Manusia modern yang lahir dari kehendak kemajuan teknologi, mengisyaratkan peradaban baru umat manusia telah resmi dibuka. Kekangan akibat nihilnya untuk berkembang di awal abad 19 akibat keabsolutan dogma gereja. Ini awal mula revolusi teknologi mulai menembus sektoral kehidupan umat manusia.
Maka tak heran, perkembangan teknologi dan informasi akibat majunya ilmu pengetahuan juga mengandung risiko. Anthony Giddens menyebutnya high risk atau risiko tinggi akibat modernitas yang tak mampu lagi di kontrol.
Mengenai high risk, Anthony Giddens menunjuk pada suatu situasi dan kondisi kehidupan dimana eksistensi umat manusia dapat tergerus (punah) secara tiba-tiba. Kemajuan Iptek menurut Giddens adalah konsekuensi Renaissance yang bertumpu pada pandangan positivisme.
Maka kemudian, hal ini pun selaras dengan keresahan Ulrich Beck yang mengatakan manusia modern adalah risk society, yaitu masyarakat yang penuh risiko. Segala produksi modern tak bisa lepas dari risiko-risiko yang diakibatkan.
Ini kemudian dikarenakan semua yang disediakan berbau instan. Beck sendiri mengategorikan masyarakat berisiko ke dalam tiga golongan; yakni risiko fisik ekologi, risiko mental, dan risiko sosial.
Wabil khusus untuk risiko sosial, Beck berpendapat bahwa kemajuan teknologi informasi mengandung aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial. Hal ini akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri, dan risiko fisik kecelakaan (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), dan bencana (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan).
Sekaligus menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial” yakni ketidakpedulian, ketidakacuhan, indisipliner, fatalitas, egoisme, dan immoralitas.
Dalam dunia teknologi informasi saat ini, manusia semakin muak dengan segala perkembangan informasi yang seolah-olah diproduksi tanpa memperhatikan asas kebutuhan dan asas kemanfaatan.
Produksi informasi secara berlebihan tak heran membuat manusia terkadang jumawa untuk memilah setiap informasi yang tersedia. Maka kemudian, informasi yang mengandung kebohongan pun ketika diproduksi secara massal dan terus di ulang-ulang, akan menjadi kebenaran publik (Goebbels).
***
Tersebar luasnya berita yang mengandung kebohongan ini (hoax) adalah salah satu tanda risiko nyata akibat teknologi informasi yang disalahgunakan dan jauh dari substansi. Mungkinkah permasalahan ini bersumber dari stakeholder, informan, atau pemerintah sebagai produsen informasi? Ataukah ini merupakan tanda-tanda matinya kepakaran sebagaimana Tom Nichols memprediksinya?
Kebenaran informasi saat ini hanya dimaknai dari siapa otoritas informasinya, dan tak ada lagi filterisasi atau proses validasi data. Ini yang saya sebut sebagai “devaluasi informasi”.
Era teknologi informasi tidak hanya menciptakan lompatan pengetahuan, tapi juga memberi jalan dan bahkan memperkuat kekurangan umat manusia. Internet yang menjadi wadah informasi justru jadi sarana menyerang pengetahuan yang sudah mapan. Internet jadi sumber sekaligus sarana tersebarnya informasi bohong.
Perkembangan teknologi informasi terutama media sosial, membuat hal itu sebuah keniscayaan. Mungkin tak terlalu bermasalah bila semua orang sekadar merasa paling tahu sesuatu lantas menyebarkannya. Yang jadi masalah ketika peran pakar ditiadakan, informasi yang benar disangkal, lantas kedunguan dibanggakan.
Relasi Obesitas Informasi Terhadap Islam
Termasuk memahami Islam saat ini. Pemahaman kita terhadap Islam mengalami ancaman serius. Informasi yang hanya sekedar nilai relatif dianggap sebagai suatu kebenaran. Akibat obesitas informasi saat ini, bukannya untuk membongkar kemapanan pengetahuan tentang Islam, malah yang terjadi ialah ketidakpahaman semakin menjadi-jadi akibat literasi teknologi kita masih nihil.
Memahami dan mengaplikasikan Islam di era digital ini, perlu kiranya dilandasi dengan nilai-nilai kritisisme. Hal ini dikarenakan obesitas informasi juga berupaya untuk membuat umat Islam semakin terkotak-kotakkan.
Walaupun Islam sejatinya menghendaki perbedaan pendapat, tapi memahami Islam hanya sekadar informasi sepintas tanpa adanya rujukan yang jelas, merupakan problematika yang serius. Diperparah dengan umat yang tak lagi skeptis terhadap suatu informasi. Agus Mustofa menyebutnya sebagai turbulensi informasi.
Mulai bangun tidur sampai tidur kembali, umat manusia mengalami guncangan informasi setiap hari. Problematika informasi ini perlu kiranya langkah-langkah kongkrit umat Islam untuk merumuskan wacana pemikiran dan wacana gerakan sebagai manifestasi keprihatinan terhadap turbulensi informasi saat ini. Maka, rute yang tepat digunakan ialah dengan jalan ijtihad.
Ijtihad Informasi
Ijtihad dalam kaca mata umat Islam adalah salah rute yang digunakan untuk menafsirkan problematika zaman dengan mempertimbangkan asas rasionalitas. Agus Mustofa dalam buku Islam Digital, ia merumuskan beberapa pendekatan perihal turbulensi informasi saat ini yang berdampak pada laku keberislaman umat. Antara lain:
Pendekatan Saintifik
Generasi Z yang lahir tahun 1900-an, berbeda dengan umat manusia yang lahir jauh sebelumnya. Titik perbedaan tersebut berasal dari laku pemahaman keduanya yang terletak pada nilai-nilai skeptisisme. Dikotomisasi ini bukan bermaksud untuk menepis ketidakmapanan pengetahuan generasi sebelumnya.
Gejala sosial saat ini membuktikan bahwa generasi Z jauh lebih skeptis dengan menggunakan protokol rasionalitasnya terhadap informasi yang tersedia. Bahkan dalam skala teknis pengoperasian teknologi, mereka dianggap lebih mapan.
Permasalahan sektor Informasi saat ini, kiranya bisa menggunakan pendekatan-pendekatan rasionalitas. Dengan menggunakan skeptisisme ini, masyarakat digital tidak akan mudah menjadi konsumer informasi.
Pendekatan ilmiah-saintifik dengan menelusuri kebenaran informasi secara holistik adalah rute yang tepat untuk menghindari informasi sebagai nilai. Metodologi ini dianggap perlu dikonsumsi masyarakat digital, wa bil khusus umat Islam yang setiap harinya disuguhkan informasi mengenai perkembangan wacana pemikiran Islam kontemporer.
Pendekatan Cyber Literacy
Cyber literacy adalah suatu keharusan di dunia saat ini, termasuk di Indonesia. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan ialah untuk memastikan bahwa semua orang tahu cara menggunakan internet dan media lain dengan cara yang bermanfaat dan aman. Format seperti ini, masyarakat digital yang setiap harinya bergelut dalam dunia digital, akan lebih mengedepankan asas kedewasaannya.
Selain itu, perlu kiranya mengatasi beberapa permasalahan di dunia maya seperti hate speech, fake news, dan cyber harassment. Bahkan beberapa waktu ini, marak terjadi pelecehan anak lewat dunia maya.
Meskipun pemerintah sudah mempunyai mekanisme penegakan hukum, namun langkah pencegahan adalah hal yang juga menjadi kunci utama dalam upaya mengatasi permasalahan di dunia digital. Dunia maya juga telah menjadi ruang untuk agresi, konflik, dan kriminalitas, sebuah fenomena yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Post Truth dan Jihad Digital
Fenomena post truth di media yang mainstream saat ini menjadi industri kebohongan yang semakin masif. Anomali post truth bukan hanya dimaknai sebagai era pasca kebenaran sebagaimana adanya post modern. Kebohongan yang tergolong pada post truth sendiri ada beberapa kategori seperti kebohongan yang tidak disengaja dan juga kebohongan yang memang digunakan untuk menipu.
Media yang menyajikan beragam informasi, sontak tak mampu masyrakat melakukan validasi. Media digital hanya melihat dari otoritas informasi tanpa proses filterisasi. Sehingga anomali ini mengakibatkan media mainstream tidak relevan.
Umat Islam mesti mengambil peran sebagai kaum menengah di tengah nir-nilai informasi saat ini. Teringat kisah ketika Rasulullah dan para sahabat dulu menjadi kaum menengah yang menjembatani elit oligarki Arab dan kaum marjinal Arab pada saat itu. Reformulasi gerakan dakwah umat Islam adalah keniscayaan sejarah.
Sejarah mencatat bagaimana umat Islam adalah umat yang mampu menampilkan sikap penengah di tengah maraknya pendikotomian saat ini. Inilah yang saya sebut sebagai jihad digital. Umat Islam mesti menjadi mediator di tengah maraknya obesitas informasi saat ini.
Umat manusia kini dihadapkan dengan turbulensi informasi, sebagaimana Hebert Marcuse menyebutnya one dimensional men atau masyarakat satu dimensi. Dimana manusia menjadi konsumen. Produktivitas bukan lagi menjadi alat, tapi menjadi tujuan. Termasuk informasi saat ini seolah-olah disediakan dan diproduksi menjadi sebuah kebutuhan yang harus dikonsumsi oleh manusia. Sehingga yang terjadi ialah obesitas informasi.
Syafii Maarif dalam Memoar Seorang Anak Kampung, menitikberatkan kemajuan teknologi dan informasi pada kemanusiaan. Sebagaimana Kuntowijoyo pernah menyebut bahwa teknologi informasi mesti menjadi liberasi atau media pembebasan manusia dari kebodohan dan kekolotan.