Di berbagai linimasa media sosial foto tenaga kesehatan dengan membawa kertas bertuliskan tagar #IndonesiaTerserah berhasil viral hingga mendapat perhatian dari media luar negeri. Tagar tersebut juga muncul di story whatsApp dan feed Instagram, warganet-pun menanggapinya dengan beragam komentar.
#IndonesiaTerserah
Ada yang menanggapi foto tersebut dengan kalimat yang cukup mengiris. Seperti kalimat, “Kalau udah nyerah mending resign aja.”
Kalimat tersebut tentu saja melukai rekan tenaga kesehatan se-Indonesia. Segala peluh dan keringat selama mereka mengenakan hazmat seakan sia-sia.
Makna #IndonesiaTerserah mengingatkan saya pada lagu karya almarhum Glenn Fredly yang berjudul ‘Terserah’, di mana ada salah satu liriknya yang bertuliskan “ku tak sanggup lagi, mulai kini semua terserah ho-uu”. Lagu tersebut bercerita tentang seseorang yang dicintainya mencoba bertahan dalam ketidaksetiaan, hingga akhirnya kata terserah menjadi reveal dalam lirik tersebut.
Bagian awal lagu tersebut bercerita tentang pasangan yang sudah berulang kali menyakiti perasaannya. Rasa sakit tersebut tak jauh berbeda ketika tenaga kesehatan melihat kerumunan manusia di mall dan pengabaian masyarakat akan social distance di berbagai daerah di Indonesia.
Saya bahkan tak bisa membayangkan, bagaimana seorang perawat terpaksa menahan rindu untuk tidak mencium anaknya yang masih kecil. Dalam goggle dan faceshield yang dikenakannya terkadang ia menangis menahan rindu tanpa bisa menyeka air matanya.
Perjuangan Tenaga Medis
Sebulan yang lalu saya pernah ditugasi untuk merujuk pasien PDP ke rumah sakit rujukan. Saat itu saya merasakan kurang lebih 3 jam mengenakan hazmat lengkap dengan APD yang lain. Selang 10 menit keringat dari pelipis masuk ke mata saya yang tertutup goggle dan faceshield. Rasa perih itu harus saya tahan sampai hilang dengan sendirinya, karena setelah goggle dipakai peralatan tersebut tidak bisa dilepas secara sembarangan.
Sekitar 3 jam kemudian keringat bercucuran dari tubuh saya. Kaos paling dalam yang saya kenakan sebagai lapis pertama telah basah dengan keringat layaknya anak-anak yang baru selesai main bola saat hujan deras.
Ini baru 3 jam. Bagaimana dengan mereka yang menggunakan hazmat selama 4 jam secara rutin selama 6 hari? Tak hanya keringat, air mata pun tak terbendung karena menahan rindu berminggu-minggu dengan keluarga.
Beruntung saat ini teknologi video call mampu menjadi obat rindu. Andai tidak ada fasilitas videocall, mungkin saja para tenaga kesehatan masih me-manage rasa rindu dengan mengirimkan surat melalui burung merpati.
Namun, dari teknologi itulah tenaga kesehatan mendapatkan serangan dari warganet yang berkomentar secara barbar. Tidak sedikit stigma dari masyarakat yang mengatakan bahwa tenaga kesehatanlah yang membawa virus Corona, sampai pada stigma bahwa rumah sakit memanfaatkan pandemi untuk meraup keuntungan bisnis.
Faktanya, rumah sakit justru kelimpungan ketika masker mulai langka, angka kunjungan menurun padahal kebutuhan APD meningkat. Bahkan ada beberapa rumah sakit yang tidak bisa membayar THR karyawannya.
Parahnya banyak komentar pedas netizen yang melukai petugas medis dengan kalimat, “Kalau udah nggak sanggup, mending resign aja.”
Cinta Tenaga Kesehatan yang Dikhianati
Kalian tahu, kalimat ini seperti saat kita mencintai seseorang sepenuh hati, lalu dikhianati dan dia dengan enteng mengatakan, ‘kalau nggak sanggup mending udahan aja’.
Kalau sudah begini, maka endingnya mudah ditebak. Mereka akan membuat video permintaan maaf di facebook dan membuat surat permohonan maaf bermaterai 6000. Setelah itu masalah dianggap selesai.
Terkadang saya dibuat bingung, sebenarnya apa yang membuat sebagian orang membenci tenaga kesehatan, apa iya kami terlalu menakutkan. Apakah hanya karena sebagian dari kami yang bermain tiktok lantas membuat masyarakat tidak menghargai profesi ini.
Tagar tersebut merupakan wujud sakit hati tenaga medis ketika mendapati perilaku masyarakat yang tidak mengindahkan protokol demi mencegah penyebaran virus yang mematikan.
Ketika tenaga kesehatan menangis dibalik faceshield karena menahan rindu, sebagian masyarakat yang bebal justru tetap berbondong berburu baju baru.
Lantas dengan apalagi kami menyuarakan rasa kecewa ini, kepada siapa kami bisa sambat? Dosakah kami mengekspresikan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang membingungkan, dosakah kami mengekspresikan kekecewaan terhadap masyarakat bebal yang masih membuat kerumunan.
Bukan Tanda Menyerah
Lalu kenapa kami masih tetap bekerja? Karena kami masih ingat pesan almarhum Didi Kempot, di mana patah hati jangan sampai membuat patah semangat, kalau perlu dijogeti. Tentu jangan heran jika kalian melihat video tenaga kesehatan yang menari-nari menghibur diri di berbagai media sosial, tentu saja video tersebut dibuat saat tidak melayani pasien.
Kalaupun ada yang merasa bahwa video tersebut tidak pantas untuk tenaga kesehatan. Tahukah kalian bahwa hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menghibur diri dari kepenatan yang tak berkesudahan.
Sudah banyak tenaga medis baik dokter maupun perawat yang meninggal selama pandemi Covid-19. Bahkan ada di antara jenazahnya yang mengalami penolakan dari masyarakat.
#IndonesiaTerserah bukan pertanda tenaga kesehatan akan melakukan resign berjamaah, #IndonesiaTerserah merupakan sebuah ungkapan di mana tenaga kesehatan tidak mampu merangkai kata kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang bebal.
Editor: Nabhan