Tafsir

Tafsir tentang Amar Ma’ruf

7 Mins read

Kata ma’ruf cukup bayak disebut dalam Al-Qur’an. Misalnya saja, dalam surat al-Baqarah disebut 15 kali. Dalam setiap kali penyebutan, maknanya diberi konteks tertentu. Jika kita hanya melihat terjemahan harfiyahnya saja, maka maknanya menjadi terlalu umum atau abstrak.

Untuk mengetahui maknanya yang lebih konkret kita harus melihat konteksnya. Misalnya sajasurat al Baqarah/2:263 (juga pada ayat 235; surat Al-Nisa/4:5 dan 8; dan Surat Muhammad/47:21) terdapat perkataan qawlun ma’ruf yang artinya secara harfiyah adalah “perkataan yang baik.”

Tetapi apa yang dimaksudkan dengan itu? Apakah perkataan yang baik itu adalah yang lembut, sopan, menyenangkan hati, indah susunan kata dan ungkapanya atau apa?

Dalam surat al-Bagarah/2:263 hanya disebut demikian:

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى ۗ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ

Artinya : Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang di iringi oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

Dalam ayat tersebut hanya disebutkan “perkataan yang baik” (qawl-un ma’ruf) saja. Kata ini seringkali tidak diterjemahkan dan dibiarkan saja terbaca ma’ruf. Karena itu kita harus mencari maknanya dari sudut harfiyahnya dahulu.

Kata ma’ruf berasal dari mashdar ‘a-r-f dan menjadi kata kerja ‘arafa yang artinya: mengetahui (to know), mengenal atau mengakui (to recognize),  melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan (to distern). Sebagai kata benda, yakni ma’ruf artinya menjadi: sesuatu yang diketahui. yang dikenal atau yang diakui. Kata ma’ruf ini ada kalanya juga diartikan sebagai (menurut) nalar (reason), sepantasnya, secukupnya. 

Selanjutnya kita bisa mencari keterangan yang barangkali bisa dijumpai dalam ayat tersebut. Dari ayat 263 surat al-Baqarah di atas, ada keterangan yang berkebalikan artinya dengan qawl-unma‘ruf, yakni shadaqat-in yatba ‘-u ha adza-n, yakni pemberian (shadaqah)  yang diiringi dengan”sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).Di sini kata ma’ruf mengandung konteks tertentu yang dapat kita cari keterangannya dalam surat yang sama pada ayat sebelum dan sesudahnya.

Pada ayat sebelumnya (ayat 262) dan sesudahnya (ayat 270) terdapat keterangan sebagai berikut: 

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَآ أَنفَقُوا۟ مَنًّا وَلَآ أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan allah, kemudian mereka itu tidak mengiringi apa yang dinafkahkanya itu dengan menyebut-nyebut pemberian dan tidak menyakiti (perasaan si penerima), maka mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka. Tidak ada ke khawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ ۗ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Apa saja kamu nafkahkan atau apa yang kamu nadzar-kan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang yangberbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.” (Al Baqarah : 270).

Dua ayat di atas memberikan latar belakang munculnya perkataan ma’rufyang dilekatkan kepada ucapan atau perkataan. Pokok persoalannya berkisar pada suatu perbuatan baik yang bernama shadaqah. Sudah jelas bahwa memberi sedekah itu baik. Namun jika perbuatan baik itu tidak disertai dengan menyebut-nyebut pemberiannya itu dan tidak diiikuti dengan perkataan yang menyakitkan hati si penerimanya maka yang berbuat demikan akan memperoleh pahala di sisiTuhan. Maka perkataan yang baik (qawl-un ma ‘ruf) itu lebih baik dari pemberian yang disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati.

Baca Juga  Keunikan Bahasa Al-Qur’an

Tiga ayat di atas akhirnya dirumuskan dengan sebuah petunjuk positif, sebagaimana terbaca dalam ayat 264: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena Riya (pamer). kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu adalah seperti batu yang licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan deras, lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah lagi). Mereka itu tidak menguasai  sesuatu pun dari apayang mereka usahakan, dan Allah tidakmemberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al Baqarah :264) .

Ayat ini memberikan petunjuk,bukan terutama petunjuk untuk memberikan sedekah, melainkan jika memberi sedekah janganlah disertai dengan menyebut-nyebut pemberiannya itu. Perbuatan seperti itu disebut ri‘a (riya). Juga supaya jangan disertai dengan perkataan yang bernada melecehkan. Itu lah keterangan artikata “perkataan ma’ruf’ dalam arti bentuk kebalikannya. 

