“Abah nyerah, Nak! Tolong Abah!” ucapnya memelas saat aku jemput di Stasiun Pasar Senen. “Abah ikut kamu saja, karena kamu satu-satunya harapan yang Abah punya!”
Sudah hampir setahun, Abah menyusulku di Jakarta. Kejadian itu dipicu sejak beliau terlilit utang, dan tak sanggup lagi untuk menutupi utang-utangnya dengan mengutang pihak lain. Abah sudah tidak dipercaya lagi oleh pihak-pihak terkait pemberi utangan. Puncaknya ketika rumah di kampung disita oleh bank.
Utang Ke Bank
Aku tidak tahu dengan tepat alasan beliau meminjam uang ke bank sebegitu banyak. Bahkan sampai berani menggadaikan sertifikat tanah dan bangunan yang dimilikinya. Uang sebanyak itu untuk apa? Abah selalu menutup-nutupi hal itu.
Memang Abah memiliki banyak anak yang jarak usianya saling berdekatan. Sementara pekerjaan beliau hanya jualan bakso keliling. Bayangkan bila jualan sedang sepi! Jangankan untuk belanja lagi esok hari, ada untuk makan lauk tempe goreng saja udah syukur. Kalau kepepet ya kami makan bakso lagi deh.
Seandainya menjadi beliau, aku tidak tahu harus bagaimana. Secara aku baru tiga tahun lulus kuliah, dan belum pernah mengalami tidak berpenghasilan tetap. Setiap bulan aku mendapatkan gaji dan insentif. Enaknya hidupku.
Aku cukup mengenal siapa Abah. Beliau adalah orang yang pemberani yang senantiasa berpikir optimis seperti para pemimpin negeri ini. Laki-laki berkumis tebal itu tidak akan membiarkan anak-anaknya kelaparan atau menangis merengek minta jajan.
Yang menakjubkan, beliau sangat mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Sewaktu aku masih SD, beliau berpesan padaku untuk pergi sekolah yang rajin agar tidak seperti beliau. Entah apa maksud lebih tepatnya, yang pasti aku mengartikan dengan persepsiku sendiri sampai saat ini.
Apa mungkin karena Abah merahasiakan utang-utangnya selama ini? Dan berharap anak-anaknya tidak terlilit utang seperti beliau?
“Bisa jadi utang ke bank itu haram, Nak!” ucap beliau suatu ketika merasa bersalah, “tapi semua itu Abah lakukan agar kamu bisa masuk sekolah favorit.”
Bagaimana aku tidak merasa beruntung memiliki seorang ayah yang sedemikian mencintaiku? Sampai rela bila harus kehilangan segalanya.
Bagaimana jadinya bila saat itu Abah tidak meminjam uang ke bank? Lalu aku masuk sekolah swasta atau bahkan tidak sekolah. Apakah hidupku akan secerah hari ini?
Utang Pemerintah
Ingin sekali aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, namun aku tak tega dengan Abah. Masa iya aku mengatakan, siapa suruh ngutang, Bah? Seandainya aku tidak sekolah pun, belum tentu hidupku akan hina. Pasti ia sangat sedih bila mendengar ucapan itu dariku.
Aku berpikir para pemimpin negeri ini pun sangat mencintai rakyatnya. Dan aku berdo’a mereka tidak lantas menyerah kepada rakyat setelah tidak mampu lagi menutupi utang-utangnya. Samar, ati iki Samar!
Aku masih tercengang dengan langkah pemerintah yang tidak menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan padahal ditandatangani sendiri oleh Pak Jokowi yang mulia. Malah pemerintah menerapkan PSBB dan Darurat Sipil yang terkesan angkat tangan terhadap penjaminan hak masyarakat terdampak Covid-19.
Dari berita itu aku menyimpulkan bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ditambah lagi sempat terbaca kabar pemerintah meminjam uang lagi ke Bank Dunia yang jumlahnya tidak kecil. Sedang susah malah nambah utang? Untuk apa uang sebanyak itu?
Sama persis dengan Abah yang senantiasa memikirkan masa depan anak-anaknya, bukan? Beliau dengan berani mengambil langkah heroik agar anak-anaknya tetap sejahtera. Meski pada akhirnya beliau menyerah di pelukanku sambil mengakui kesalahan.
Abahku yang malang. Sayang sekali anakmu ini bukan orang yang memilki duit sebanyak itu. Sehingga tidak mungkin bisa menutupi semua utang-utang dengan beberapa angsuran saja.
Namun bukan berarti ketidakmampuanku itu akhir dari segalanya. Aku memberikan kesempatan kepada beliau untuk bangkit. Dengan penuh keyakinan utang-utang itu bisa tertutup bila tetap berusaha. Kami memulai bisnis kuliner baru. Dan janji tidak mengambil riba lagi!
“Katakan kepada Tuhan, Bah! Apapun syaratnya, hamba penuhi asalkan dana cair untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan cukup untuk menyicil melunasi utang. Sama kayak sewaktu Abah memohon ke pihak bank.”
Alhasil, kami di Jakarta hidup sederhana sambil memupuk keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi kami hanya Allah yang bisa membuat bahagia, sebab kami merupakan orang-orang yang percaya akan pertolongan Tuhan.
Tak Selamanya Haram
Abah mampu mendidik anak-anaknya untuk hidup seadanya lewat pendidikan agama. Namun apakah pemerintah mampu mendidik bangsa ini agar turut hidup seadanya?
Akan kah ada titik balik untuk bangsa ini? Aku pikir tidak, sebab bangsa ini tidak sesederhana keluarga kami.
Bangsa ini terlalu komplek untuk bisa memahami bahaya riba. Belum lagi sekumpulan orang yang menganggap agama adalah konspirasi oleh pemeluknya. Mana mungkin mereka percaya bahaya riba?
Dan apakah ada jaminan bangsa ini sepakat untuk hidup seadanya? Pemilu sudah kelar saja, masih ada ‘kecebong’ dan ‘kampret’ yang berseteru. Itu menandakan kesepakatan itu sulit dibentuk. Sementara setiap orang masih bisa menerapkan isi kepalanya masing-masing tanpa bisa dibendung.
Bayangkan pula, apakah kita siap bila setiap hari digilir untuk pemadaman listrik demi menghemat energi, misal? Atau yang lebih buruk lagi, misal harga paketan internet Telkomsel naik seratus persen agar pemasukan negara membaik? Oh jangan!
Masih untung pemerintah mengambil utang ke bank sehingga kita tidak akan mengalami kesusahan semacam itu. Langkah pemerintah sudah tepat, bukan? Saya kira sudah sangat tepat.
Aku ini saja yang teramat kaku dalam beragama. Seolah-olah mengharamkan bunga bank. Sebenarnya, perkara bunga bank tidak selamanya haram. Merujuk fatwa para ulama sekelas Syekh Ali Jum’ah, mufti Mesir. Sehingga bunga bank dianggap boleh karena di Mesir memiliki undang-undang perbankan tersendiri sejak 2004. Hal itu disampaikan beliau di Youtube.
Pendapat beliau ternyata banyak dipelintir oleh beberapa oknum yang ingin menghalalkan bunga bank secara umum. Terutama di Indonesia yang sistem audit perbankan syariahnya masih lemah.
Perlunya Rumusan Baru Bank Syariah
Buktinya, kasus yang menimpa Abahku. Beliau mengaku dibiayai oleh sebuah bank syariah untuk modal usahanya, namun beliau tetap saja harus mengembalikan uang beserta bunganya yang tidak relevan dengan keuntungan yang Abah peroleh dari usahanya. Malah terakhir rumah disita, bukannya diberi kelonggaran.
Tentu data itu menunjukkan, perbankan syariah di Indonesia belum ideal. Terlebih lagi Bank Dunia yang tidak diketahui sistem dasar peraturan mereka dalam menjalankan bank, yang dewasa ini bekerjasama dengan Pemerintah RI.
Coba deh renungkan, upaya pemerintah meminjam uang ke bank memang sudah tepat. Namun apakah Bank Dunia menjalankan aturan bank yang sesuai dengan syariah Islam seperti di Mesir, sebagaimana pemaparan Syaikh Ali Jum’ah ketika memberi jaminan di kesempatan itu?
Pinjam meminjam itu baik, bahkan memperoleh pahala bila dilakukan dengan cara yang baik. Aku saja yang selama ini tidak belajar pada bank di negara-negara lain sehingga memaknai Islam dengan kaku. Padahal, perihal bunga bank ini sudah dimusyawarahkan oleh para ulama.
Sebagai rujukan detailnya, ‘Ulaisy Mutawalli Badawi Al-Bunni menjelaskan, pinjaman itu berupa pembiayaan usaha. Sementara bunga bank adalah bagian dari bagi hasil. Nilai bunga ini tidak stabil, namun mengikuti naik turunnya keuntungan perusahaan yang dibiayai oleh pihak bank. Itulah keadilan, pungkas beliau dalam kitabnya.
Aku berharap negara lebih tegas mengaudit perbankan syariah di negeri ini, minimal biar bank-bank syariah itu tidak melanggar undang-undang. Dengan begitu bank syariah akan dipercayai oleh banyak orang, dan bisa menjaga kestabilan ekonomi negara.
Bila perlu pemerintah harus merangkul MUI untuk membahas perumusan undang-undang baru bila ternyata aturan perbankan syariah di Indonesia masih belum lengkap. Minimal ada hasil rumusan baru. Dengan begitu MUI tidak sekadar mengharamkan bunga bank, seakan tidak ada solusi lain.
Aku pikir, kita bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim ini perlu belajar pada negara Mesir. Sehingga kita bisa mengatakan dengan bangga tanpa ragu kalau utang ke bank adalah solusi tepat.
Editor: Nabhan