Pendahuluan
Seiring berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, sangat penting bagi seorang muslim untuk mengkaji Islam, khususnya Al-Qur’an dengan pendekatan Sains. Salah satu mukjizat agung, yang mana sains perlu waktu yang panjang untuk mengobjektifikasi keilmiahannya, adalah peristiwa terbelahnya laut oleh Nabi Musa.
Di dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan hal ini sebanyak 3 kali, yakni dalam QS. Al-Baqarah: 50. Thaha: 22, dan al-Syu’ara: 63.
Konteks Peristiwa
Pada kala itu, Mesir dipimpin oleh raja bengis serta tidak taat kepada Allah yang bernama Fira’aun. Fir’aun selalu memborbardir Bani Israil karena mereka tidak mau patuh kepada Fir’aun, melainkan kepada Allah. Dengan kebengisan yang dirasakan Bani Israil atas tindakan Fir’aun, meneguhkan hati mereka untuk meninggalkan Mesir.
Nabi Musa bersama Bani Israil melakukan perjalanannya malam-malam sebagaimana yang diperintahkan Tuhan dalam.
وَلَقَدْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِيْ فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيْقًا فِى الْبَحْرِ يَبَسًاۙ لَّا تَخٰفُ دَرَكًا وَّلَا تَخْشٰى .
Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam).
Setalah Fir’aun mengetahui Nabi Musa dan Bani Israil hendak keluar dari Mesir, ia dengan bala tentaranya, yang jumlahnya sektar 600 kereta lengkap dengan perwiranya dan 1.200.000 tentara berkuda, mengejar Nabi Musa.
Ketika Nabi Musa telah mencapai ujung daratan, seketika itu Allah menyuruh Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke permukaan laut (Aminullah Halim, Musa VS Fir’aun, 165).
فَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْبَحْرَۗ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ ۚ .
Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar.
Perspektif Tafsir
Dalam QS. Al-Baqarah termaktub,
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ ٱلْبَحْرَ فَأَنجَيْنَٰكُمْ وَأَغْرَقْنَآ ءَالَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan
Interpretasi ayat tersebut muncul secara variatif, hal itu disebabkan corak keilmuan yang dimiliki masing-masing mufassir berbeda. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), seorang mufassir Indonesia, memberikan tafsir dengan pendekatan historis-sosiologis pada ayat tersebut. Penjelasan ini ditemukan dalam kitab tafsir al-Azhar jilid 1 yang ditulis sendiri oleh Hamka di penjara
Hamka menjelaskan bahwa, eksodus yang dilakukan oleh Nabi Musa merupakan suatu upaya untuk terbebas dari kesengsaraan oleh raja Fir’aun. Nabi Musa mengajak kaumnya untuk menuju satu wilayah yang kaya akan madu dan susu. Akan tetapi eksodus yang dilakukan Nabi Musa tidak mudah. Fir’aun dan bala tentaranya mengejar. Tidak berhenti sampai sana, untuk mampu menjangkau wilayah yang dituju, Nabi Musa dihalangi oleh laut luas yang mustahil untuk menyberanginya. Setelah itu, dengan titah Tuhan Nabi Musa memungkulkan tongkatnya ke permukaan lautan sehingga terbelah dan mampu dilewati oleh kaumnya (Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar jilid 1, 156).
Saintifikasi Fenomena Laut Merah
Sains berupaya untuk mengobjektivikasi secara ilmiah tiap-tiap fenomena yang terjadi, khususnya fenomena alam, seperti hujan, perubahan cuaca, dan lainnya. Kendati demikian, terdapat beberapa peristiwa agung yang mengakibatkan ilmuwan sains harus bekerja keras untuk mengobjektivikasi hal tersebut. Salah satunya adalah fenomena terbelahnya laut.
Usaha riset mengenai fenomena tersebut diprakarsai oleh sejumlah ilmuwan di Universitas Colorado AS yang tergabung dalam National Center of Atmospheric Research (NCAR). Sebelum melakukan riset ilmiahnya, NCAR mengakumulasikan beberapa fakta empiris-geologis terhadap konteks fenomena, antara lain:
- Lokasi penyebrangan Nabi Musa di Wilayah Nuwaiba, Semenanjung Sinai, Mesir
- Kedalaman maksimum perairan adalah 800 m ke arah Mesir dan 900 m ke arah Arab
- Jarak Nuwaiba di sisi timur Laut Merah hingga Semenanjung Arab di sisi Barat sekitar 1800 m.
- Lebar lintasan saat Nabi Musa menyebrangi Laut Merah diperkirakan mencapai 900 m
***
Dengan data-data empiris tersebut, bisa dibuat simulasi mengenai fenomena laut yang terbelah. Dalam perhitungan fisika, diketahui bahwa jika penyibakan Laut Merah tersebut berlangusng empat jam saja, maka dibutuhkan tekanan (gaya persatuan luas) sebesar 2,8 juta Newton per meter persegi.
Jika dikaitkan dengan kecepatan angin, niscaya akan melebihi angin saat terjadi badai kencang. Mengacu pada perhitungan yang dilakukan oleh seorang pakar dari Rusia bernama Volzinger, diperlukan hembusan angin dengan kecepatan konstan 30 m per detik atau 1080 km per jam sepanjang malam untuk membelah air sedalam 800 m.
Dengan sumber tersebut, para peneiliti Amerika Serikat menyatakan bahwa fenomena Laut Merah terbelah ini memiliki kemungkinan besar untuk terjadi. Dari hasil simulasi komputer yang mempelajari cara angin mempengaruhi air, diperlihatkan bahwa angin mampu mendorong air sehingga mampu membelah daratan dasar laut.
Terbelahnya air laut dapat dipahami melalui teori mekanika fluida, seperti halnya yang disampaikan oleh Pusat Riset Atmosfir Nasional (NCAR) dan Universitas Colorado AS. Air digerakkan oleh angin dengan cara yang sesuai dengan hukum-hukum (Carl Drews dan Wiqing Hans, Dynamics of Wind Setdown at Suez and the Eastern Nile Delta, 1-10).
Lebih spesifiknya, penelitian model ini membubuhkan simulasi formasi berbentuk huruf U dari sungai Nil dan laguna dangkal di sepanjag garus pantai. Hal ini menunjukkan bahwa angin dengan kecepatan 63 mil per jam yang berhembus selama 12 jam bisa mendorong air hingga kedalaman 6 kaki. Ini menjadi jembatan tanah sepanjang 2-2,5 mil dan luas 5 mil hingga tetap terbuka selama 4 jam
Kesimpulan atas Terbelahnya Laut Merah
Berdarkan hasil riset tersebut, maka nisa disimpulkan bahwa Laut Merah memang memiliki potensi untuk terbelah dan menampakkan dasar lautnya. Akan tetapi, mengenai fakta yang benar-benar terjadi dalam Al-Qur’an, Allah lebih mengetahui akan hal itu. Sunnatullah mampu dijelaskan oleh ilmu-ilmu Allah yang dapat diterima oleh akal manusia.