Perkembangan teknologi dari waktu ke waktu telah mengubah peradaban dan memperbaiki kehidupan manusia. Teknologi dianggap sebagai instrumen yang kuat untuk pembangunan ekonomi dan sosial serta berperan penting dalam pengurangan kemiskinan (Prodi 2015).
Secara khusus, teknologi informasi dan komunikasi diyakini dapat mengatasi kemiskinan melalui peningkatan akses masyarakat pada layanan pendidikan, kesehatan, dan keuangan.
Dengan cara yang tidak diduga, bahkan teknologi sederhanapun dapat membuat perbedaan dalam keseharian manusia. Sebagai contoh, penggunaan telepon seluler pintar (smartphone) di Indonesia telah menciptakan banyak peluang bagi masyarakat untuk membangun aktifitas ekonomi dan menambah penghasilan keluarga.
Smartphone adalah salah satu produk teknologi yang sejak tahun 2000 telah meningkatkan geliat sektor perdagangan online atau e-commerce. Sehingga tidak aneh jika pada tahun 2018, transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp 144 triliun. Ini sebanding dengan dua kali lipat APBD DKI Jakarta (Kompasiana 2017).
Sektor perdagangan online telah menjalar ke seluruh wilayah Indonesia bahkan daerah yang paling sulit terjangkau sekalipun. Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) seakan mendapatkan angin segar dan ruang baru untuk masuk pada rantai pasok dan menggerakkan roda perekonomian lokal.
Namun demikian, teknologi ibarat dua sisi mata pisau, dapat memberikan berkah tetapi juga bisa menimbulkan musibah dan bencana. Pada awal 2019, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan bunuh diri seorang supir taksi. Pemberitaan kemudian berkembang pada musabab tindakan yang dilakukan yaitu akibat jeratan hutang online.
Tidak lama setelah peristiwa tersebut, rentetan pemberitaan lainnya mengalir deras, menyibak tabir kelam sisi perkembangan teknologi. Artikel ini bermaksud mendiskusikan bagaimana teknologi memberikan dampak buruk masyarakat khususnya dalam bidang Teknologi Finansial (Fintek) dan faktor-faktor apa saja yang menjerumuskan masyarakat menjadi korban Fintek yang mengakibatkan kemiskinan semakin parah.
Jeratan Teknologi Hitam
Teknologi berkembang dalam ragam bentuk untuk mempermudah aktifitas manusia. Dalam konteks keuangan, teknologi menghasilkan produk layanan Fintek. Produk ini menggabungkan jasa keuangan melalui perangkat teknologi yang mengubah layanan keuangan konvensional menjadi layanan virtual karena pemberi dan penerima layanan tidak perlu bertemu langsung dan dapat dilakukan dengan super cepat melalui sistem atau program yang digunakan.
Awalnya, Fintek hanya digunakan oleh sektor perbankan sebagai upaya peningkatan layanan. Namun Fintek kemudian berkembang karena didorong oleh adanya kesenjangan dana kredit yang tidak dapat disediakan oleh institusi keuangan formal seperti bank untuk kebutuhan modal UMKM ataupun konsumsi rumah tangga.
Gap ini mengakibatkan munculnya platform peer to peer lending (P2P) melalui pinjaman online (pinjol) yang dapat diakses dengan sangat mudah oleh masyarakat. Lebih dari itu, pinjol memberikan pinjaman tanpa mensyaratkan agunan atau jaminan.
Seiring waktu, bak jamur di musim hujan kehadiran pinjol merebak subur tak hanya sebatas pinjol yang resmi terdaftar di OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tetapi juga pinjol ilegal. Menurut data OJK,sejak tahun 2018 hingga November 2019, tercatat hampir 1900 pinjol ilegal yang beredar baik dalam bentuk website, aplikasi ataupun penawaran melalui SMS (Pramisti 2019). OJK berargumen, meskipun lebih dari 1,000 pinjol ilegal telah diblok, masih banyak pinjol ilegal lainnya beroperasi (Kompas 2019).
