Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf oleh beberapa tokoh Muhammadiyah telah menarik beberapa peneliti dan menghasilkan beberapa artikel dan buku. Beberapa artikel atau buku itu mencoba untuk melihat bagaimana praktik dari “nilai” atau ajaran tasawuf dilakukan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah. Tentunya dalam hal ini tasawuf yang tidak bercorak falsafi, melainkan lebih kepada akhlak.
Jika menyebutkan salah satu tokoh Muhammadiyah yang concern pada permasalahan ini adalah HAMKA. Berbagai penelitian oleh para sarjana telah melahirkan beberapa artikel atau bukuyang mencoba melihat pemikiran tasawuf oleh HAMKA. Hal ini tidak bisa dilepaskan karena HAMKA sendiri memang menulis buku-buku yang bernafaskan dan berjudul tasawuf, seperti Tasawuf Modern, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, dan Renungan Tasawuf. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari HAMKA sendiri, yang memang ia merupakan penulis produktif buku-buku keislaman.
Biyanto ketika membagi tipologi tasawuf dalam Muhammadiyah, memasukkan HAMKA dalam kategori ulama-sarjana. Ia memasukkan HAMKA dan juga tokoh Muhammadiyah lainnya, Abdurrahim Nur, seorang tokoh Muhammadiyah yang berasal dari Sidoarjo (Biyanto:2017). Baik Abdurrahim Nur dan HAMKA memang memiliki latar belakang akademik, misalnya Abdurrahim Nur dulunya merupakan dosen di UM Surabaya, IAIN (Biyanto: 2015). Meskipun karyanya sendiri tidak memiliki corak tasawuf, yaitu Percaya Pada Takdir Membawa Kemajuan dan Kemunduran.
Biyanto menuliskan bahwa, paham Sufisme dalam pemikiran Abdurrahim sejalan dengan nilai Tauhid. Tauhid seorang sufi harus murni dengan ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan al-Quran dan sunnah dan tidak juga bertentangan dengan syariat-syariat Islam. Seorang sufi atau hamba percaya pada takdir dan tidak boleh juga pantang menyerah. Ia harus aktif dalam bermasyarakat untuk mendapatkan hasil yang baik. Kemudian Biyanto menghubungkan praktik sufisme ini dengan apa yang digagas oleh Rahman, tentang Neo-Sufisme.
Selain itu, Abdurrahim juga meminta para umat Islam untuk mengkritisi pratik dzikir yang dilakukan oleh tarekat-tarekat sufi. Hal ini menyangkut tentang penetapan jumlah dan apa yang dibaca pada saat berzdikir. Lebih lanjut, Abdurrahim mengkritik praktik dzikir tersebut yang menyebabkan pembacanya menjadi tak sadarkan diri atau mabuk. Karena baginya, Nabi Muhammad sudah menjadi contoh yang paling mudah, dan tidak mempraktikan dzikir hingga mabuk.
Penelitian lainnya, yang mencoba untuk mengungkap praktik akhlak yang bernafaskan tasawuf telah dilakukan misalnya seperti karya Masyitoh Chusnan dalam Tasawuf Muhammadiyah (Chusnan, 2012)yang mengungkap akhlak dari tokoh besar A.R Fahruddin, ataupun Karya Khozin, Sufi Tanpa Tarekat (Khozin, 2013), yang mengungkap pengamalan akhlak dari empat tokoh Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, A.R Fahruddin, KH. Bedjo Darmoleksono (Malang) dan KH. Abdurrahman Syamsuri (Lamongan).
Dari beberapa penelitian yang sudah tersebar luas, maka ada beragam sebutan bagi beberapa tokoh Muhammadiyah dalam pengamalan nilai-nilai tasawuf. Ada yang menyebutya misalnya sebagai Tasawuf Akhlaqi (Chusnan), Tasawuf Transormatif (Yulianto, 2014), dan Tasawuf Akhlaqi Transformatif (Khozin) ataupun Tasawuf Aktual. Hal ini tidak lepas dari pengamatan dan pembacaan pada tokoh-tokoh tersebut yang lebih menekankan tasawuf akhlaqi daripada tasawuf yang bercorak amali ataupun falsafi spekulatif.
Misalnya, Khozin ketika mengungkap nilai tasawuf dalam pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Ia mengutip Abdurrahman bahwa dalam diri Ahmad Dahlan terdapat laku tasawuf, yaitu muhasabah. Ahmad Dahlan menyampaikan pada para pengikutnya untuk selalu menimbang ulang cara-cara beragama dan bertauhid, apakah mereka sudah ikhlas atau belum dalam menjalankan agamanya. Selain itu, untuk pembersihan hawa nafsu, Ahmad Dahlan memberikan tiga jalan, yaitu dengan dzikrullah, melaksanakan shalat dan senantiasa memikirkan bahaya akhirat (Khozin: 2013, 99).
AR Fahruddin sendiri menghadirkan ajaran-ajaran tasawuf dalam laku sehari-hari. Karena ajaran sufi tidak cukup dipahami saja, tetapi juga harus dilakukan sehari-hari. Selain itu, AR Fakhruddin juga menegaskan bahwa kesederhanaan tidak berarti menjadi miskin.Ia mengatakan kepada warga Muhammadiyah agar menjadi orang Muslim yang kaya agar kelak hartanya bisa disumbangkan dan menjadi lebih bermanfaat (Khozin: 2013, 125).
Kedua tokoh terakhir ini mungkin berbeda dari dua tokoh sebelumnya, HAMKA dan Abdurrahim, karena dua tokoh terakhir ini pernah menjabat sebagai ketua umum Muhammadiyah, dan tidak aktif dalam dunia akademik, sehingga pengamalan dan praktik tasawuf akhlaqnya hanya bisa dilihat dari laku setiap harinya serta kontribusinya pada masyarakat langsung. Jadi tidak berteori saja, tetapi dampak apa yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan dan AR Fahruddin bisa dirasakan secara langsung.
Istilah tasawuf transformatif digunakan oleh Rahmat Yulianto dalam artikelnya, untuk menggambarkan salah satu tokoh lokal Muhammadiyah yang bernama Muhammad Zuhri, atau yang dikenal dengan nama Pak Muh. Pak Muh sendiri lahir pada 1939 di Kudus, tetapi tinggal di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih di Jawa Tengah Pak Muh aktif berdakwah di organisasi Muhammadiyah, dan Pak Muh sendiri berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Akan tetapi Pak Muh, kemudian memutuskan untuk hijrah ke berbagai kota dari Semarang dan ahirnya ke Jakarta (Yulianto, 2014 : 59).
Pak Muh sendiri produktif dalam menulis buku, buku-bukunya telah tersebar luas pada medio 2000-an, beberapa judulnya anara lain : Qasidah Cinta, Langit-Langit Desa : Himpunan Hikmah dari Sekarjalak, Mencari Nama Allah Keseratus, Hidup Lebih Bermakna, dan Lantai-lantai Kota.Jika dilihat dari judul-judulnya saja, buku-buku karyanya seperti bersifat sufistik, sebagaimana juga yang ditulis oleh Yulianto bahwa Pak Muh dalam tulisannya memadukan tasawuf baik sunni dan falsafi (Yulianto : 2014, 60), sehingga diksi-diksi yang ditulisnya menggugah jiwa.
Tasawuf transformatif Pak Muh sendiri memiliki lima karakteristik, antara lain : 1) memiliki visi keilahian, 2) hubungan wahyu dan akal, 3) eskatologi Islam, 4) Akhlaq Karimah dan 5) amal saleh yang berdimensi sosial. Tasawuf transformatif adalah bentuk tasawuf yang dihadirkan dalam bentuk zamannya dan merupakan sebuah jawaban bagi tantangan pada era sekarang. Titik tekannya adalah pada bagaimana pemahaman atas Tauhid dan manusia sadar akan dirinya pada alam semesta.
Jika kita membaca beberapa praktik tasawuf yang dipraktikan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah adalah tasawuf atau nilai tasawuf dalam bentuk akhlaq. Bukan pada suatu bentuk pada institusi tarekat ataupun pengamalan-pengamalan dzikir tertentu. Tidak adanya hubungan murid dan guru yang sebagaimana lazim praktik tarekat yang ada pada masyarakat Muslim. Serta tasawuf yang dihadirkan adalah bentuk tasawuf baru atau bisa dikatakan dari kelanjutan ide dari Neo-Sufisme yang diciptakan oleh Fazlur Rahman, yang beroreintasikan syariah dan perbaikan moral.