Tafsir

Tafsir Waqfi: Jalan Tengah Menyikapi Berbagai Penafsiran Al-Quran

4 Mins read

Di antara solusi dalam menyikapi atas berbagai penafsiran Al-Quran adalah waqf. Waqf ini meskipun sudah lazim di dalam pembacaan Al-Quran, akan tetapi berperan penting dalam pengambilan jeda (waqf) maupun kegiatan tafsir itu sendiri. Maka tak heran, jika Gus Baha mendaku dirinya termasuk mufasir yang setuju dengan teori bahwa tafsir itu pakai qath’i atau waqf.

Di lain itu, Gus Baha’ juga mengetengahkan keunggulan Al-Quran dari sisi balaghah. Menurutnya, balaghah Al-Quran bernilai sastra yang tinggi. Ambil contoh Surat Yasin, di dalam surat tersebut terdapat ayat yang berbunyi,

فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ

Maka, jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Nabi Muhammad) bersedih hati. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan (Q.S. Yasin [36]: 76).

Ayat tersebut menurut orang ‘alim, lanjut Gus Baha’, harusnya terdapat tanda waqf. Sebab setelah perkataan itu (fala yahzunka qauluhum) bukan perkataan orang kafir sehingga orang ‘alim bisa mengenalinya sebab waqf. Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir menjelaskan makna redaksi fala yahzunka qauluhum adalah ucapan kaum kafir quraisy yang mendustakan dakwah Nabi saw dan kekafiran mereka kepada Allah. “Jika kamu washal-kan inna na’lamu maka itu kesannya ucapan orang kafir. Padahal inna na’lamu itu sudah firman Allah”, tutur Gus Baha.

Pengertian Waqf

Secara bahasa, Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan waqf berasal dari kata waqfa-yaqifu-waqfan, memiliki beberapa makna, di antaranya berdiri (khilāf al-julūs), menahan (al-ḥabsu) dan diam (as-sukūt). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat terutama ulama ahli qiraat yang nanti akan kami ketengahkan dalam penjelasan berikutnya.

Di dalam Al-Quran, kata waqf dan berbagai derivasinya terulang sebanyak empat kali; Q.S. Al-An’ām [6]: 30 dan 37; Q.S. Sabaʹ [34]: 31; dan QS. Al-Ṣaffāt [37]: 24. Semua ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan Abd al-Rasūl ‘Abaʹī, al-Waqf wa al-Ibtidāʹ fī al-Qurʹān al-Karīm Dirāsatan wa Taṭbīqan yang dikutip Istiqomah dalam Waqf dan Ibtidā’ dalam Mushaf Al-Qur’an, menunjuk pada makna al-ḥabs wa sukūn al-ḥarakah, yaitu menahan dan berhenti dari melakukan suatu perbuatan.

Baca Juga  Kesan Mendalam Al-Qur’an Ketika Membahas Perempuan

Dalam pendapat yang lain disebutkan, Al-Asymunī, misalnya, dalam Manār al-Hudā fī al-Waqf wa al-Ibtidā menjelaskan bahwa al-waqf bermakna al-kaff, yaitu menahan. Dalam arti, menahan dari segala perbuatan maupun ucapan. Adapun secara istilah waqf adalah

والوقف عبارة عن قطع الصوت على الكلمة زمنا يتنفس فيه عادة بنية استئناف القراءة، إما يلى الحرف الموقوف عليه أو بما قبله لا بنية الإعراض، ويأتي في رؤوسي الآي وأوساطها ولا يأتي في وسط كلمة ولا فيما اتصل رسما ولا بد من التنفس معه

“Waqf ialah menghentikan suara pada suatu kata (ketika membaca Al-Qur’an) sekedar untuk menarik nafas dengan niat meneruskan bacaan-langsung pada kata berikutnya atau dengan mengulang kata sebelumnya- bukan untuk menghentikannya. Hal ini boleh dilakukan pada akhir ayat dan pada pertengahannya, namun tidak boleh dilakukan di pertengahan kata dan kata yang bersambung tulisannya, juga harus disertai dengan menarik nafas.” (Ibn al-Jazarīy, an-Nashr fī al-Qirā’āt al-‘Ashr, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), juz I, hal 189 dikutip dari Istiqomah dalam Waqf dan Ibtidā’ dalam Mushaf Al-Qur’an).

***

Ringkasnya, Ibn al-Jazarīy menganggap waqf sebagai salah satu aktivitas yang diperbolehkan dalam membaca Al-Qur’an, yaitu berhenti membaca –pada akhir ayat atau pertengahannya – dengan syarat dilakukan pada huruf terakhir dari suatu kata, disertai dengan menarik nafas

Lain halnya dengan Zakariyyā al-Anṣārīy (w. 926 H.). Dalam al-Maqṣid Litalkhīṣ Mā fī al-Murshid, Syekh Zakariya, sebagaimana dikutip Istiqomah, yang memiliki dua definisi berbeda dalam menjelaskan pengertian waqf, yaitu waqf yang menggunakan kata qaṭ’i dan saktah sekaligus dalam mendefinisikan waqf dalam definisi pertama, serta tidak membatasinya dengan syarat tertentu sebagaimana Ibn al-Jazarīy. Hal ini mengisyaratkan bahwa ia sependapat dengan mayoritas ulama mutaqaddimīn bahwa waqf semakna dengan qaṭ’i dan saktah (lihat Ibn al-Jazarīy dalam an-Nashr fī al-Qirā’āt al-‘Ashr).

