Karena akal tak akan dapat kita kenal. Karena wujud dan hakikatnya tak akan dapat kita sifatkan. Karena akal tak akan dapat kita lihat. Maka bagaimanakah cara kita memahami akal itu?
Cobalah kita mengambil perbandingan dengan makhluk-makhluk yang lain. Jika kita perhatikan perumpamaan yang di awal tulisan ini, maka boleh dikatakan bahwa kita manusia ini adalah musyarakah (berserikat) pula dengan hewan-hewan apabila dipandang dari ukuran ruh dan hayat masing-masingnya. Sebab, tatkala kambing dan manusia (seperti dalam perumpamaan sebelumnya) telah hilang ruh dan hayatnya karena ditembak, maka kedua-duanya pun sama-sama mati dan tak dapat bergerak.
Di kala itu, (hilangnya ruh), maka keadaan kita tak ubahnya lagi sebagai benda, batu, batang kayu, dan lain-lainnya, yang tak mempunyai hayat dan tak bisa bergerak. Dan di kala itu, umpamanya kita diberi hayat lagi, maka keadaan kita kembali tak ubahnya sebagai tumbuh-tumbuhan, pohon kayu yang hanya bisa hidup tapi tak mempunyai ruh.
Dalam hal ini, maka ahli filsafat telah mengatakan bahwa kita adalah musyarakah (berserikat) dengan semua isi alam ini. Kita musyarakah dengan batu, kayu, dan lain-lainnya. Tatkala kita hanya berwujud jisim yang tak mempunyai hayat, ruh, dan akal. Kita musyarakah dengan tumbuh-tumbuhan di masa kita berwujud jisim, mempunyai hayat, memiliki ruh, dan tak mempunyai akal. Kemudian setelah kita berakal, di sinilah perbedaan dengan makhluk-makhluk (isi alam) itu.
Oleh sebab itu, dengan total general maka kita manusia terdiri dari empat susunan: 1) jisim (matereel), 2) hayat, 3) ruh, 4) akal.
Jadi, seumpama akal kita dibuang, dus tak berakal, maka kita bersifat tumbuh-tumbuhan (pohon-pohonan). Kemudian hayat kita hilang, maka kita adalah bersifat sebagai batu, kursi, enz (dan lain-lain).
Sebaliknya, apabila batu tadi diberi hayat, maka ia bersifat tumbuh-tumbuhan. Dan bilamana tumbuh-tumbuhan itu diberi ruh, maka ia bersifat binatang (hewan). Dan bilamana hewan itu diberi akal, maka ia bersifat sebagai manusia seperti kita ini.
Sekarang, kita kembali kepada kegaibannya akal.
Kalau dihadapkan kepada kita suatu pertanyaan bagaimana dan apakah hakekatnya jisim (matereel) kita ini, maka kita tak akan dapat menerangkannya. Ya, memang dapat kita katakan bahwa jisim itu ini, wujudnya begini; batu itu begini, wujudnya ini, tapi hakekat yang sebenar-benarnya yang dikatakan jisim, batu dan sebagainya itu apa, tak dapat kita ketahui..
Maka bilamana hakekatnya jisim saja tak dapat kita mengetahuinya, maka apalagi hakekatnya hayat yang mana kita lebih tak mengetahuinya. Seterusnya tentang ruh dan selanjutnya kepada hakekatnya akal, tentu lebih-lebih lagi kita tak mengetahuinya.
Jadi, dengan ringkas dapat kita katakan bahwa: jisim (matereel) ialah sesuatu yang tak diketahui. Dan hayat adalah sesuatu yang tak diketahui, tersimpan dalam barang yang tak diketahui. Dan ruh adalah sesuatu yang tak diketahui, tersembunyi dalam barang yang tak diketahui. Kemudian akal ialah sesuatu yang tak diketahui, dan tersembunyi dalam barang yang tak diketahui dan terbungkus dalam barang yang tak diketahui. Wassalam!
Disusun oleh M. Arsjad Al-Donggalawy,
Sumber: Adil no. 31 Tahun VIII/4 Mei 1940
Editor: Arif