Fikih

Teknologi Makin Maju, Masih Bolehkah Seseorang Mengambil Rukhsah Puasa Saat Safar?

3 Mins read

Di era sekarang dimana teknologi transportasi semakin canggih, jarak dan waktu perjalanan dapat dipersingkat secara drastis. Hal ini tentu sangat berbeda dengan safar di era zaman kenabian dimana dibutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Akan tetapi sekarang, dengan jarak tempuh yang sama dapat kita tempuh dengan waktu yang jauh lebih singkat. Lantas di era dengan transportasi yang lebih canggih, apakah rukhsah puasa bagi yang safar selama bulan ramadhan masih boleh diambil?

Pendapat Fikih Terkait Rukhsah Puasa Saat Safar

Dalam buku tafsir ayat-ayat ahkam, Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskan perihal kriteria safar (berpergian) yang diperbolehkan bagi orang yang sedang berpergian itu mengambil rukhsah puasa.

Dalam hal ini, ulama fiqih berbeda pendapat tentang syarat safar yang memperbolehkan pengambilan rukhsah. Perbedaan pendapat tersebut digolongkan berdasarkan perbedaan jarak dan waktu tempuh perjalanan. Setidaknya terdapat tiga golongan pendapat.

Pertama, Al-Auza’i berpendapat bahwa berpergian yang memperbolehkan berbuka adalah bepergian dalam jangka waktu sehari. Alasannya adalah bahwa bepergian yang hanya menempuh waktu kurang sehari masih terhitung sebagai orang yang mukim. Sedangkan secara lazim pengertian orang yang berpergian adalah orang yang tidak bisa kembali ke rumah pada hari ia pergi dari rumahnya. Oleh karena itu maka batas safar yang diperbolehkan untuk berbuka adalah minimal perjalanan sehari.

Kedua, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, safar yang membolehkan untuk berbuka adalah safar dengan waktu dua hari dua malam dengan jarak tempuh kira-kira 16 farsakh (1 farsakh setara 5-5,5 km)

Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, safar yang dibenarkan syariat adalah bepergian yang dibolehkan meng-qhasar sholat. Sedangkan rasa letih sehari masih dapat ditahan. Adapun jika rasa letih akibat safar masih terasa hingga dua hari maka diperbolehkan untuk mendapatkan rukhshah.

Baca Juga  Corona Berakhir di Musim Panas? Hati-hati Memahami Pendapat Ibnu Hadjar!

Terdapat hadist yang berbunyi:

“hai penduduk Mekkah, janganlah mengqashar kurang dari empat burud dari Mekkah ke Asfan”. Menurut ahli bahasa, setiap 1 burd setara 4 farsakh, sehingga empat burud setara 16 farsakh (kurang lebih 88 km)

Landasan lainnya adalah riwayat dalam Shahih al-Bukhari bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka dan mengqashar saat berpergian sejauh 4 burud.

***

Ketiga, menurut Abu Hanifah dan Sufyan Ats-tsauri, bepergian yang diperbolehkan untuk berbuka adalah safar selama tiga hari tiga malam dan jarak yang ditempuh sekitar empat belas farsakh.

Mereka mengambil hujjah dari firman Allah Swt, “maka barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, hendaklah ia berpuasa (Q.S al-Baqarah [2]: 185).” Menurut mereka ayat ini menunjukkan wajibnya puasa, akan tetapi biasa mereka meninggalkan puasa ketika berpergian selama tiga hari karena adanya ijma’ tentang rukhshah. Adapun berpergian kurang dari tiga hari tiga malam maka hendaknya tidak meninggalkan puasa demi berhati-hati.

Selain itu mereka juga berhujjah dengan hadist rasulullah yang membolehkan seorang mukim mengusap sepatu selama sehari semalam dan bagi musafir selama tiga hari tiga malam. Dari hadist tersebut diketahui bahwa tiga hari dan tiga malam adalah bepergian yang diizinkan oleh syariat. Hal tersebut juga sesuai dengan hadist nabi Muhamad bahwa seorang perempuan tidaklah berpergian lebih dari tiga hari tiga malam kecuali dengan mahramnya.

Secara logis, Abu Hanifah menjelaskan bahwa safar idealnya adalah beberapa hari. Satu hari ketika meninggalkan keluarga, sehari lagi dalam perjalanan, dan sehari lainnya sampai pada tempat tujuannya. Pada hari kedua inilah seorang musafir benar-benar dalam berpergian dan boleh berbuka dan mengqashar.

Syeikh Ali Ash-Shabuni terkait perbedaan pendapat ini menekankan kepada kita untuk senantiasa berhati-hati dalam mengamalkan syariat. Adapun berbuka ketika safar selama tiga hari adalah yang lebih berhati-hati.

Baca Juga  Memaknai Mitsaqan Ghalizhan dalam Pernikahan di Tengah Pademi

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam penetapan kriteria safar yang diperbolehkan untuk berbuka ada faktor jarak dan waktu perjalanan.

Oleh karena itu, sebagai umat Islam di era canggihnya transportasi sekarang hendaknya lebih berhati-hati ketika ingin mengambil rukhsah puasa dalam keadaan safar. Dengan canggihnya teknologi, maka kita bisa mengambil pendapat terkait waktu dan jarak tempuh yang paling besar yaitu minimal perjalanan tiga hari dengan jarak tempuh lebih dari 16 farsakh (88 Km).

Masalah lainnya

Permasalahan selanjutnya adalah kompleksnya alat transportasi di era sekarang. masing-masing alat transportasi memilik efektifitasnya masing-masing. Oleh karena itu, dalam upaya mempermudah menjawab pertanyaan apakah kita sebaiknya mengambil rukhsah puasa safar di era canggihnya transportasi, kita dapat mengukur satu faktor lainnya yaitu kekuatan seorang musafir ketika melakukan perjalan.

Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i, berpendapat bahwa ketika seseorang dalam keadaan safar, maka ia lebih utama untuk berpuasa jika ia kuat untuk berpuasa. Sementara bagi yang tidak kuat berpuasa, maka berbuka adalah lebih utama. Keutamaan untuk berpuasa bagi yang kuat berlandaskan firman Allah, “Dan berpuasalah lebih baik bagitu jika kamu mengetahui (Q.S al-Baqarah [2]: 184). Sedangkan keutamaan untuk berbuka bagi yang tidak kuat berlandaskan firman Allah, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Q.S al-Baqarah [2]: 185)

Imam Ahmad berpendapat bahwa berbuka lebih baik karena mengamalkan rukhsah, adapun Allah menyukai jika rukhsah-Nya diamalkan sebagaimana ketentuan-ketentuan-Nya diamalkan.

Menurut Umar bin Abdul Aziz, yang paling utama adalah yang paling mudah diamalkan bagi seseorang.

Dari beberapa pendapat diatas maka mengambil rukhshah berbuka ketika safar di era canggihnya transportasi diperbolehkan dengan beberapa syarat tertentu terkait jarak dan waktu safar. Adapun menjalankan puasa lebih utama bagi yang kuat dan bagi mereka yang mengalami kesulitan, maka mengambil rukhshah lebih utama.

Baca Juga  Memasak Tugas Siapa: Istri, Suami, atau Koki?

Wallahu a’lam bishshowwab.

Referensi

Tafsir Ayat Ayat Ahkam karya Syeikh Muhammad Ali ash-Shabuni, 2016

Editor: Luna

Avatar
13 posts

About author
Ketua BEM Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur Indonesia
Articles
Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *