Sejarah adalah Kita, Waktu, dan Gerak
Mengenai waktu. Banyak perdebatan mengenai hakikat waktu, antara ia adalah sebuah kenyataan di luar sana yang memang ada ataukah ia adalah ukuran mental kita dalam menimbang segala pergerakan yang dapat kita saksikan. Terlepas dari perdebatan itu, para filsuf menyepakati bahwa waktu memiliki kaitannya yang erat mengenai pergerakan, bahwa pada tiap pergerakan ia disertai dengan bertambahnya waktu sebagai ruang pergerakan sesuatu itu dari diri sesuatu itu sebelumnya menuju masa depan.
Walau waktu hanya sedetik dan bergerak satu inchi. Kedip mata kita, detak jantung kita, kejut kagum kita, ledak tangis kita, semua terjadi dalam hitungan waktu yang menandakan sebuah kejadian yang berbeda dari kejadian kemarin dan besok. Ia adalah ukuran mengenai letak diri kita di antara diri kita yang lain, diri kita di masa lalu dan hari ini.
Bagi Imam at-Thabari, sejarah sebagai rangkaian kejadian di masa lalu adalah kenyataan yang senantiasa patut diambil hikmahnya. Kendati begitu, beliau jarang memberikan komentar pribadinya mengenai kejadian-kejadian yang diterangkannya melalui riwayat dan persaksian.
Beliau membiarkan sejarah berbicara untuk dirinya sendiri, dengan segala paham dan hormat bagi beliau untuk tidak menciptakan kekaburan dalam hakikat sesungguhnya kejadian masa lalu yang merupakan ketentuan Allah dengan spekulasi dan komentarnya.
Sejarah tidak pernah berbicara untuk dirinya sendiri dalam keadaan penuh. Ia hanya mampu berbicara bagi dirinya mengenai kenyataan yang memang wujud terjadi pada dunia di luar sana. Namun makna yang membuat wujud kenyataan kejadian tersebut menjadi mampu diletakkan dalam tatanan kehidupan dan rangkaian keseluruhan sejarah dan kejadian-kejadian lain adalah hasil pembacaan manusia sebagai pelaku dalam penggapaian pengetahuan.
Oleh karena itu, banyak para peneliti dan pegiat sejarah lebih nyaman untuk meletakkan sejarah dalam kelompok kesenian daripada sains (seni tetaplah ilmu dengan pengertian ilmu ‘penunjuk kepada apa yang ditunjuk’, sains di sini digunakan dalam arti sempitnya).
***
Sejarah adalah seni memotret makna dari sebuah kejadian mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang akan terjadi pada dunia esok hari. Keseluruhan pemaknaan itu bergantung pada diri manusia yang berusaha menghubungkan dirinya dengan dunia di luarnya. Apakah ia mampu menyatu dengan keseluruhan wujud kenyataan di luarnya dalam bingkai makna, atau justru hilang dalam kesendiriannya, dan menciptakan utopianya sendiri?
Mereka yang terjebak dalam tragedi sehingga membuat sebuah utopia sebagai tempat pelarian dari nihilnya makna dalam dunia adalah mereka yang tidak mampu mendapatkan pembacaan mengenai kenyataan sebagaimana kenyataan itu berbicara untuk diri-Nya.
Mereka yang senantiasa berada dalam kebingungan dan bertanya-tanya maksud Allah dalam wujudnya sesuatu dan kejadian-kejadian yang ditetapkan-Nya, sehingga ketidakikhlasan mereka itu yang membuat mereka disesatkan Allah (yudzillu bihī kathīrah) (2:26).
Kemudian karena ketidakmampuan mereka dalam melihat diri mereka hari ini dengan pancaran kepalsuan dari masa lalu dan masa depan yang merupakan hasil penyesatan Allah atas mereka (atau kita?) akibat ketidakikhlasan kita dalam mengakui sepenuh kekuasaan milik Allah, membuat kita memaksakan apa yang berada di masa lalu dan di masa depan (dalam pikirannya) diletakkan dalam dunia hari ini tanpa kerangka makna yang berkesesuaian dengan kenyataan dunia ruang dan waktu.
***
Inilah yang kemudian dapat kita katakan sebagai perilaku ahistoris, keterputusan manusia dari sejarah-nya. keterputusan manusia dari their arche of being yang berada dalam pergerakan ruang dan waktu. Sehingga terjebak dalam regresi dan devolusi, sebagai akibat dekonstruksi mengenai kesungguhan kerangka makna dalam kenyataan di luar sana, mencerabutnya dari perannya untuk memandu penggapai ilmu (subjek ilmu) dalam membaca kerangka makna kenyataan dan melakukan internalisasi pemaknaan pada letak dirinya dalam kerangka kenyataan itu.
Setelah kita mengonservasi permasalahan klaim-klaim mengenai kenyataan di luar sana beserta maknanya, mari kita kini melihat diri kita: di mana kita melihat diri kita dalam perjalanan kesejarahan umat manusia? ke mana kita akan pulang dan ke mana kita akan pergi? apakah kita hadir dalam dunia kita hari ini, ataukah kita berada dalam fantasi masa lalu atau keabsurdan masa depan hasil karangan kita sendiri sebagai keinginan kita untuk mencerabut diri dari dunia hari ini?
Hanya dengan kita mengakui diri sebagai bagian dari keseluruhan ruang dan waktu hari ini beserta kumpulan pengalaman kesejarahan manusia di masa lalu dalam ruang dan waktu beserta apa yang melampauinya (alam ruh). Ia akan mengantarkan kita pada pemenuhan makna diri kita dalam dunia ini.
Sebagai manusia yang beriman, beramal soleh, dan mengingatkan kepada kebenaran dan kebaikan. Iman sebagai hakikat diri yang berada dalam alam ruh, amal sebagai ejawantahnya pada dunia hari ini, dan kebenaran dan kebaikan mengenai apa yang telah dan akan benar dan baik, sebagai perwujudan kebenaran dan kebaikan Islam yang melampaui ruang dan waktu, melampaui perubahan, sehingga ia sendiri yang mampu memandu arah perubahan dan perbaikan menjadi pergerakan yang bermakna.
Editor: Soleh