Bagi kita semua kata takwa tentu sudah bukan menjadi suatu yang asing. Kata yang berasal dari Bahasa Arab ini sudah melebur dalam tradisi kebahasaan bangsa Indonesia.
Bagi umat Islam, takwa tentunya menjadi tujuan akhir dari seluruh proses keberimanan dan keberislaman. Ada banyak referensi yang ada dalam Al-Qur’an dan hadi yang menerangkan tentang ketakwaan ini.
Menurut beberapa sumber, dapat disimpulkan takwa berarti keinsafan diri yang diikuti dengan kepatuhan dalam melaksanakan segala bentuk perintah Allah SWT (kesalihan hidup) dan menjauhi segala bentuk larangannya.
Jika kita membaca ayat Al-Qur’an misalnya surat Al-Baqarah ayat 21, ayat 41, ayat 66, ayat 103, ayat 177, ayat 179 dan lain-lain. Ada banyak perintah Allah yang menyangkut banyak hal.
Ada menyngkut hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Tentu dalam hal ini, bisa kita maknai bahwa rutinitas ibadah yang kita lakukan tidak hanya semata-mata bersifat individualistik yang hanya memesrakan diri dengan Tuhan melainkan abai terhadap diri, sesama manusia dan alam semesta.
Takwa yang Memanusiakan
Ketika saya belajar di pesantren Muhammadiyah 10 Tahun tahun yang lalu, saya ingat ketika guru saya menceritakan tentang apa yang dilakukan dan diajarkan oleh kiyai Dahlan kepada muridnya.
Satu di antaranya ia menyampaikan dan ini cukup melegenda, “Mulai di hari ini, para saudara-saudara sekalian berkelilinglah mencari orang miski. Kalau sudah menemukannya, bawalah ia ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi, pakaian yang bersih, berilah makan dan minum. Serta tempat tidur di rumahmu, sekalian pengajian ini saya tutup, silahkan saudara-saudara melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi”
Begitulah pesan kiyai Dahlan di penghujung pengajian kepada murid-muridnya dalam mengupas surat Al-Ma’un. Surat yang mengajarkan bahwa orientasi ibadah seoarang manusia bukan hanya tentang shalat atau ibadah mahdhah yang dengan itu bisa mengantarkannya kepada pribadi yang bertakwa.
Karena ketakwaan itu harus diikuti dengan sikap kepedulian terhadap orang lain sebagai wujud untuk memanusiakan manusia.
Bentuk takwa yang kemudian mewujud dalam bentuk kepeduliaan dan peran sosial merupakan esensi dari bentuk ketakwaan manusia itu sendiri. Tentu kepedulian dan peran sosial tersebut muncul karena empati dan simpati. Sehinggam, manusia tersebut memberi kepada sesama merupakan dorongan dari rasa bertauhidnya kepada Allah.
Pertanyaannya seberapa memanusiakan manusianya kita di abad 21 ini. Sebarapa empati dan pedulinya kita terhadap keadaan sosial hari ini. Maksud saya, di sini bukan peran institusi anda bekerja, bukan peran organisasi anda, tapi peran individu anda dalam melakukannya.
Sebagaimana yang diajarkan oleh kiyai Dahlan, melakukan kebaikan kepada manusia bukan megandalkan organisasi Muhammadiyah tapi diri pribadi yang terlibat langsung.
***
Tentu ini perlu perenungan yang mendalam bagi kita yang tentunya hanya hati yang harus diberi kesempatan untuk menjawab. Bukan lagi logika yang punya seribu alasan untuk mencari alasan dan pembenaran.
Saya kira di abad 21 ini, tidak kekurangan orang pintar dengan ribuan referensi dan narasi yang diterbitkan. Saya melihat ada kerabunan batin kemanusiaan yang sudah mulai terjadi. Walaupun baru sebatas rabun ayam.
Apalagi, tren keagamaan sekarang ini lebih mengejar trending ketimbang substansi. Contoh kecilnya saja, sebagian orang tua lebih bangga anaknya bangga menghafal ratusan ayat dan harus menghabiskan waktu di rumah ketimbang seberapa sering anaknya memberi makan pengemis dan membantu temannya yang lagi kesusahan.
Keinginan berbagi, bergaul dengan orang yang berbeda secara status sosial dan sebagainya. Orang tua sekarang lebih bangga anaknya bisa membaca ketimbang menumbuhkan minat bac. Tentu hal ini sangat berpengaruh secara psikologis terkait perkembangan empati dan simpati anak, dan berdampak kepada mental kemanusiaannya di kemudian hari.
