Tafsir

Tampilan Wahyu dan Tafsir Al-Qur’an: dari Dahulu Hingga Masa Kini

4 Mins read

Tulisan ini mendiskusikan tentang wahyu Al-Qur’an dalam sejarah dan pemediaan tafsir Al-Qur’an dari masa ke masa, hingga kemunculan tafsir media sosial sebagai media baru penafsiran di kalangan umat Islam. Namun penting kiranya menguraikan terlebih dahulu tentang konsepsi kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah peradaban manusia. Prof Gibb dalam karyanya yang berjudul Mohammedanisme menjelaskan kepercayaan Muslim terhadap al-Qur’an dengan menyatakan al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang disampaikan kepada nabi Muhammad melalui mediasi atau perantaraan malaikat Jibril (Gibb, 1952).

Pengertian ini masih umum dan membutuhkan penjelasan lebih detail berkaitan dengan bagaimana proses penyampaian wahyu kepada nabi secara detail dan penjelasan lain yang selingkup dengannya.

Membahas transmisi wahyu dalam Islam berarti menguraikan sesuatu yang dipandang ghaib (peristiwa besar) dan terjadi secara khusus antara Allah, Malaikat Jibril, dan nabi. Dalam pada itu, Al-Qattan lebih condong dengan pandangan bahwa malaikat menerima wahyu dari Allah secara langsung dengan lafalnya yang khusus, kemudian wahyu disampaikan kepada nabi secara berangsur-angsur dengan ragam cara seperti dencingan lonceng, suara yang kuat dan penjelmaan malaikat sebagai laki-laki dalam bentuk manusia. Pada sisi lain, nabi menerima wahyu secara langsung tanpa perantara malaikat melalui dua cara yaitu 1) mimpi yang benar di dalam tidur (keterangan ini hanya dikhususkan kepada para nabi Allah) dan dalam keadaan sadar dan terjaga (Al-Qattan, 2016).

Kodifikasi Wahyu

Paska wahyu terakhir diterima nabi, studi yang ada menjelaskan upaya kanonisasi atau pembakuan wahyu oleh umat Islam sesuai dengan redaksi yang diterima nabi. Adapun tiga tahapan kodifikasi wahyu yaitu 1) pada fase nabi 2) sabahat Abu Bakar 3) dan sahabat Utsman bin Affan yang ditandai oleh Mushaf Utsmani. Al-Qattan menegaskan bahwa pandangan skeptis terhadap orisinalitas Al-Qur’an tidak memiliki argumentasi yang ilmiah, hal ini dikarenakan konteks penerima wahyu juga dialami oleh para nabi terdahulu (Al-Qattan, 2016).

Baca Juga  Tak Tahu Asbabun Nuzul, Dua Sahabat Nabi ini Salah Tafsirkan Al-Qur'an!

Namun demikian Al-Qattan tidak sepakat dengan pandangan adanya Al-Qur’an di lauhul mahfud walaupun terdapat redaksi Al-Qur’an menyatakannya seperti QS. Al-Buruj (85): 21-22. Hal ini dijelaskan bahwa lauhul mahfud  termasuk dalam perkara ghaib (Al-Qattan, 2016), pada sisi lain karena keterbatasan informasi dan signifikansi keberadaan wahyu di lauhul mahfud dengan wahyu dalam bentuk Mushaf Utsmani.

Kenyataan transformasi wahyu dalam bentuk Mushaf Utsmani, ternyata menyisakan kegelisahan epistemologis oleh kalangan cendekiawan kontemporer mengenai status hakikat wahyu (Wijaya, 2020). Wahyu berupa Mushaf Utsmani oleh Arkoun diistilahkan dengan corpus official clos yang secara semiotis dianggap bentuk pengujaran kata, kalimat sebagai tanda. Bagi Arkoun sebagaimana dikutip Sunardi, ujaran wahyu dibagi 2 macam yaitu ujaran 1 menunjukkan penyampaian wahyu oleh nabi kepada pengikutnya di masa lalu. Sedangkan ujaran 2 menunjuk pada Mushaf Utsmani untuk membedakan dengan ujaran 1. Sementara analisis linguistik dan semiotik terhadap Al-Mushaf menurutnya penting guna memahami kembali firman kenabian daripada firman yang berorientasi pada pengajaran (Sunardi, 2012). Dengan demikian Mushaf Utsmani baginya berbeda dengan wahyu yang diterima nabi dalam bahasa Arab serta beda dengan realitas wahyu yang ada di lauh mahfud sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, tidak diketahui oleh manusia.

Tafsir Al-Qur’an di Media Sosial

Pertengahan abad ke-15 M merupakan era kemunculan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Temuan ini memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam pemediaan literasi-literasi keagamaan (Saleh, 2021). Hal ini memungkinkan umat Islam memiliki Mushaf Utsmani secara individual, begitu juga dengan berbagai kitab tafsir yang di cetak. Sementara itu, Peradaban modern ditunjukkan dengan ragam penemuan oleh manusia di berbagai bidang salah satunya Tekhnologi Informasi dan Komunikasi. Tentu saja, segala yang bersifat kebaruan akan melahirkan kebutuhan baru sebagai penunjang eksistensi manusianya. Perkembangan ini juga berdampak pada pergeseran otoritas agama dengan konfigurasi tampilan pengetahuan agama menggunakan media baru (modern) yang bersifat dinamis-demokratis. Oleh sebab itu, pada era modern sangat mudah ditemukan fenomena transmisi pengetahuan Al-Qur’an dan tafsir di media sosial (Instagram, youtube dll) sekaligus menunjukkan media penafsiran yang telah beradaptasi dengan perkembangan tekhnologi sebagai gerak pengetahuan yang selalu beriringan.

Baca Juga  Menafsirkan Ulang Makna Khilafah

Konteks manusia modern tidak bisa lepas dari pengaruh dunia digital dan media sosial. Era ini mempengaruhi pola pikir, komunikasi, dan bertindak seseorang dengan yang lain yang diakukan secara simultan di dunia maya. Berbeda halnya dengan era cetak, masyarakat online memiliki potensi sebagai penulis sekaligus pembaca informasi yang beredar sangat pesat di media sosial. Sementara itu, efek media sosial juga berdampak pada studi tafsir menggunakan media sosial. Fajar menyebutkan tiga faktor yang menyebabkan popularitas tafsir media sosial. Pertama fitur modern media sosial yang mendorong produksi dan konsumsi tafsir Al-Qur’an, kedua tersedianya terjemah Al-Qur’an dalam bentuk cetak dan digital, ketiga paradigma fundamentalisme yang disebarkan menggunakan jargon al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah di media sosial (Fajar et al, 2021).

***

Manfaat positif media sosial dalam mengkonstruk wacana keagamaan melalui tafsir Al-Qur’an pada kenyataannya menyisakan ketimpangan makna Al-Qur’an. Beberapa penelitian berhasil menunjukan pengaruh media sosial yang mengesampingkan studi tafsir dalam unggahan tertentu. Misalnya Fauziah menyebutkan penafsiran Audiovisual pada akun Instagram @Hijab Alila memiliki kecenderungan penafsiran tekstualis, dalam hal ini penjelasan QS. Al-Kafirun dapat diakses khalayak online secara massif (Wiwi et al, 2019). Sementara Jannah menunjukkan pergeseran otoritas penafsiran yang dilihat dari pengaruh tafsir visual pada akun Instagram @Quranriview, hal ini ditandai oleh fenomena seseorang merasa memiliki kapabilitas yang setara dalam interpretasi teks (Roudlatul et al, 2021). Padahal memahami, menjelaskan ayat Al-Qur’an tidak dapat dilakukan secara sporadis melainkan mengikuti kaidah-kaidah yang disepakati para ulama tafsir.

Simpulan

Ada beberapa hal yang dapat ditarik benang merah dari pembahasan sebelumnya. Tulisan ini memperhatikan dinamika studi Al-Qur’an dan tafsirnya melalui konteks saat ini dengan memperhatikan realitas wahyu dalam sejarah hingga tafsir media sosial.  Dalam pada itu tampilan wahyu dan tafsir di tengah-tengah umat Islam dapat dengan mudah ditemui dalam bentuk media cetak (bentuk fisik kitab) dan digital (aplikasi, website, media sosial dll).

Baca Juga  Dalihan Na Tolu, Bagaimana Konsepnya dalam Kepemimpinan Islam?

Dengan demikian, pengkajian seputar wahyu Al-Qur’an dan tafsirnya merupakan tugas setiap generasi umat Islam dan akan terus berlangsung hingga ketetapan-Nya datang. Pada sisi lain mengkaji sesuatu di media cetak dan digital tidak bisa terlepas dari kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang telah disepakati, dalam konteks ini tafsir media sosial juga membutuhkan validasi data yang otoritatif, sehingga seseorang tidak mudah terjebak oleh konten media sosial yang tidak berdasar ilmiah (simulakra).

Imam Muhajir Dwi Putra
2 posts

About author
Mahasiswa PPM Aswaja Nusantara
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds