu argumentasi sebagaimana digambarkan pada ayat sebelumnya, penduduk durhaka ini kemudian mencari-cari kesalahan para utusan tersebut sehingga mereka merasa tertimpa kesialan karena kedatangan dan ajaran yang disampaikan. Hal ini lalu dibantah sendiri oleh para rasul pada ayat berikutnya.
Mengenai makna kata tathayyarna pada ayat 18, menurut Ibnu ‘Asyur kata ini bermakna takalluf mu’rifah dalalat al-thayryang artinya beban/kebiasaan untuk mengetahui tanda dari seekor burung. Apakah pada hari itu akan mendapatkan keberuntungan atau kerugian yang didasarkan pada arah burung tersebut melaju. Atas dasar inilah kemudian kata tathayyara menjadi berkonotasi negatif dengan makna kesialan.
***
Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengna kata tathayyarna adalah nasib. Orang-orang jahiliah pada zaman dahulu ketika ingin bepergian memiliki kebiasaan untuk melepas burung. Jika burung tersebut terbang dariarah kanan ke kiri maka itu pertanda baik. Tetapi jika dari arah kiri ke kanan maka mereka percaya hal itu adalah pertanda buruk. Menurut Shihab dalam konteks ayat ini kata tathayyarna bermakna nasib sial yaitu seperti wabah penyakit, paceklik, dan sebagainya.
Menurut M. Quraish Shihab kedua ayat ini hendak menegaskan bahwa ajaran para rasul sejak dulu hingga Nabi Muhammad SAW menolak kepercayaan tentang sial. Sial adalah kemusyrikan, bukan dari ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW secara tegas bersabda: “Tidak ada kesialan; tetapi aku sedang kepada fa’l (optimisme).” Para sahabat bertanya apaka itu fa’l? Nabi menjawab: kalimat yang baik (HR. Bukhari Muslim). Oleh karena itu, menurut Quraish bila ada hal-hal yang tidak menyenangkan atau dianggap negatif, tidak lain kecuali ulah dan dampak buruk dari perbuatan manusia sendiri.
Selanjutnya klik di sini