Baca Juga  Rupa Ragam Hujatan ke Tafsir Zamakhshari

Implikasi Waqf terhadap Penafsiran Al-Quran

Dalam hal ini, kami menyodorkan ayat tentang ketertarikan Zulaikha atas Nabi Yusuf dan sebaliknya,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.369) Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Q.S. Yusuf [12]: 24)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. mempunyai keinginan yang buruk terhadap perempuan itu, tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga sekiranya dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah Swt., tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.

Menurut Gus Baha, ayat tersebut justru menunjukkan keduanya saling tertarik. Zulaikha sangat tertarik dengan ketampanan Nabi Yusuf sehingga menarik kainnya dari depan, namun karena Nabi Yusuf dikuatkan imannya oleh Allah, maka ia tidak sampai melakukan perbuatan zina. Lalu Gus Baha menganalogikannya dengan umumnya sifat laki-laki. Laki-laki pada umumnya jika melihat wanita cantik setengah telanjang, kata Gus Baha’, pasti agak “kepikiran”. “Andai itu kamu, terus bagaimana”, tutur Gus Baha’.

Maka, ayat semacam itu solusinya satu, menurut Gus Baha’, yaitu waqf. Karena itu, ulama ada yang membacanya diwaqafkan untuk menghindari salah penafsiran. Walaqad hammat bihi, menggunakan lam dan qad, “Dan zulaikha sungguh sangat menginginkan Yusuf”, sampai di sini waqaf. Lalu wa hamma biha laula an ra burhana rabbihi, Nabi Yusuf pun ingin andaikan dia tidak tahu/ melihat (tanda) dari Tuhannya. “Berarti mafhumnya, Yusuf itu juga syahwat tapi itu andai ia tidak tahu tanda dari Tuhannya. Berhubung ia tahu, maka tidak syahwat. Tapi orang-orang itu baca Al-Qurannya diterabas (diteruskan) saja. Itu andai saya mendengar, “Aduh kacau ini”, ungkap Gus Baha’.

Baca Juga  Ngaji Bareng Kang Boy: Mengenal Tafsir al-Manar
***

Karena itu, di antara solusi mengurai Al-Quran sebetulnya ada solusinya, yaitu kalau anda waqaf secara benar, kata Gus Baha. Makanya menjadi orang alim tafsir itu sangat susah.

Masih dalam penjelasan Gus Baha’, ketika Nabi Yusuf terlintas mulai menyukai dan tertarik kepada Zulaikha, muncullah gambar Nabi Ya’qub, ayah Nabi Yusuf. Nabi Yusuf pun dipukul. Setelah dipukul, lalu sperma Nabi Yusuf keluar berceceran lewat jari Nabi Yusuf. Artinya, hampir saja suka Zulaikha hendak disetubuhi Nabi Yusuf, akan tetapi belum sampai kejadian Nabi Yusuf dipukul ayahnya. “Jadi, orang itu kalau Nabi, meski sudah wafat atau jauh pun tetap mengawasi anaknya. Tahu anaknya akan maksiat oleh ayahnya dipukul. Padahal Yusuf ada di Mesir dan ayahnya ada di Kan’an”, tutur Gus Baha’

Kata Ibn Abbas, sekurangnya ada enam ayat di Al-Quran yang apabila bisa waqaf dengan benar akan masuk surga, di antaranya adalah ayat di atas tentang ketertarikan Zulaikha kepada Nabi Yusuf, dan demikian sebaliknya. Karena itu, masyhur akan kaidah yang berbunyi,

وَلَيْسَ فِي الْقُرْآنِ مِنْ وَقْفٍ وَجَبْ … وَلاَ حَرَامٌ غَيْرَ مَا لَهُ سبب

“Tidak ada waqaf dalam Al Qur’an yang wajib diterapkan dan tidak ada juga yang haram jika berwaqaf, kecuali jika ada alasan tertentu” (Ibn al-Jazary dalam al-Muqadimah al-Jazariyyah)

Sebagai penutup, pada hakikatnya pemilihan jeda (waqf) yang tepat akan terhindarkan dari salah penafsiran dan salah pemahaman. Dan sebaliknya, jika pemilihan waqf tidak tepat dalam pembicaraan antar sesama manusia, misalnya, – seperti dalam contoh di atas – dapat melahirkan pemahaman dan penafsiran yang keliru. Oleh sebab itu, dalam membaca Al-Quran, kata al-Ashmūnīy dalam Manār al-Hudā fī al-Waqf wa al-Ibtidā, penting untuk mengetahui waqf dan ibtida’ sehingga pesan yang terkandung di dalam ayat Al-Quran bisa dipahami secara holistik dan tidak parsial. Wallahu a’lam.

Avatar
33 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds