Perspektif

“Taliban” dan “Kadal Gurun” dalam #GejayanMemanggil ?

3 Mins read

Istilah “kadal gurun”dan “Taliban” sedang diperbincangkan di media sosial. Dua idiom ini merujuk pada orang-orang Islam militan yang dianggap hendak menguasai negara melalui berbagai sisi. Pegawai KPK yang menolak pengesahan rancangan revisi UU KPK dianggap telah disusupi paham radikal keagamaan.

Respon warga terhadap revisi UU KPK terbelah menjadi dua. Ada yang menganggap revisi diperlukan sebagai bentuk revitalisasi. Sedangkan kelompok yang menolak revisi menganggap UU yang baru hanya akan memperlemah kerja pemberantasan korupsi. Dalam ketegangan pro dan kontra revisi UU KPK itulah muncul idiom “kadal gurun” dan “Taliban.”

Sebagaimana yang pernah kita alami sepanjang masa Pilpres 2019 dengan idiom “cebong” dan “kampret”, dua idiom baru ini cenderung gagal mengkooptasi solidaritas sipil yang tengah menguat.

Mengapa Bukan “Kadal Gurun” dan “Taliban”?

Menjelang aksi damai #GejayanMemanggil 23 September 2019, di grup whatsapp beredar tudingan bahwa aksi ini ditunggangi oleh “kadal gurun” dan kelompok “taliban.” Tidak berhenti sampai di situ, ada juga yang menduga keterlibatan “politisi tua” yang “berniat menjegal pelantikan presiden” hingga kemungkinan keterlibatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan “massa pro-khilafah.”

Jika diperhatikan dengan seksama, penggunaan politik idiom dalam kooptasi solidaritas sipil ini dilakukan dengan pola yang lama. Karena ada pengabaian yang jelas bahwa apa yang disebut sebagai “kadal gurun” atau “taliban” ini muncul dalam ruang perluasan wacana yang melibatkan kelompok oposisi dan gelombang mosi tidak percaya pada pemerintah yang tengah berkembang secara populer.

Aksi solidaritas yang berkembang saat ini sebetulnya makin menguat ketika kebebasan berserikat dan berekspresi dibatasi oleh Perppu Nomor 2 Tahun 2017. HTI adalah kelompok pertama yang menerima konsekuensi dari pemberlakuan aturan ini. Kelompok pro demokrasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perppu Ormas menolak cara pemerintah menindak ormas yang diduga anti-Pancasila secara sepihak.

Baca Juga  Ternyata Ada 8 Madzhab Fiqih, 4 Diantaranya Jarang Diketahui!

Koalisi ini merentang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhammadiyah (ormas Islam tertua di Indonesia), Indonesian Corruption Watch (ICW), The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah kelompok pro HAM dan demokrasi.

Sejak saat itu, jelas terjadi perluasan kelompok sipil pengawas pemerintah yang berasal dari identitas dan orientasi politik berbeda-beda. Penggunaan istilah “kadal gurun” atau “Taliban” tidak sesuai dengan variasi gelombang baru politik. Bukan cuma negara yang mengalami perluasan agensi, tapi sipil pun telah berkembang begitu jauh.

Gelombang Politik Sipil

Gelombang politik sipil di Indonesia makin besar seiring tumbuhnya kesadaran sosial kelompok milenial. Belum lagi jumlah milenial yang berhasil bersekolah hingga universitas makin tinggi. Mereka makin mudah mengakses informasi perkembangan dunia, dan menemukan pemaknaan baru identitas. Jumlah mereka nyaris seperlima dari total populasi di Indonesia. Kita harus menimbang kenyataan ini sebagai ketidakmungkinan adanya narasi tunggal dalam gelombang protes politik.

Pertarungan wacana dan informasi di media sosial dan media massa hanya bagian kecil wujud polarisasi. Bagian utamanya adalah kelompok sipil yang makin terbuka dan tanpa malu-malu bersuara tentang politik. Ini bukan pertanda “infiltrasi kelompok pro-khilafah”, melainkan gelombang protes warga sipil yang mengglobal. Mengabaikan realitas sesederhana ini akan berakibat besar bagi struktur politik yang mapan.

