Dalam bahasa Arab, surga disebut al-Jannah. Jannah sendiri dipahami sebagai al-hadiqatu zati al-syajar (kebun-kebun atau taman-taman yang terdiri dari aneka macam pepohonan dan buah-buahan).
Sebenarnya, pemaknaan tersebut lebih pada memberi gambaran terhadap benak orang-orang Arab, bahwa tempat itu (surga) kontras sekali dengan wilayah Arab yang tandus, kerontang, dan dipenuhi padang pasir.
Kenikmatan yang diberikan Allah SWT di dalam surga bersifat kekal, tidak pernah habis, dan banyaknya tak terhitung. Dari semua kenikmatan tersebut, nikmat yang paling tinggi yang akan dirasakan penghuni surga ialah menyaksikan atau melihat Allah Swt (QS Al-Qiyamah: 22-23).
Luas surga seluas langit dan bumi. Seperti diterangkan Allah dalam QS. Ali Imran “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”
Disebutkan pula, di dalam surga mengalir sungai-sungai yang bermacam-macam dan diberi nama sesuai dengan keadaan dan sifat airnya. Ada sungai air jernih, yaitu airnya selalu dalam keadaan jernih, tidak berubah rasa dan baunya. Ada pula sungai susu karena airnya terdiri atas air susu yang juga tidak berubah rasanya. Kemudian, ada juga sungai arak (khamr), yaitu airnya terdiri atas khamar yang sangat lezat rasanya, tapi tidak memabukkan. Selanjutnya, ada pula sungai madu, yang airnya terdiri atas madu yang disaring (QS. Muhammad: 15).
***
Perhiasan yang diberikan kepada penghuni surga terdiri atas emas, mutiara, serta pakaian yang terbuat dari sutra (QS. Fathir: 33), baik sutra yang halus tipis maupun tebal (QS. Al-Dukhan: 53). Sedangkan, makanan dan minuman mereka terdiri atas berbagai macam jenis, terserah apa saja yang mereka inginkan, semuanya tersedia (QS. Al-Zukhruf: 71).
Penduduk surga atau mereka yang akan memasukinya disebut dengan ahlu al-jannah atau ashabu al-jannah. Penghuni surga benar-benar dimanjakan. Piring-piring dan gelas-gelas mereka saja semuanya terbuat dari emas. Di samping peralatan dari emas, ada pula peralatan yang terbuat dari perak dan kristal yang berharga (QS. Al-Insan: 15).
Di samping itu, penghuni surga dilayani pelayan-pelayan muda bagaikan mutiara yang bertaburan dengan pakaian sutra yang sangat indah dan menyedapkan pandangan mata. Mereka menjadi muda dan tidak pernah berubah menjadi tua. (QS. Al-Insan: 19-21).
Di dalam surga juga tidak ada lagi permusuhan, tidak ada perasaan dengki antar sesama penghuninya. Hidup mereka rukun dan damai bagaikan saudara-saudara kandung. Mereka tidak pernah merasa penat, lelah, atau letih (QS. Al-Hijr: 45-48).
Penduduk surga juga tidak pernah melakukan perkataan dusta, omong kosong, apalagi yang bersifat dosa. Seluruh yang keluar dari lisan mereka hanyalah perkataan kedamaian dan kebaikan (QS. Al-Waqi’ah: 25-26).
Hakikatnya, surga dan kenikmatan yang terdapat di dalamnya tidak dapat digambarkan melalui pelopak mata (mala ‘ainun raat), tidak pula melalui pendengaran (wala udzunun sami’at), dan tidak juga oleh bisikan hati manusia (wala khathara ‘ala qalbin basyar).
Tiket Menuju Surga
Singgah di sana, tidaklah gratis. Sayyid Alawi Al-Maliki berkata, “Ma hiya min bilasy” (surga tidaklah gratis). Ia perlu dibayar dengan ongkos, yaitu meninggalkan sesuatu yang diinginkan hawa nafsu. Surga, kata salah seorang ulama, dikelilingi dengan sesuatu yang tidak kita sukai (khufftati al jannatu bi al makarihi).
Tiket menuju surga amat susah didapat. Jalan menuju surga adalah jalan kepayahan. Untuknya Nabi berkata, “Al-dunya sijnu al-mukminin wa jannatu al-kafirin wa al-akhiratu sijnu al-kafirin wa jannatu al-mukminin” (dunia merupakan penjara bagi orang-orang beriman dan surga bagi orang-orang kafir. Sebaliknya, akhirat adalah penjara bagi orang-orang kafir dan surga bagi kaum yang beriman).
Meski begitu, adakalanya surga diperoleh dengan sesuatu yang remeh. Sebab, poin penting meraih surga Allah adalah karena rahmat-Nya, bukan karena amal manusia semata. Jelas, semua adalah hak prerogratif Allah.
Dikisahkan dalam Kitab Ushfuriyah, ada seorang Majusi yang sangat taat dalam menjalankan ibadah. Ia senantiasa melaksanakan ajaran agamanya dengan baik. Ia mempunyai seorang anak. Anaknya itu dididik sesuai dengan ajaran yang diterimanya. Si Majusi itu juga terbiasa berpuasa. Ia sangat menghormati agama orang lain kendati berbeda dengan agama yang dianutnya.
Suatu hari pada bulan Ramadan, ia melihat putranya sedang makan pada siang hari di tempat yang ramai. Orang-orang pun memperbincangkan perilaku si anak Majusi tersebut. Karena itu, ia merasa malu sebab anaknya tidak menghormati orang Islam yang sedang berpuasa.
Kemudian, ia mendatangi anaknya dan memarahinya. Mengapa kamu tidak menghormati orang-orang yang sedang berpuasa? tanya dia kepada si anak.
Dengan santainya, si anak menjawab, saya tidak tahu. Saya lapar sekali, ujarnya.
***
Ingatlah, pada bulan Ramadan, umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Hormatilah mereka yang sedang berpuasa. Jika engkau tidak berpuasa, janganlah engkau makan di hadapan mereka. Sebab, itu mengganggu mereka, jelas ayahnya.
Konon, beberapa tahun kemudian, meninggallah si Majusi ini. Seorang alim melihatnya dalam mimpi. Dalam mimpinya itu, si Majusi seakan-akan duduk di atas takhta kemuliaan yang ada di surga.
Si orang alim ini pun keheranan. Bertanyalah ia kepada orang Majusi tersebut. Bukankah engkau orang Majusi?
Benar, jawab orang Majusi itu.
Lalu, bagaimana engkau bisa mendapatkan kemuliaan seperti ini, engkau duduk di atas takhta kemuliaan? lanjut orang alim itu bertanya penasaran.
Si Majusi menjawab, Pada awalnya aku memang Majusi. Namun, menjelang ajal tatkala akan mengembuskan napas terakhir, aku mendengar panggilan yang berseru, ‘Hai, malaikat-Ku! Jangan biarkan ia mati sebagai orang Majusi, berilah ia kemuliaan sebagai orang Islam karena ia telah menghormati dan memuliakan bulan Ramadan.
Sebenarnya, banyak cerita yang serupa, orang-orang yang mendapatkan tiket menuju surga lantaran perbuatan remeh yang tidak diduga.
***
Ada seorang mucikari yang masuk surga karena memberi minum seekor kucing yang sedang kehausan. Ada juga seorang Majusi yang gemar menikahi putrinya sendiri, kemudian lantaran ia memberi makan keluarga muslim yang kelaparan, ia diganjar surga oleh-Nya. Ada yang hanya sedekah sebiji kurma. Ada lagi karena membiarkan seekor lalat yang hinggap meminum tintanya ketika ia sedang menulis. Semua, sederet kisah orang-orang yang menjejaki kakinya ke dalam taman surga karena sesuatu yang remeh yang tidak mereka sadari ketika hidup di dunia. Demikian itu, siapa tahu juga terjadi dalam diri kita. Amin.
Bahkan, disebutkan dalam hadits Nabi, bahwa ada amalan yang ringan bila dilakukan namun dapat memberatkan timbangan amal kebaikan. Berikut sabdanya, “Dua kalimat yang dicintai oleh Allah yang Maha Pengasih, ringan diucapkan di lisan, namun berat dalam timbangan (amal), yaitu ‘subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahi al-‘azhim‘ (Maha Suci Allah, segala pujian untukNya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung).” (HR. Bukhari).
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Editor: Yahya