Tajdida

Tanwir ‘Aisyiyah Tidak Membahas Poligami

3 Mins read
Oleh: Siti Aisyah*

Pasca Tanwir ’Aisyiyah ke-2 yang diselenggarakan pada tanggal 18-20 Rabi’ul Awwal 1441 H / 16-18 November 2019 M) di Universitas ’Aisyiyah Yogyakarta, beredar tulisan Ustadz Nurbani Yusuf dengan judul cukup menggelitik ”Tanwir ’Aisyiyah : Pintu Poligami telah Tertutup”. Tulisan itu menjadi viral di media sosial dan beragam respon pro dan kontra.

Bagi ’Aisyiyah, pemikiran tentang poligami sebenarnya sudah dirumuskan dalam Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke XXVIII di Palembang tahun 2014 tentang ”Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”. Keputusan Munas itu telah ditanfidz oleh PP Muhamamdiyah pada tahun 2015 dengan Nomor 101/KEP/1.0/B/2015. Dalam Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, diantara salah satu dari enam prinsip perkawinan adalah monogami.

Dalam sidang Tanwir ‘Aisyiyah sendiri tidak dibahas tentang Poligami, apalagi menjadi Keputusan Tanwir ‘Aisyiyah. Yang diangkat justru terkait Gerakan Amal Sosial ’Aisyiyah di tingkat basis, Penguatan Amal Usaha, serta Visi, Misi, Nilai Dasar, dan Karakter TK ’Aisyiyah Bustanul Athfal.

Isu poligami muncul dalam sesi ceramah pada hari kedua Tanwir ‘Aisyiyah, Ahad 17 Nopember 2019, jam 15.30-17.00. Ada dua narasumber yaitu Dr. Agung Danarto, M.Ag dan Prof. Dr. Amin Abdullah. Pak Agung menyampaikan ”Paham Keagamaan yang Berkembang dan Infiltrasi Gerakannya dalam Muhamamdiyah”.

Dalam paparannya beliau antara lain menyampaikan titik singgung dan titik simpang Salafi dan Muhammadiyah. Paham Salafi dan Muhammadiyah sama dalam hal pemurnian dengan semboyan ar-Rujū’ ila al-Qur`ān wa as-Sunnah. Bedanya, pemurnian dalam paham Salafi adalah pemurnian dalam semua aspek kehidupan termasuk mu’amalah.

Dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah tekstual-literalis dan hanya mengikuti ulama tiga generasi pertama yaitu generasi sahabat, tabiin, dan tābi’u at-tābi’īn. Pemurnian dalam Muhamamdiyah dibatasi dalam bidang aqidah dan ibadah, sedangkan dalam mu’amalah dunyawiyyah gerakannya pembaharuan. Bagi Muhammadiyah, ”Ar-Rujū’ Ila al-Qur`ān was-Sunnah” memahaminya secara rasional dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.

Baca Juga  14 Nasihat dan Wasiat KH. Ahmad Dahlan

Ketika beliau berbicara tentang perempuan, kaum salafi menempatkan perempuan sebagai kaum yang berharga, mulia, dijaga dalam sangkar emas. Peran perempuan adalah sektor domestik, sedangkan sektor publik adalah milik laki-laki. Perempuan bepergian harus disertai mahram. Perempuan perlu mendapat pendidikan yang baik terutama keagamaan dan yang menopang peran domestiknya.

Muhammadiyah memuliakan perempuan dengan memberikan kesetaraan dengan laki-laki. Kewajiban berdakwah dengan menebar rahmat bagi seluruh alam merupakan kewajiban laki-laki dan perempuan. Bagi Muhamamdiyah, perempuan memiliki peran domestik dan publik serta boleh bepergian tanpa mahram bila keadaan aman dan terjaga dari fitnah.  Dalam menempuh pendidikan, perempuan sebagaimana laki-laki harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya di semua bidang ilmu.

Dalam berpakaian, perempuan salafi memakai jalabib (pakaian panjang) dan niqab (cadar). Bagi Muhamamdiyah, pakaian yang penting menutup aurat, boleh memakai pakaian tradisional, lokal, ataupun model pakaian Barat. Berbicara tentang perkawinan yang dipahami secara literal ya mayoritas poligami. Salafi mendukung poligami, walau membolehkan monogami. Dalam Muhamamdiyah sudah ada konsep Keluarga Sakinah yang  mendukung monogami walau tidak mengharamkan poligami. Mimpi poligami saja tidak.  

Sesi pak Amin Abdullah pada Tanwir ‘Aisyiyah tentang “Peran ’Aisyiyah dalam Gerakan Perempuan Islam Wasathiyyah dan Dinamika Global” yang kajiannya cukup luas. Diantara paparannya, Prof. Amin Abdullah menjelaskan tentang pergeseran maqāshid asy-syarī’ah (Tujuan keberagamaan Islam) di era klasik menuju kontemporer.

Di era klasik tekanannya pada maqashid khashsah/ad hoc, juz’iyyah/particulair yang prioritasnya hanya untuk umat Islam. Cakupannya meliputi perlindungan adama (ḥifzh ad-din), Perlindungan diri (ḥifzh an-nafs), perlindungan akal (ḥifzh al-’aql), perlindungan keturunan (ḥifzh an-nasl), dan perlindungan harta (ḥifzh al-mal).

Selanjutnya maqāshid asy-syarī’ah  di era modern dan modern lanjut tekanannya pada maqāshid ’āmmah (kemanusiaan universal). Yaitu pertama, perlindungan keluarga (ḥifzh an-nasl) merupakan teori yang berorientasi pada perlindungan keluarga, kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga.

Baca Juga  Covid-19 dan Ramadan Menghantarkan Menjadi Manusia Unggul

Kedua pengfungsian akal untuk melakukan penelitian/research keilmuan (ḥifzh al-’aql) yang dilakukan dengan melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah, mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan, menakan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas kerumunan gerombolan, dan menghindari upaya-upaya untuk meremehkan kerja otak.

Ketiga, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia/al-karamah al-insaniyyah ḥifzh al-’irdh) dengan menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan, seeta menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia.

Keempat, perlindungan terhadap hak kebebasan beragama dan kepercayaan (ḥifzh ad-din) dengan menjaga, melindungi, dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan.

Kelima, mengurangi / menghilangkan kemiskinan (ḥifzh al-mal) dengan mengutamakan kepedulian sosial, menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi, mendorong kesejahteraan manusia serta menghilangkan juran antar miskin dan kaya.

Ketika beliau memaparkan tentang ḥifzh-nasl beliau menyampaikan pergeseran paradigma. Di era klasik, ḥifzh-nasl dikaitkan dengan larangan zina, karena anak yang lahir karena zina (di luar perkawinan) tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

Dalam paradigma kontemporer, ḥifzh-nasl difokuskan pada teori yang berorientasi pada perlindungan keluarga dan perhatian lebih pada institusi keluarga. Salah satu contoh yang disampaikan adalah poligami yang dinilai tidak memberikan perlindungan pada keluarga.

Di awal tulisan ini sudah disampaikan bahwa permasalahan poligami dalam Muhammadiyah sudah selesai sehingga tidak menjadi pembahasan utama Tanwir ‘Aisyiyah 2019. Keputusan Munas Tarjih ke XXVIII di Palembang pada tahun 2014 merumuskan bahwa salah satu prinsip perkawinan adalah monogami.

*Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds