Pemuda muslim sebagai penggerak perubahan bangsa memiliki peran penting dalam mengenalkan Islam yang ramah dan terbuka pada dunia modern. Munculnya problema spiritual yang dialami manusia modern saat ini, bermula dari hilangnya visi ke-Illahi-an yang disebabkan oleh pemuda muslim modern itu sendiri, yang senantiasa bergerak makin menjauh dari pusat eksistensi dan lebih menonjol ke zona nyaman.
Untuk itu, tidak ada alternatif yang lebih baik dalam menjawab krisis spiritualitas yang telah menimbulkan berbagai penyakit spiritual saat ini. Kecuali pemuda muslim modern harus kembali ke pusat eksistensi dan keluar dari zona nyaman.
Asumsi dasar tentang manusia yaitu terdiri dari aspek jasmani dan rohani, material dan spiritual. Itu semua adalah dimensi lengkap yang dapat menjadi alternaif bagi manusia modern dalam mengatasi penyakit spiritual. Kedua hal itu sejatinya berjalan beriringan dan saling melengkapi.
Melalui dimensi spiritual, pemuda muslim dituntut untuk kembali ke pusat eksistensi, yaitu melalui zikir (mengingat), dzauq (cita rasa hati), musyahadah (menyaksikan), dan ma’rifah (mengenal segala yang tidak tampak). Dari sisi eksternal, pendidikan tasawuf merupakan pendidikan diri yang harus dilakukan dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh terhadap aspek spiritual. Walaupun masih banyak pemuda zaman sekarang yang belum tahu.
Memang, modernitas diakui telah membawa banyak sekali perubahan, baik dalam bidang sains dan teknologi, lapangan hidup, hingga perilaku masyarakat. Akan tetapi, indikator negatif yang paling menonjol dalam modernisasi adalah kecenderungan materialistik, individualistik, dan hedonistik. Oleh karena itu, tak mengherankan jika ukuran kemajuan lebih dititikberatkan pada persoalan material daripada nilai-nilai spiritual.
Tasawuf Menjawab Persoalan Krisis Spiritual
Menurut Azyumardi Azra, kerinduan masyarakat modern pada nilai-nilai agama dan pegangan spiritual tercermin dalam fenomena pada dasawarsa terakhir mengenai isu kebangkitan spiritualitas, sesungguhnya tidaklah aneh. Terutama di kalangan orang muda, kerinduan itu terlihat lebih kentara.
Banyak kalangan muda, terutama di Barat, yang datang ke belahan dunia Timur untuk mencari ajaran-ajaran yang dapat menentramkan rohaninya. Sebagian mereka ada yang masuk ke dalam penghayatan agama tertentu. Namun, ada pula yang hanya menghayati nilai spiritual yang berbau mistik dan esoteris.
Oleh karena itu, kehadiran tasawuf di tengah kehidupan modern sesungguhnya berusaha menjawab persoalan krisis spiritual yang diakibatkan oleh paham modernisme, yang lebih mengedepankan akal ketimbang spiritual. Padahal sejatinya, keduanya mesti beriringan dan sejalan, karena keduanya sama sekali tidak bertentangan, melainkan saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing.
Sulit dibayangkan jika nilai-nilai agama hanya mengedepankan nalar dan akal. Demikian pula jika hanya mengakui dimensi spiritual. Oleh karena itu, dimensi spiritual merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, terutama pendidikan agama Islam. Sebagai pelengkap dari dimensi jasmani yang sudah lama berkembang.
Menurut KH. Said Aqil Siroj, dimensi tasawuf dalam Islam kini sangat kontekstual. Sebab menurutnya, sejak awal budaya manusia, pendidikan spiritual pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan inkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang terakumulasi dalam masyarakat.
Perkembangan masyarakat berjalan erat menjadi satu dengan pertumbuhan dan proses sosialisasi serta inkulturasi dalam bentuk yang bisa diserap secara optimal, atau bahkan maksimal. Tasawuf sesungguhnya bukan suatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah perubahan moral-spiritual dalam masyarakat.
Urgensi Nilai-nilai Spiritual
Dan, bukankah aset moral-spiritual ini merupakan ethical basic atau al-asasiyatu al-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan?
Lebih lanjut, Said Aqil Siroj mengatakan bahwa pendidikan yang dikembangkan di Indonesia selama ini masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang sekali terarah pada kecerdasan emosi dan spiritual (tasawuf).
Oleh karena itu, krisis yang terjadi saat ini juga tidak terlepas dari krisis spiritual. Maka, tantangan besar yang harus dihadapi oleh umat Islam di era sekarang ini, tidak lagi pada tuntunan kemampuan manusia mengamalkan aspek tasawuf. Hal ini dikarenakan tantangan permasalahan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat semakin beragam dan semakin kompleks.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai spiritual—terutama nilai-nilai spiritual Islam, perlu ditumbuhkembangkan dalam diri setiap individu di era modern ini. Karena ia sangat urgen dan kontekstual. Dalam ajaran spiritual, terdapat upaya untuk menyadarkan jiwa dan pola pikir seseorang dari paham materialistik, individualistik, dan hedonistik.
Ajaran dan nilai agama yang akan membimbing setiap individu untuk keluar dari setiap problem-problem masyarakat dan umat adalah ajaran agama yang berdimensi spiritual. Jika orang di dalam dirinya telah terbiasa mendapat pendidikan spiritual, ia akan memiliki benteng yang tangguh dalam menghadapi dinamika zaman.
Ia tidak gampang goyah dan mengalami stres serta gangguan penyakit spiritual lainnya. Sudah jelas di dalam Al-Qur’an sebagai landasan spiritualitas dan landasan hidup yang sangat prinsip, ditegaskan bahwa ketika kamu senantiasa mengingat Allah, maka hatimu akan tenang.
Ajaran seperti inilah yang seharusnya selalu dijadikan pedoman, agar bagaimana menjalani hidup lebih sabar dan tenang. Seseorang yang keimanannya tidak kuat akan gampang terpengaruh oleh keganasan budaya modern yang menuntut bagaimana hidup harus serba tercukupi dan harus sama dengan orang lain pada zaman modern ini.
Dan ketika hal itu tidak bisa tercapai, maka stres dan tindakan yang keluar dari aturan agama akan dilakukan. Padahal, di dalam ajaran spiritual ditegaskan bahwa segala yang ada di dunia ini merupakan implementasi dari adanya ketentuan zaman azali. Artinya, segala bentuk kejadian, baik itu yang menyenangkan atau tidak, mesti dikembalikan pada yang menciptakannya.
Editor: Lely N