Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab” yang ia gagas mendapat perhatian khusus dalam studi keislaman, terutama yang berfokus pada epistemologi yang melandasi ilmu-ilmu Islam.
Al-Jabiri adalah seorang intelektual yang dibesarkan di lingkungan lokal. Artinya, metode pendidikan yang ia gunakan berbeda dengan yang digunakan oleh para pemikir Islam modern lainnya, seperti Hassan Hanafi dan Arkoun.
Salah satu perhatian Al-Jabiri adalah masalah kemunduran pemikiran Islam. Kritik Arab yang dia buat bertujuan untuk mewujudkan kebangkitan (al-Nahdah) pemikiran Islam yang jauh tertinggal dari Barat.
Dengan kritik nalar, Al-Jabiri mencoba menunjukkan bahwa ada yang salah dengan cara umat Islam memperlakukan dan membaca turats yang ada dan berserakan di hadapan mereka. Al-Jabiri sadar bahwa dengan menggunakan kritik nalar, masalah ketertinggalan secara bertahap akan mudah diurai.
Syahdan. Al-Jabiri menulis satu buku khusus yang membahas tentang bagaimana cara berinteraksi dan membaca turas yang ada di hadapan kita. Buku yang berjudul “Nahnu wa al-Turats; Qira’ah Mu’ashirah fi Turasina al-Falsafi” dapat dikatakan sebagai buku pedoman dalam membaca satu karya turats yang ada.
Al-Jabiri dalam buku itu membahas secara lengkap, baik teoritis maupun metodologis, model pembacaan ideal terhadap turats. Model pembacaan yang ditawarkan Al-Jabiri merupakan sintesis dari dua model pembacaan lainnya: model pembacaan salaf dan model pembacaan liberal.
Kritik Al-Jabiri terhadap Salaf dan Liberal
Tak hanya itu, dalam bukunya, Al-Jabiri mengecam dua model pembacaan—salaf dan liberal—yang dia anggap tidak mampu mencapai kebangkitan yang diinginkan. Menurut Al-Jabiri, model pembacaan salaf kehilangan historisitas dan objektifitas, dan model pembacaan liberal juga kehilangan objektifitas.
Pembacaan salaf hanya mengagumi pencapaian masa lalu dan cenderung mengabaikan realitas yang terjadi saat ini. Secara operasional, model pembacaan ini hanya melakukan pengulangan terhadap yang sudah ada. Al-Jabiri mengisitilahkan model pembacaan ini dengan “Fahmu al-Turats hi al-Turats” dan “al-Turats Yukarriru Nafsahu”.
Bahwa, pengulangan dalam proses pembacaan akan menghasilkan kesimpulan yang tidak jauh beda dengan turats yang dibaca. Artinya, hasil dari model pembacaan ini sepi dari nuansa kreatifitas.
Apa yang dihasilkan dari model pembacaan ini sekedar mencari arti, bukan menghasilkan signifikansi. Dalam tradisi keilmuan Islam, model pembacaan ini yang justru mendominasi. Nalar yang menjadi landasan dalam model pembacaan ini adalah nalar bayani.
Al-Jabiri juga mengkritik model pembacaan liberal, yang menurutnya tidak dapat membawa kebangkitan yang diinginkan. Menurut al-Jabiri, model ini menggunakan pendekatan bacaan yang diambil dari Eropa.
Para pendukung model pembacaan ini memberikan tern yang dibaca berdasarkan pengalaman mereka di Eropa, sehingga mereka menganggap kebangkitan yang mereka harapkan sebagai kebangkitan yang dipinjam daripada kebangkitan murni yang berasal dari fakta umat Islam sendiri.
Pembacaan liberal menempatkan pemikiran Islam di posisi yang berlawanan dengan pemikiran Eropa: pemikiran Islam tertinggal sementara Eropa maju. Menurut al-Jabiri, perspektif dikotomis membuat orang liberal tidak dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kemajuan dan kebangkitan yang mereka kampanyekan.
Rupa-rupanya, Al-Jabiri tidak hanya mengkritik dua model pembacaan salaf dan liberal, namun juga memberi perspektif baru perihal model pembacaan yang ia anggap lebih sesuai dari dua model yang sudah ada. Model pembacaan yang ditawarkan Al-Jabiri diistilahkan dengan pembacaan kontemporer (al-Qira’ah al-Mu’ashirah).
Model pembacaan kontemporer merupakan jalan tengah dari dua model sebelumnya. Pembacaan kontemporer ini tidak ahistoris sekaligus tidak berangkat dari realitas yang dipinjam. Kebangkitan yang diinginkan oleh model pembacaan ini adalah kebangkitan yang jelas dengan metodologi yang jelas pula.
Menurut Al-Jabiri, model pembacaan kontemporer memiliki dua makna penting secara operasional: menjadikan yang dibaca kontemporer untuk dirinya sendiri (ja’lu al-Turats Mu’ashiran linafik) dan untuk kita sendiri (ja’lu al-Turats Mu’ashiran lana).
Al-Jabiri membuat metode yang dapat digunakan untuk memenuhi dua makna tersebut. Menurut “faslu al-Qari’an al-Maqru”, memisahkan pembaca dari apa yang dibaca adalah cara untuk membuat bacaan menjadi kontemporer bagi dirinya sendiri, sementara “waslu al-Qari’an al-Maqru” mengatakan bahwa kita harus mempertemukan pembaca dengan apa yang dibaca.
Al-Jabiri: Memisahkan Antara Pembaca dengan yang Dibaca
Pertama, Analisa Struktural (al-Mu’alajah al-Bunyawiyah)
Dalam model pembacaan modern ini, analisis struktural melibatkan melihat struktur atau bangunan yang ada di sekitar turats yang hendak dibaca; struktur ini termasuk struktur teks itu sendiri. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk melihat pengaruh struktur sekitar dalam proses pembentukan turats tersebut.
Dalam studi teks, kita tahu bahwa teks tidak dapat dipelajari secara mandiri. Untuk memahami sepenuhnya teks, kita harus melakukan analisis menyeluruh terhadap struktur yang ada di sekitarnya, yang meliputi struktur yang ada saat teks dibuat, seperti struktur ekonomi, budaya, dan politik.
Kedua, Analisa Historis (al-Tahlil al-Tarikhi)
Untuk menjadikan teks yang dibaca kontemporer bagi dirinya sendiri, proses selanjutnya adalah melakukan analisis historis. Analisa ini dilakukan untuk melihat hubungan dan pengaruh pemilik teks (turats) dengan lingkungannya, termasuk peristiwa budaya, politik, dan ekonomi yang terjadi pada saat penciptaannya. Namun, analisis ini tidak hanya bertujuan untuk memahami pemikiran seseorang yang terekam dalam turats yang dibaca.
Lebih dari itu, tujuan penting lainnya adalah untuk melihat kemungkinan-kemungkinan historis (al-Imkan al-Tarikhi) lainnya. Dalam konteks ini, kemungkinan-kemungkinan historis dimaksudkan untuk membantu pembaca memahami makna turats tersebut.
Oleh karena itu, Al-Jabiri berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan historis juga dapat menunjukkan kepada pembaca bahwa ada makna “lain” yang tidak terkandung dalam turats yang dibaca.
Ketiga, Menyingkap Ideologi (al-Tarh al-Idiyuluji)
Langkah kedua sebelumnya tidak akan lengkap tanpa melakukan langkah ketiga, adalah menyingkap ideologi. Dalam konteks ini, menyingkap ideologi berarti membuka selubung ideologi yang mendorong pembentukan turats.
Pemilik turats pasti memiliki nilai dan tujuan. Oleh karena itu, tidak hanya perlu melakukan analisis historis dan struktural, tetapi juga mencoba mengungkap ideologi di balik turats tersebut.
Untuk menjadikan yang dibaca kontemporer bagi dirinya dan bagi kita, ketiga langkah di atas secara operasional berarti mempertemukan yang dibaca dengan yang dibaca (wasluhu bina). Salah satu cara untuk menghubungkan pembaca dengan apa yang mereka baca adalah dengan mengatur alur cerita sehingga mereka dapat memahami relevansi dan pentingnya masalah yang dihadapi. Tiga langkah sebelumnya menentukan nilai turats tersebut.
Mengapa tidak hanya menemukan arti, tetapi juga signifikansi? Turats, menurut Al-Jabiri, bukan hanya produk sejarah; itu adalah sumber yang memiliki kemampuan untuk menciptakan “tradisi baru”.
Sebagai sumber pembentukan tradisi baru, turats harus dikaji dari segi arti dan signifikansi. Dengan kata lain, turats pada dasarnya berada dalam dua posisi sekaligus: sebagai objek karena ia dibaca dan dikaji, dan sebagai subjek karena ia dapat menjadi sumber pembentukan tradisi baru. Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Soleh