Sedang ramai orang bahas kata ‘revolusi akhlak’ yang akan dilakukan seorang tokoh agama sekembalinya ke Indonesia. Di sudut lain, ada yang melihat bahwa term tersebut berintensi pada sirkulasi rezim politik. Revolusi akhlak punya pintu. Pintu pembukanya ada pada taubat. Maka, hal pertama yang harus dilakukan sebelum revolusi akhlak adalah taubat, sebuah kesadaran/keinsyafan atas berbagai lalai yang hendak diperbaiki secara cepat.
Revolusi Akhlak
Revolusi akhlak dapat terjadi dalam berbagai kondisi. Peristiwa hebat yang berkenaan dengan kehidupan dan tujuan hidup acapkali menjadi pembuka revolusi akhlak secara pribadi. Banyak orang hijrah sebab kejadian tertentu yang berpengaruh dalam bagi diri mereka. Kadang kita heran, kenapa bisa orang-orang yang dulunya jauh gelap kini menjadi terang? Kegelapan dalam pikiran dan tindakan dalam arti ‘senang dosa’ kini tiba-tiba terlihat berubah drastis dalam ‘senang pahala’; rajin ibadah, lebih agamais, dan satu hal lagi, tatapannya lebih ringan dan tawadhu’.
Saya suka mencermati perubahan perilaku orang-orang hijrah. Sebenarnya, dalam arti luas tiap kita setiap hari adalah pribadi hijrah ketika misalnya kita tersadar dari kesalahan dan kemudian memilih bertaubat. Taubat adalah pintu menuju hijrah, menuju revolusi akhlak.
Mereka yang hijrah dalam arti spesifik seperti hijrah dari kehidupan glamour ke religius terlihat betul perbedaannya. Saya lihat mereka seperti dilindungi oleh awan ketenangan, kedamaian, dan juga petunjuk baru, versi baru dan terbaik dari dirinya sendiri.
Agar menjaga semangat hijrahnya, mereka kemudian membentuk atau mengasosiasikan diri dalam berbagai perkumpulan. Ada yang khusus artis, tapi ada juga yang sifatnya lebih umum. Keinginan menjadi pribadi hijrah, ‘manusia baru’ cukup banyak dalam Indonesia kontemporer yang menunjukkan gejala makin modern sekaligus makin religius.
Lagu yang sering diidolakan orang hijrah di antaranya adalah ‘Dunia Sementara Akhir Selamanya’ (DSAS) karya ex gitaris band metal ternama Indonesia Betrayer, Derry Sulaiman yang syairnya menyentuh:
“Wahai manusia..
jangan engkau tertipu daya
oleh dunia yang fana
sebagai tempat ujian bagi kita
Dunia sementara
akhirat selama-lamanya
Orang kaya mati
orang miskin mati
raja-raja mati
rakyat biasa mati
Semua pergi menghadap Ilahi
dunia yang dicari
tak ada yang berarti
takkan dibawa mati.”
Menjauhi Keinginan yang Tak Pernah Tuntas
Sebaliknya, ada juga pribadi yang merasa established dengan pribadinya. Mereka merasa sudah nyaman (belajar agama sudah dari kecil, teks-teks agama sudah di luar kepala), dan apa yang dilakukannya selama ini–plus dan minusnya–sudah oke. Mereka terlihat konsisten akan tetapi terkadang status quo, gitu-gitu aja, dan tidak berdampak luas.
Mungkin yang kita butuh dalam setiap hari aktivitas adalah posisi antara, tengah-tengah di antara semangat revolusi akhlak via taubat dan pertahanan terhadap kebiasaan baik yang telah ada. Jadi, ada semangat untuk mempertahankan yang lama–yang baik–namun tetap bersemangat pula untuk menemukan dan mendaki ketinggian akhlak lewat taubat secara terus menerus.
Revolusi akhlak tidak akan bisa terwujud jika dimulai dari pintu taubat. Itulah kenapa dalam agama, sebutlah Islam, tersedia pintu-pintu taubat setiap waktu. Seseorang bisa bertaubat kapan saja, bisa pagi, siang, sore, malam; bisa saat berada atau saat papa; bisa saat sibuk atau senggang; bisa saat berkuasa atau post-power alias pensiun.
Ulama asal Bandung KH. Abdullah Gymnastiar pernah menulis syair bagus ‘istighfar’ yang sampai sekarang masih relevan bagi untuk melahirkan kesadaran agamis di tengah godaan dunia yang kunjung henti menjadikan kita budak atas keinginan yang tak pernah tuntas:
“Barangsiapa Allah tujuannya
niscaya dunia akan melayaninya
namun siapa dunia tujuannya
niscaya kan letih dan pasti sengsara
diperbudak dunia sampai akhir masa.”
Kapan saja kita bisa mengetuk pintu taubat yang akan berdampak pada revolusi akhlak. Jika taubat sudah dilakukan tapi akhlak masih bobrok maka besar kemungkinan taubatnya tidak serius. Baru sekedar iseng, belum sampai pada kesadaran yang seutuhnya untuk bertaubat.
Taubat Nasuha
Dr. Phil. Suratno, pengajar Universitas Paramadina lulusan doktor dari Jerman spesialis meneliti antropologi taubat khususnya di kalangan ekstremis. Dia menemukan bahwa para ekstremis dapat bertaubat karena masalah personal, seperti kerinduan untuk punya kehidupan normal, kerinduan pada keluarga, keinginan punya anak, dan lain sebagainya.
Taubat dari ekstremis dalam arti radikalisme-terorisme, lahir karena kerinduan personal tersebut. Ingin hidup normal adalah bagian yang sangat manusiawi, sangat fitrah dalam diri orang. Apalagi misalnya, ketika seseorang telah berusia menjelang matang seperti 40 tahun. Mereka jadi tersadar bahwa tindakan mereka yang berlebihan di masa lalu harus dihapus dengan taubat agar bisa terintegrasi dalam masyarakat.
Ulama mashur dari Damaskus abad ke-13 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (w. 1350) menulis terkait taubat yang dapat mengantarkan pada kesehatan jiwa adalah taubat yang nasuha. Indikatornya, seseorang melakukan: taubat dari seluruh dosa hingga tak ada ranah yang tidak tersentuh taubat, kemudian menanam kemauan yang tulus untuk bertaubat tanpa ragu-ragu. Jadi, ini sangat personal. Harus dikuatkan dari kesadaran diri dulu bahwa kita ingin taubat.
Mufasir Indonesia M. Quraish Shihab ketika membahas QS. At-Tahrim ayat 8 menulis bahwa bertaubat kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya “mencakup masa lalu dengan menyesali dosa, masa kini dengan menghentikannya dan masa datang dengan tekad tidak melakukannya.”
Jika bertaubat seperti itu, lanjut beliau dalam Tafsir Al-Mishbah, maka pasti–dengan kemurahan dan janji Allah swt–Dia akan menghapus kesalahan-kesalahan kita dan memasukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Taubat nasuha bermakna bagi pelakunya tidak terbetik lagi dalam benaknya keinginan untuk mengulangi perbuatannya karena setiap saat dia akan diingatkan dan dinasihat oleh taubatnya itu.
Akhiran, revolusi akhlak itu perlu dimulai dari kesadaran taubat nasuha yang selanjutnya diikuti dengan berbagai tindakan kesalehan yang berdampak tidak hanya buat diri sendiri tapi juga dunia sekitar yang paling dekat.
Editor: Nabhan