Contoh lain dari penggunaan kata ma‘rufadalah bersangkutan dengan pengurusan harta anak yatim, sebagaimana tercantum dalam surat al-Nisa’/4:6 :

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai cukup umur mereka (cukup untuk kawin), maka bila engkau ketahui di antara mereka telah cukup pandai(mengurus harta mereka), maka serahkanlah harta- harta mereka itu. Dan janganlah kamu menggunakannya lebih dari batas kepatutan. Dan (jangan kamu) tergesa-gesa menyerahkan harta itu sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemelihara harta itu) yang cukup mampu, maka hendaklah ia menahan diri, dan barangsiapa miskin, maka ia boleh memakai harta itu menurut yang patut (ma’ruf. Kemudian bila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka adakanlah saksi-saksi atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.” (An-Nisa :6).

Dalam konteks ayat ini, ma’ruf mempunyai arti dan maksud tertentu yang lain lagi berhubungan dengan konteks penggunaankata tersebut. Secara harfiyah. terjemahannya adalah “patut” atau “pantas”’ atau “sepantasnya,” menurut akal sehat atauberdasarkanpendapat Hamka-menurut yang dapat diterima oleh masyarakat. Dalam ayat ini ada keterangan yang berkebalikan dengan makna ma’ruf; yakni israf yang artinya adalah berlebih-lebihanatau dalam kutipan ini diterjemahkan dengan “lebih dari batas kepatutan.” 

Dalam berbagai ayat dalam surat al-Baqarah kata ma’ruf juga berarti kepatutan. Sebagai contoh, dalam perceraian, hendaknya perempuan yang diceraikan itu mendapatkan mata’ (Pemberian) yang sepantasnya, “sebagai kewajiban orang-orang yang bertaqwa” (Qs. a.l-Baqarah/2:241). Apabila orang ingin merujuk kembali dengan istrinya yang telah ia jatuhi talak,sebelum yang ketiga kalinya, hendaklah ia merujuk dengan cara yang baik (ayat 231); apabila seseorang hendak meminang dan memberitahukan maksudnya itu kepada seseorang perempuan yang ia minati, maka hendaklah ia menyampaikannya dengan kata-kata yang baik (ayat 235); besarnya mahar atau mas kawin juga bisa sesuai dengan kemampuan seseorang, tetapi pemberian itu hendaklah yang pantas” (ayat 236). Disebutkan juga bahwa “para wanita itu mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya m

Baca Juga  Kisah Perempuan yang Diabadikan dalam Al-Qur’an

enurut cara yang patut atau ma’ruf(ayat 237). Sementara itu dalam surat al-Baqarah juga, disebutkan agar memberikan wasiat kepada ibu-bapak dan kerabatnya, jika seseorang itu merasa telah mendekati ajalnya (ayat 180). Besar dan jenisnya harus ia pertimbangkan baik-baik menurut azaskeadilan. Jadi ma’ruf itu artikonkretnya adalah juga adil. Dari berbagai ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ma‘rufitu pada hakekatnya adalah azas kepantasan yang menurut Hamka mengacu atau berpedomankepada pendapat masyarakat.

Dengan metode qiyas (analogi), maka azas kepantasan itu yang arti konkretnya tidak berlebihan dan tidak pula kurang atau azas Patut-arti konkretnya bisa yang wajar dan tidak keterlaluan bisa diterapkan di berbagai bidang. Sikap adil merupakan perwujudan dari ma’ruf. Dan ini pun harus menjadipedoman perilaku mereka yang beriman dan bertaqwa. Azas keselarasan, keserasian dan keseimbangan adalah terjemahan yang tepat dari kata ma’ruf. Dan hal ini bisa diterapkan dalam berbagai lingkungan. Seperti yang dicontohkan dalam al-Qur’an, hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk hubungan suami istri, bahkan juga hubungan kekeluargaan, bersandar pada prinsip-prinsip ma‘rufini. 

Ma‘ruf adalah sebuah nilai intrinsik dan bukan sekadar instrumental, yakni nilai yang berdiri sendiri dan bukan hanya muncul dalam kaitannya dengan pemanfaatan. Dalam ayat 114 surat al-Nisa’ (surat ke-4) umpamanya, nilai ma’ru‘f itu disejajarkan dengan nilai-nilai yang lain: 

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka. kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh memberi sedekah atau berbuat ma”ruf, atau mengadakan perdamaian (kerukunan). Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridlaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. ” (An Nisa :114)

Dalam ayat di atas ada bisikan-bisikan yang dianggap baik karena bisikan itu biasanya mengandung keculasan-adalah: (1) bisikan yang menganjurkan orang untuk bersedekah atau memberikan sesuatu, terutama harta atau kekayaan kepada orang lain; (2) berbuat ma‘ruf, dan (3)berbuat ishlah, yang artinya berdamai atau pun mendamaikan orang yang lagi berselisih dan berbeda pendapat. 

Kenapa perbuatan ma’ruf itu sejajar dengan tindakan shadaqahdan ishlah? Bukankah shadaqah dan ishlah itu dapat ditafsirkan “bagai perbuatan baik (ma‘ruf) juga? Dari ayat-ayat sebelumnya Sebenarnya nampak bahwa ma‘ruf itu berkenaan dengan sifat dari satu perbuatan, yakni sifat yang patut, pantas atau adil dari suatu tindakan.

Dengan demikian, maka ma’ruf itu menunjuk kepada cara, pendekatan atau metode yang memberikan kualitas atau kualifikasi dari suatu perbuatan. Pemberian sedekah umpamanya, adalah suatu perbuatan yang baik pada dirinya sendiri. Tetapi kebaikan itu bisa berkurang atau bahkan hapus sama sekali jika dilakukan dengan cara yang tidak baik. Sebaliknya, cerai itu adalah-menurut sebuah Hadits-sebuah perbuatan yang paling dibenci Allah, namun diperbolehkan. Tetapi jika perbuatan cerai itu timbul dari alasan yang baik dan dilaksanakan dengan cara yang baik sehingga menimbulkan kebaikan, teutama bagi perempuan, maka perbuatan itu menjadi Sesuatu yang baik. 

Baca Juga  Benarkah Akal Perempuan Lebih Rendah Daripada Laki-Laki?

Pada surat Luqman/31:15, ma’rufadalah sebuah sifat yangmemberikan kualitas sikap seseorang kepada kedua orangtuanya. Latar belakang dari soal ini dijelaskan oleh ayat 14 yang mengatakan demikian: 

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang (yang menjadi) ibu bapakmu itu. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali.”  (Luqman : 14) .

Ayat di atas menjelaskan salah satu perintah Allah kepada manusia, agar mereka berbuat baik kepada ibu-bapaknya, terutama kepada ibunya yang telah mengandung hingga sembilan bulan dan telah menyapihnya selama dua tahun. Kepada kedua orang tuanya itu Allah memerintahkan untuk bersyukur, didahului dengan syukur kepada Allah. 

Namun, adakalanya seseorang menghadapi masalah tentangkedua orang tuanya itu. Dan masalah yang terberat adalah jika orang  tuanya itu musyrik, kafir, atau fasiq. Dalam kasus berikut ini, masalahnya adalah jika orang tuanya musyrik. Nasehat Allah adalah sebagai berikut (ayat 15): 

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak ada pengetahuan tentang hal itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya; tetapi pergauli lah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kamu kembali, maka kuceritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  ( Lukman : 15)

Jika kedua orang tuanya itu musyrik (bisa juga kafir atau fasiq), maka orang dilarang mengikuti keduanya. Sungguhpun demikian, sebagai anak, seseorang tetap diperintahkan untuk menggauli kedua orang tuanya dengan baik (ma’ruf). Menggauli dengan baik artinya bertutur kata baik, membalas budi dan taat kepada orang tuanya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan akidah dan akhlak yang baik. 

Akhirnya dapat dikemukakan di sini, penempatan oleh Allah konsep ma’rufitu di antara perbuatan-perbuatan baik yang disuruh-Nya atau bay‘ah yang harus diberikan. Sekalipun bay’ah ini menyangkut perempuan, tetapi hal itu berlaku bagi manusia umumnya Rincian bay’ahatau janji setia itu adalah: (1) tidak akan menyekutukan sesuatu pun dengan Allah; (2) tidak mencuri; (3) tidak berzina; (4) tidak membunuh anak-anak (dalam hal perempuan, bisa berbentuk abortus); (5) tidak berdusta yang diada-adakan antara tangan dan kaki (membuat Pengakuan, bersaksi atau tuduhan palsu); dan (6) mendurhaka dalam urusan yang baik (ma’ruf). 

Sekali lagi terbukti bahwa ma’ruf itu adalah sebuah nilai intrinsik, yang berdiri sendiri, sejajar dengan berbagai perbuatan yang baik lainnya lainya. 

.

Sumber: Ensiklopedi al-Qur’an

.

Editor: Azaki Khoirudin
Avatar
5 posts

About author
Muhammad Dawam Raharjdo terkenal sebagai ekonom dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupun tentang agama Islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI se-Indonesia, pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, dan ketua yayasan ELSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat).
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds