Semua kita sesungguhnya, adalah dalam kesendirian meritualkan ibadah puasa selama sebulan. Dari fajar hingga terbenam matahari; perut menahan lapar, kerongkongan menahan haus dan dahaga, bibir pecah-pecah, kedigdayaan fisik menjadi gontai seperti lemah, lesu, lelah, dan lunglai hingga tak berdaya seperti sebelum bulan puasa, serta ditambah lagi pandemi COVID-19 belum usai menerpa. Malam hari pun berlabuh di atas sajadah menunaikan ritual salat fardu dan sunnah tarawih dan witir di rumah dan di masjid dengan memperhatikan protokol kesehatan; amat terasa kaki yang dikuat-kuatkan untuk berdiri, pinggang dikokohkan untuk rukuk; lutut, tangan, dua kaki dan kening dihempaskan dipermukaan sajadah untuk ‘membisik’ pada yang Maha Gaib.
Ritual puasa siang dan salat malam dari hari ke hari sudah mencapai finisnya. Menjelang akhir Ramadan, zakat fitrah ditunaikan para mustahik menerima dengan suka cita; di tengah pandemi COVID-19 zakat yang ditunaikan sangat berarti bagi mustahik. Allah menjadikan zakat fitrah sebagai tali-asih antara jiwa yang berpuasa dengan penerima zakat. Tali-asih merupakan titian-hati sesama makhluk bumi yang harus saling menunjukkan empati, baik dalam Ramadan maupun pascaramadan nantinya.
Takbir Sunyi yang Suci
Tibalah waktu malam takbiran menyambut hari nan fitri pada 1 Syawal. Kalimat takbir, Allahuakbar! yang digemakan berulang-ulang menjadi manifestasi kegembiraan pada setiap hamba Allah yang telah lulus dari ujian dan cobaan kelaparan di siang hari dan bergiat ibadah ritual di malam hari.
Takbir di tengah pandemi COVID-19 mungkin tidak senormal masa tanpa pandemi. Ketika tidak ada pandemi COVID-19, luapan kegembiraan di malam takbiran sungguh luar biasa; masyarakat kota melakukan takbir dengan konvoi mobil dan motor yang berjejeran dan sesak; sedangkan di desa bertakbir sambil membawa obor keliling desa.
Walaupun takbir di Ramadan ini tidak dapat menunjukkan kemeriahan seperti tahun-tahun sebelumnya, namun syiar Islam tetap bergema dalam sunyi yang suci. Lewat pandemi COVID-19, Allah mengajarkan cara mencintaiNya dengan sunyi.
Allah tetap mendengarkan takbir setiap hambaNya walaupun sunyi dari hingar-bingar kemeriahan aneka mercon dan bisingan knalpot motor; Allah tetap tersenyum melihat semangat hambaNya yang membisikan takbir dengan suara lirih di bilik kamar rumah mereka dengan gerimis di mata; Allah masih membelai hati setiap hambaNya yang khusyuk dan tawadhu membesarkan keagunganNya. Dan, Allah pun dengan sabar menghapus setiap air mata hambaNya yang tulus menggemakan takbir.
Keutamaan Takbir Malam Idulfitri
Dalam takbir sunyi di tengah pandemi, Allah memberikan sinyal langitNya: Pertama, kalimat takbir di malam Idulfitri merupakan wujud komitmen sang hamba sebagai manusia-tauhid untuk selalu berada pada jalanNya: Ihdinash shiraathal mustaqiim, jalan Kebenaran. Seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,(6) (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(7)” (QS. Al-Fatihah {1}: 6-7)
Menurut mufasir, kata Ihdina (tunjukilah kami) adalah dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
Sedangkan yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat pada ayat berikutnya ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Gemakan Takbir Walau Sunyi
Rasulullah sebagai Pembawa Risalah Cinta Agung menjelaskan:
“Barang siapa yang telah diberi hidayah oleh Allah maka tidak aka nada satu kekuatan pun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan Allah tidak aka nada satu kekuatan pun yang dapat memberikan hidayah kepadanya.”
Kedua, takbir merupakan wujud autentik manusia-merdeka. Di luar Ramadan atau dalam konsisi tidak puasa sunnah misalnya, kita bisa saja berani berbohong untuk menegasi kesalahan menjadi pembenaran, mencaci untuk mencari simpati, mencela untuk mendapat laba, atau segala trik tipudaya yang dimotori setan.
Bait-bait takbir dengan membesarkan Allah saja, luruhlah segala identitas gelar agama, adat, kesarjanaan, dan entitas diri yang individualisme, hedonisme, glamorisme dan premisivisme. Kuatnya komitmen menjadi manusia-tauhid akan berbanding lurus dengan watak manusia-merdeka. Sinyal langitNya mengingatkan sang hamba:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash {28}: 56)
Ketiga, takbir merupakan keautentikan manusia-suci (fitrah). Berpanas-panas menahan lapar dan haus di siang hari, serta berpayah-payah ibadah ritual siang dan malam Ramadan selama satu bulan penuh, tentu nilai kekhusyukan dan ketawadhuan menjadi watak dan karakter yang esensial. Karena ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat rahasia antara sang hamba dan Allah. Apalagi di tengah pandemi COVID-19, ibadah ritual dan sosial sangat sunyi dari publikasi secara individual, kecuali bantuan lembaga pemerintah dan swasta yang perlu sosialisasi.
Mari gemakan takbir walau suasana sunyi dalam pandemi COVID-19.
Editor: Nabhan