Faktor-faktor dan Dampak Jeratan Fintek
Platform pinjol ilegal mempromosikan layanan secara agresif melalui pesan teks atau media sosial dengan persyaratan minimal. Perilaku pinjol ilegal tak ubahnya seperti predator yang siap memangsa siapapun yang terbuai oleh kemudahan yang diberikan. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjerat pinjol ilegal adalah sebegai berikut:
Rendahnya literasi keuangan. Kecukupan informasi seharusnya menjadi bagian proses yang perlu diketahui sebelum memutuskan mengambil pinjaman. Ketidaktahuan aturan main pinjol mengakibatkan kelalaian dalam mengukur resiko yang mungkin terjadi. Meskipun OJK telah berupaya untuk mensosialisasikan daftar pinjol ilegal kepada masyarakat, tetapi belum berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berhati-hati agar tidak terjebak dalam pinjol illegal.
Atas dasar proses dana yang langsung cair dalam hitungan jam, peminjam abai mengenai informasi tingkat bunga, biaya jasa layanan atau bahkan penalty yang ditetapkan oleh pinjol. Jikapun pinjol memberikan informasi, peminjam secara umum tidak mengecek apakah informasi yang disampaikan pinjol akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan.
Literasi teknologi juga merupakan faktor lain terjeratnya seseorang dalam pinjol. peminjam tidak menyadari bahwa aplikasi pinjol yang diunduh akan mengakibatkan seluruh informasi yang ada dalam ponsel peminjam diketahui oleh pemberi pinjol seperti nomor kontak keluarga dan kerabat sehingga ketika terjadi kemacetan dalam pembayaran, pemberi pinjol akan menghubungi seluruh nomor yang ada dalam ponsel tersebut dan membuat peminjam mendapatkan tekanan sosial.
Faktor lain yang menyebabkan seseorang terjerat pinjol adalah karena motivasi perilaku konsumtif. Sebuah studi mengenai budaya konsumerisme di Yogyakarta menunjukkan data mengenai penyebab mahasiswa yang mengambil pinjaman online adalah karena keinginan berbelanja barang ber-merk demi menaikkan status sosial.
Sejumlah 82% mahasiswa yang menjadi responden menyatakan pinjol yang mereka ajukan adalah untuk membeli barang yang pada dasarnya tidak dibutuhkan (Sihombong et.al). Di sisi yang lain, tidak sedikit masyarakat yang mengajukan pinjol untuk kebutuhan dasar dan mendesak seperti untuk kebutuhan sehari-hari, biaya berobat, dan membayar hutang.
Dampak pinjol terutama pinjol ilegal tidak hanya mengakibatkan seseorang terjerat lilitan hutang yang sulit diselesaikan, tetapi juga menggiring pada situasi lain yang lebih menakutkan seperti intimidasi, kekerasan, dipermalukan secara sosial, hilangnya pekerjaan yang dimiliki, dan bahkan bunuh diri.
Penetrasi teknologi yang kuat kedalam kehidupan manusia serta keseharian yang semakin online, membuat manusia dan teknologi nyaris tidak memiliki batas satu sama lain. Penggunaan teknologi baik untuk media sosial, aplikasi, dan website telah menjadi media untuk menormalkan penerimaan intrusi dan koreksi perilaku. Masyarakat dihujani oleh “rekomendasi yang membantu” tentang segala hal termasuk dalam mengakses keuangan seperti pinjol (Holmes 2016).
Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk mencari informasi lebih jauh mengenai produk teknologi apapun dengan sebaik-baiknya. Smartphone tidak akan memberikan manfaat jika tidak dibarengi dengan smart brain. Di sisi yang lain, pemerintah, perlu memastikan pengawasan dunia Fintek yang semakin berkembang. Lemahnya regulasi termasuk belum adanya UU Fintek akan menimbulkan pemanfaatan teknologi yang membahayakan kehidupan masyarakat.
Terlebih dalam situasi saat ini, merebaknya COVID-19 menuntut masyarakat untuk diam di rumah dimana tidak bekerjanya sebagian orang menyebabkan hilangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini akan menjadi peluang bagi Fintek untuk beraksi, sekaligus menjadi ancaman bagi masyarakat dari intaian predatory lending yang menggunakan kecanggihan teknologi.