Tajdida

Taman Pustaka (1): Literasi Muhammadiyah di Masa Kolonial

4 Mins read

Persyarikatan Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang anggota maupun simpatisannya paling produktif dalam mendiseminasikan gagasan melalui buku. Sejarah literasi Muhammadiyah bisa dilacak hingga ke sekitar masa seabad silam. Taman Pustaka terkait erat dengan literasi Muhammadiyah di masa kolonial.

Taman Pustaka

Pelopor penerbitan buku di Muhammadiyah, Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka (yang di masa kemudian mengalami pasang surut eksistensi dan kini, menurut sejarawan Mu’arif, telah “tinggal kenangan”) disahkan pada tanggal 17 Juni 1920 oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Lembaga ini mulanya dipimpin oleh H.M. Mokhtar. Dalam pidato pertamanya setelah menjadi kepala Taman Pustaka, H.M. Mokhtar memproklamirkan cita-cita lembaga yang dipimpinnya, yakni untuk “bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum. Penyiaran ini dilakukan dengan selebaran cuma-cuma, atau dengan majalah bulanan berkala, atau tengah bulanan baik yang dengan cuma-cuma maupun dengan berlangganan; dan dengan buku agama Islam baik yang prodeo tanpa beli, maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah”.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, terjadi proliferasi buku yang ditulis dan diterbitkan oleh warga atau lembaga yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Kini bukanlah perkara sulit untuk menemukan buku yang bertema Muhammadiyah di rak perpustakaan. Citra tentang intelektualitas warga Muhammadiyah yang dikenal sekarang ini bertumpu pada kontribusi para penulis buku dan para pembaca buku yang terkoneksi dengan Muhammadiyah.

Di luar fakta tentang produktivitas menulis buku dan kegemaran membaca produk publikasi di kalangan warga Muhammadiyah, ada satu hal penting yang agaknya masih belum terang benar sehingga kurang terapresiasi dengan sepatutnya, yakni tentang peranan toko buku dalam percepatan peningkatan taraf literasi warga Muhammadiyah khususnya dan kaum Muslim Hindia Belanda pada umumnya.

Di dunia perbukuan Indonesia, sementara para penulis dan karyanya telah mendapatkan banyak apresiasi (misalnya dengan istilah seperti best-selling authors danbuku best seller), toko buku mendapatkan pengakuan yang jauh lebih kecil. Bahkan, belakangan justru harus menghadapi tantangan besar untuk bisa bertahan. Mulai dari rendahnya minat baca buku serta tarikan internet yang lebih kuat.

Baca Juga  Masyarakat Dusun Sarapati: Penghayat Kejawen yang Sukses Menerapkan Nilai-Nilai Toleransi

Padahal toko buku, setidaknya di era pra-internet, adalah jembatan vital yang menghubungkan penulis dan pembaca. Tanpanya, penulis tidak akan bisa mencapai pembacanya dan pembaca tidak bisa mengakses pengetahuan terbaru. Tanpa toko buku diseminasi pengetahuan menjadi mandek dan proses literasi terhenti.

Literasi di Masa Kolonial

Di masa kolonial, peranan toko buku menjadi lebih penting lagi mengingat berbagai macam keterbatasan yang dialami para pembaca buku dari kalangan pribumi kala itu. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai membuka pendidikan untuk kalangan pribumi sejak paruh kedua abad ke-19.

Namun, tujuannya bukanlah untuk memperluas dan memeratakan pendidikan bagi kawula pribuminya. Melainkan untuk menghasilkan suatu elite kecil kaum terdidik pribumi, yang terutama sekali berasal dari kalangan bangsawan dan mereka yang berafiliasi dengan Belanda. Pada akhirnya terbaratkan dan bisa menjadi bagian dalam menangani urusan administrasi kolonial di masa ketika menggunakan jasa orang Eropa adalah suatu pekerjaan mahal dan tidak praktis.

Berbagai lembaga pendidikan didirikan oleh Belanda di berbagai tingkat, dari tingkat dasar, menengah, atas, hingga level sekolah tinggi atau universitas. Walau demikian, dalam beberapa dekade pertama abad ke-20, sangat sedikit kaum pribumi yang mendapat kesempatan untuk belajar di lembaga pendidikan. Hal ini terjadi baik yang dikelola pemerintah kolonial maupun yang disediakan oleh lembaga pendidikan tradisional dan keagamaan.

Kemampuan baca tulis sangat rendah; menurut sejarawan M.C. Ricklefs (2001: 203), angka literasi di kalangan orang Indonesia dewasa pada tahun 1930 hanya mencapai angka 7,4 persen. Membaca, khususnya aksara Latin, dengan demikian merupakan kemampuan yang sangat langka, hanya dimiliki sangat sedikit orang Indonesia masa itu.

Keterlambatan Dunia Islam

Selain akses pendidikan yang sulit dan masih sedikitnya kaum terpelajar pribumi di Hindia Belanda, problem lain yang dihadapi ialah kurangnya bahan bacaan untuk memenuhi rasa ingin tahu orang Indonesia yang bisa membaca. Kaum pribumi yang bisa membaca dan berbicara dalam bahasa Belanda mengandalkan terbitan-terbitan dalam bahasa Belanda ataupun bahasa Barat lainnya. Tapi itupun jumlahnya sangat minim dan harus mengandalkan karya para penulis Eropa.

Baca Juga  Empat Ciri Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid

Dunia Islam sendiri agak terlambat dalam menerima arti penting teknologi percetakan dalam diseminasi pengetahuan. Sebagaimana diindikasikan oleh sejarawan dari Universitas London, Francis Robinson, dalam studinya, “Technology and Religious Change: Islam and the Impact of Print” (1993), akar keterlambatan ini adalah pada tradisi transmisi pengetahuan di dunia Muslim.

Selama lebih dari satu milenium umat muslim bertumpu pada kekuatan memori dan penyampaian lisan. Hal ini terjadi sebagaimana tampak dalam metode pembelajaran lisan di madrasah dan pada perjalanan jarak jauh yang kerap dilakukan para pencari ilmu guna mendengarkan langsung suatu pelajaran langsung dari seorang ulama.

Kaum Muslim, lanjut Robinson, baru menggunakan mesin cetak ketika pada akhirnya teknologi modern ini dianggap sangat diperlukan untuk melindungi Islam dari ancaman yang ada di sekelilingnya. Dengan mesin cetak dan produk yang dihasilkannya, terutama buku, terjadilah penyebaran pengetahuan dari yang mulanya hanya di kalangan elite, kepada audiens yang lebih luas di cakupan geografis yang lebih besar.

Peran Toko Buku

Walaupun ada berbagai problem dalam hal literasi di Hindia Belanda, dan khususnya di tengah kaum Muslimnya, itu tidak berarti bahwa tidak ada usaha untuk memperluas distribusi bahan bacaan bermutu di sana. Sebagaimana disebut di atas, Taman Pustaka Muhammadiyah sejak kelahirannya telah bercita-cita untuk menghadirkan buku kepada publik guna menyiarkan agama Islam.

Taman Pustaka di tahun 1920an telah memproduksi berbagai buku dengan beragam tema. Tapi, lalu pertanyaannya ialah, siapa yang akan mendistribusikan buku-buku itu kepada para pembaca?

Toko buku adalah mata rantai penting di dalam proses literasi umat Islam Indonesia, khususnya di kalangan Muhammadiyah, pada dekade 1920an. Dalam dua tahun pertama eksistensinya, Taman Pustaka Muhammadiyah telah menghasilkan setidaknya 20 buku bacaan dengan berbagai judul, dan buku-buku ini hanya bisa tersebar kepada para pembacanya melalui perantaraan toko buku.

Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah Disebut Anti-Tasawuf?

Adalah toko bernama ‘F.M.’ yang beralamat di Jalan Gerjen (kini Jalan Nyai Ahmad Dahlan), Yogyakarta, yang berperan penting memajang dan menjual buku-buku terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta dan Taman Pustaka Muhammadiyah Solo. Buku-buku terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah yang dijual di toko ini mencerminkan tema-tema yang dianggap penting oleh Muhammadiyah dalam memajukan pengetahuan kaum Muslim dalam urusan keagamaan. Tema-tema tersebut antara lain perihal fikih, pelajaran bahasa Arab, sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, tata cara shalat, dan tentang pernikahan dalam Islam.

Cara Mendapatkan Buku

Beberapa buku terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta yang dijual di toko buku ini pada paruh kedua tahun 1922 ialah Boekoe Hidjaijah Boeat Beladjar Menoelis Arab (harganya f 1,25), Mikradnja K.N. Mohammad (f 0,40), dan Fekih Djilid 1 & 2. Adapun buku terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah Solo yang dijual di sini antara lain Pesalatan Djawa (f 0,225) dan Kitab Nikah (Selakirabi) (f 1,30).

Bagaimana cara mendapatkan buku-buku tersebut? Toko buku F.M. menyediakan tiga opsi. Pertama, pembeli bisa datang langsung ke tokonya di Yogyakarta. Kedua, bagi pembeli yang berdomisili di Solo, dipersilakan datang ke agen yang ada di kota itu. Ketiga, pembeli dari tempat lainnya bisa memesan melalui pos, dengan menambahkan ongkos kirim.

Pilihan cara pembelian ini memungkinkan buku-buku terbitan Taman Pustaka Muhammadiyah mencapai lokasi yang lebih jauh. Bahkan melintasi batas Residensi Yogyakarta di mana Muhammadiyah berpusat. (Bersambung)

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds