Pernahkah anda merasa punya tanggung jawab moral untuk memberantas hoaks? Saya pernah. Entah sekarang masih atau tidak, yang jelas saya lelah melakukan itu. Awalnya saya merasa keren bisa meluruskan kekeliruan orang, nyatanya tidak berguna. Berbagai hoaks itu lebih keren dari fakta yang ada.
Budaya Kita adalah Terprovokasi Judul
Ada tipikal anggota grup Whatsapp yang gemar menyebarkan artikel hoaks atau paling tidak yang judulnya misleading. Judul dan isi artikel berbeda. Celakanya, membaca keseluruhan isi artikel bukan budaya kita. Budaya kita adalah terprovokasi judul. Lebih celaka lagi, pelaku biasanya tidak cuma berbagi hoaks di Whatsapp, tapi juga di platform lain utamanya Facebook.
Belum lagi di dunia nyata. Bayangkan, ketika seharusnya acara keluarga menjadi kegiatan penuh kehangatan, ada anggota keluarga bicara ngalor ngidul tentang tenaga kerja dari Tiongkok. Dia juga bicara soal bagaimana Covid-19 hanya konspirasi, pageblug ini merupakan pekerjaan Tiongkok untuk menguasai dunia. Vaksin hanya alat untuk memperoleh keuntungan ekonomi, dan keruwetan lainnya yang menunjukkan seakan-akan dia ahli Ekonomi Politik dan juga Hubungan Internasional, sekaligus menguasai teori konspirasi.
Setiap kita coba koreksi informasi yang belum valid atauh bahkan hoaks, ya sudah. Tidak ada minta maaf juga penyesalan dari pelaku. Seakan-akan menyebarkan informasi bohong adalah tindakan biasa saja. Padahal, dalam ajaran Islam banyak ancaman terkait penyebaran berita bohong.
Di antaranya ada dalam surat Al-Hujurat ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Tanggungjawab Moral untuk Memberantas Hoaks
Berita bohong, berita yang memprovokasi, mengandung kebencian, bisa mendatangkan musibah bagi orang lain. Andai kita berbeda paham dengan pihak tertentu, bukan berarti itu sebagai pembenaran untuk menyebarkan kebencian. Itu juga tidak memberi kita legitimasi untuk menyebarkan hoaks terhadap apa atau siapapun yang kita benci.
Problemnya, banyak di antara kita bukan mencari kebenaran, tetapi mencari pembenaran. Artikel yang tidak jelas namun sesuai selera, kita bagikan seenak jidat. Ada artikel sesuai fakta, ilmiah, berbobot, namun berlawanan dengan syahwat kita, maka kita biarkan informasi itu terkubur.
Di suatu kegiatan pelatihan menulis, kami sempat berbincang dengan Yusuf Arifin, seorang jurnalis senior dan saat ini menjabat sebagai Chief of Storyteller di Kumparan. Dia menyampaikan kegusarannya pada algoritma internet yang memungkinkan tulisan-tulisan buruk atau hoaks bisa lebih viral dari tulisan yang bagus. Meski hoaks, tetapi jika algoritmanya sesuai dengan selera pengguna, maka berpotensi viral.
Algoritma internet memang netral. Dia tidak punya kapasitas menilai baik dan buruk. Siapapun bisa berhasil membuat konten yang secara algoritma tepat menyasar pasar. Sebaiknya kita menonton film dokumenter The Social Dilemma untuk memahami hal ini. Karena keadaan tersebut, masing-masing pengguna internet punya tanggungjawab moral memberantas hoaks.
Orang Tua Lebih Rentan Terpapar Hoaks
Di Amerika, pendukung Partai Demokrat menganggap bahwa orang-orang dari partai Republik berbahaya bagi bangsa dan negara. Sementara pendukung partai Republik berpendapat bahwa orang-orang Demokrat-lah ancaman itu. Polarisasi yang semakin tajam ini sedikit banyak dipengaruhi oleh algoritma internet dan kita ketahui terjadi juga di Indonesia dengan dikotomi “cebong” dan “kampret”, atau saat ini barangkali bergeser ke “nasionalis” atau “kadrun”.
Kembali ke soal hoaks. Kebanyakan yang mudah menyebarkan hoaks ini adalah orang tua. Penelitian dari New York University dan Princeston University menunjukkan bahwa hoaks tidak terkait latar belakang pendidikan, jenis kelamin, dan pandangan politik. Meski menurut saya, dalam konteks Indonesia, pandangan politik berpengaruh terhadap penyebaran hoaks.
Riset ini melibatkan 3.500 responden. Hasilnya, pengguna facebook dari kalangan tua berusia 65 tahun ke atas berbagi hoaks 7 kali lipat dari pengguna berusia 18-29 tahun. Kemungkinannya, menurut penelitian tersebut, diakibatkan kurangnya literasi digital pada kaum tua sehingga mereka mudah percaya apapun yang ada di internet.
“Internet itu dibuat oleh orang-orang pintar, yang ada di sana sudah pasti benar,” seperti inilah gambaran orang-orang yang kurang menguasai literasi digital, digambarkan oleh tokoh bu Tejo di film Tilik.
Akhlaqul Sosmediyah untuk Memberantas Hoaks
Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebenarnya punya panduan yang sangat bagus terkait dengan kode etik beraktivitas di media sosial. Panduan berjudul Akhlaqul Sosmediyah Warga Muhammadiyah berisi tuntunan yang baik dan benar dalam proses penyebaran informasi di internet. Meski secara eksplisit ditujukan untuk netizen Muhammadiyah, namun sesungguhnya panduan ini harus dijalankan oleh setiap muslim yang merasa memiliki tanggungjawab dakwah di media sosial.
Netizen Muhammadiyah harus menggunakan media sosial untuk kepentingan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan hikmah dan mauizhah hasanah. Panduan tersebut juga menghimbau netizen Muhammadiyah senantiasa berlandaskan akhlaqul karimah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadits dalam menjalankan aktivitas di media sosial.
Yang paling penting menurut saya, netizen arus dapat bertanggungjawab terhadap konten yang disebarkannya. Konten yang kita sebar harus bersifat mencerahkan, tidak bertentangan dengan norma sosial, agama, dan sesuai dengan etika keindonesiaan serta tidak merugikan orang lain.
Ayolah, kita sebarkan konten positif dan mencerahkan. Apa tidak lelah dikadali berita hoaks?
Editor: Nabhan