Maka penting hari ini umat didorong agar dapat mewujudkan takwa yang ideal. Hal itu tentu dapat dimulai dengan menggali makna takwa yang sangat luas cakupannya. Rujukan Al-Qur’an dan hadis pun harus seirama antara teori dan praktik.
Takwa yang Memberdayakan
Takwa merupakan proses atau jalan menuju kemenangan. Jika kita membaca sejarah perjalanan dakwah nabi, ada banyak cerita yang menggambarkan kemenangan baik secara dakwah maupun secara politik cakupan wilayah diterimanya Islam sebagai agama yang membawa keselamatan. Tentu ada banyak peran dan kelebihan dari masing-masing sahabat yang berkontribusi membantu Nabi sesuai dengan kelebihannya masing-masing
Ada Utsman bin Affan dengan kekuatan hartanya, Umar bin Khattab dengan keberaniaannya, Abu Bakar Ash Shidiq dengan kebijaksanaannya, Ali bin Abi Thalib dengan ketenangannya, dan seterusnya.
Cukup kongkrit lagi apa yang dilakukan oleh Kiyai Dahlan lewat Muhammdiyah, peran-peran yang dilakukan secara kolektif mampu mendorong Muhammadiyah memiliki amal usaha dengan berbagai jenis dan fungsi sosialnya.
Sehingga hari ini, Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terkaya sedunia. Dari hal ini, kita bisa simpulkan bahwa prinsip awal Muhammadiyah yang awalnya hanya memberi dan berbagi sekarang telah berkembang menjadi prinsip pemberdayaan.
Secara keorganisasian, saya kira organisasi masyarakat, katakanlah Muhammadiyah dan NU dan organisasi yang lain sudah sangat sukses, adalah organisai raksasa dan sangat berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan.
Tentu ini merupakan bentuk otentik dalam mengaktualisasikan takwa yang memberdayakan. Nah bagaimana dengan individunya yang dimaksud dengan takwa yang memberdayakan.
Pertama tentu kita harus balik kembali dalam menafsirkan Al-Qur’an terutama dalam menarik makna takwa dalam kehidupan sehari-hari.
Bahwa Al-Qur’an itu bukan “novel, bukan mantera” yang hanya selesai pada proses baca saja, tetapi suatu bacaan yang menginspirasi untuk melakukan kebermanfaatan dalam kehidupan.
Dalam menghadirkan keberdayaan, kita merujuk kepada surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya, “Saling menolonglah kamu dalam melakukan kebajikan dan takwa. Dan jangan saling menolong pada perbuatan yang dosa dan permusuhan”.
Saya kira sangat jelas bahwa menghadirkan keberdayaan merupakan hal wajib bagi manusia. Karenanya, harus dilakukan dengan kolektif sesuai dengan peran dan porsi yang bisa dibantu dan diberi tolong.
***
Memberdayakan bagi saya masuk ke dalam moral sense (perasaan moral). Kita dianjurkan berempati. Berpihak dalam menghadirkan kualitas kehidupan yang semakin membaik.
Ada kegundahan hati ketika kita merasa tidak bisa membantu sesama, terutama dalam mendidik, melatih, dan memberikan kesempatan untuk menata hidup. Menurut saya, rasa kegundahan hati atau tidak nyaman jika tidak membantu sesama itulah takwa.
Tentu takwa yang memberdayakan yang dimaksud dalam hal ini tidak bisa selesai dengan persoalan memberi zakat saja. Memberi makan fakir miskin saja, yang hanya bisa dinikmati dan dirasakan kebermanfaatnya sesaat.
Seperti “ikan dan kail”. Jika melulu kita berikan ikan tidak ada proses ikhtiar dan semangat hidup. Namun jika kita memberi kail, maka ada daya juang dan semangat untuk mandiri. Seperti yang dilakukan Muhammadiyah dari memberi ke memberdayakan.
Sebagaimana yang Allah kabarkan pada surat Al-Mulk ayat 2:
Allah Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (ahsanu ‘amala) dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.
Pada surat ini Allah mangatakan ahsanu ‘amala yang berarti orang yang paling baik amalnya. Imam Ibnu Katsir lebih jauh menjelaskan bahwa ahsanu ‘amala bukanlah aktsaru ‘amala (paling banyak amalnya).
Ahsan berbicara kualitas sedangkan aktsar bicara kuantitas. Jadi Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa “jika kalian ingin menjadi manusia yang paling baik amalnya bukan hanya sekedar memperbanyak jumlah ibadah saja, namun harus memperbaiki kualitas ibadah yang dikerjakan.
Saya kira ini sangat relevan dengan prinsip takwa yang memberdayakan, bahwa membantu saja tidaklah cukup jika ingin meraih derajat takwa, tentu kualitas yang diperbantukan juga harus yang terbaik sesuai dengan kemampuan objektif diri.