Kita harus menimbang gelombang protes di Indonesia dalam spektrum gerakan sipil di berbagai tempat, semacam di Paris, Swedia, Mesir, dan Hong Kong supaya tidak kehilangan konteks. Penolakan terhadap revisi UU KPK dan RUU KUHP berakar pada kegelisahan dan kecemasan yang berkaitan dengan situasi ekonomi negara.

Istilah “kadal gurun” dan “Taliban” jelas merupakan respon atas proses deteritorialisasi aktivisme etnis dan agama yang tengah terjadi. Respon itu berakar sejak pembubaran HTI yang seturut dengan respon atas penolakan revisi UU KPK. Jika pada kasus HTI dikembangkan isu ormas anti-Pancasila. Maka pada penolakan revisi UU KPK dianggap perlawanan “kelompok Taliban.” Kita perlu perjelas peran simbol-simbol ini dalam kehidupan politik hari ini supaya kita tidak terus menerus takut dan khawatir.

Baca Juga  HMI Connection vs Pro-Demokrasi Connection

Istilah “kadal gurun” atau “Taliban” memang hanya berfungsi temporer dengan konteks kasus. Tapi ini adalah cara paling efektif dalam mengontrol sikap politik warga sipil yang masih terbelah dan dilema. Mereka pada umumnya belum bersikap apakah akan mendukung revisi UU KPK atau menolak revisi. Sedangkan bagi kelompok bersolidaritas yang memiliki irisan langsung dengan negara, dua idiom tersebut akan mempengaruhi dukungan secara terbuka.

#GejayanMemanggil

Padahal jelas bahwa penolakan revisi UU KPK tidak berhubungan langsung dengan berbagai bentuk oposisi pemerintah yang selama ini dikenal. Bahkan aksi massa #GejayanMemanggiljelas pasti terpisah dari kepentingan partai oposisi pemerintah semacam Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perlu diketahui, selain menolak revisi UU KPK, aksi #GejayanMemanggil juga menolak RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, kriminalisasi aktivis, lambannya pemerintah menangani pembakaran hutan, dan mendorong segera pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang justru ditolak oleh PKS dan sebagian kelompok Islam. Tuduhan bahwa HTI dan PKS, atau kelompok Islam ekstirm menunggangi aksi massa tidak terbukti.

Kita harus menimbang dengan jeli bagaimana idiom-idiom politik digunakan untuk mengontrol dan menjadi instrumen pengawasan antar sesama warga sipil. Idiom “kadal gurun” atau “Taliban” ini berpotensi membelah masyarakat sipil ke dalam dua kubu yang sama mengecewakan dengan “cebong” dan “kampret.” Jelas juga bahwa politik idiom ini tidak bergerak natural dan terpisah dengan berbagai upaya pembatasan kebebasan politik yang paralel dengan menguatnya agenda militerisasi yang beradaptasi dengan formasi ekonomi neoliberal. Bagaimanapun, keberhasilan menangani korupsi akan merembet pada penuntasan kasus pelanggaran HAM dan perubahan besar pada distribusi kesejahteraan.

Solidaritas dalam aksi #GejayanMemanggil justru mempertemukan kelompok sipil yang telah bekerja lama dalam menggerakkan demokrasi. Kecurigaan bahwa aksi ini ditunggangi kelompok Islam ekstrim tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sebagian besar massa berasal dari perkumpulan-perkumpulan mahasiswa independen, komunitas literasi, aktivis HAM, pengajar-pengajar di universitas, pekerja kreatif, dan kelompok muda lintas agama dan etnis. Kecurigaan yang berlebihan terhadap aksi #GejayanMemanggil justru mengindikasikan munculnya kelompok partisipan politik yang fundamental dan anti-kritik.”

Baca Juga  Nostalgia 1998, Akankah Mahasiswa (Kembali) Menang?
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds