Perspektif

Teologi Al-Ashr: The Spirit of Sabar

3 Mins read

Teologi Al-Ashr merupakan salah satu ajaran dari pendiri Muhammadiyah yaitu Muhammad Darwis atau yang lebih di kenal dengan nama K.H Ahmad Dahlan. Beliau mengajarkan teologi Al-Ashr kepada muridnya kurang lebih tujuh sampai delapan bulan, lebih lama dari teologi Al-Ma’un yang hanya beliau ajarkan tiga bulan saja.

Walau pada kenyataan saat ini lebih banyak dikenal teologi Al-Ma’un dibanding teologi Al-Ashr. Bisa dilihat dari banyaknya tulisan yang membahas teologi Al-Ma’un dibanding teologi Al-Ashr.

Teologi Al-Ma’un mengajarkan tentang agar umat Islam untuk meningkatkan kepedulian sosial. Sedangkan di dalam teologi Al-Ashr, terdapat empat pilar yang diajarkan KH. Ahmad Dahlan.

Pertama, paradigma tauhid, kedua, penguatan dan pengembangan IPTEKS, ketiga, amal usaha: kerja keras, produktif, dan keempat, penguatan moral etika serta akhlak. Dari empat pilar tersebut, di sini penulis tertarik untuk menjelaskan pilar keempat yaitu penguatan moral etika serta akhlak dengan kesabaran.

Dalam Islam, sabar menempati posisi yang istimewa di antara akhlak mulia lainnya. Al-Qur’an mengaitkan sabar dengan sifat dan perbuatan mulia lainnya, yaitu iman, shalat, syukur, tawakal, ikhlas, dan takwa.

Dengan mengaitkan sabar dengan sifat lainya menunjukan betapa istimewa sabar itu. Karena sabar merupakan sifat yang istimewa, oleh karena itu orang yang sabar juga merupakan orang-orang yang istimewa.

Teologi Al-Ashr

Pilar keempat dari teologi Al-Ashr diambil dari surat Al-Ashr ayat 3:

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran

Dari pengalan wa tawâshau bi al-shabr, KH. Ahmad Dahlan mengajarkan kepada kita bahwa pentingnya untuk saling menasehati dalam hal kesabaran. Kesabaran dalam surat Al-Ashr dalam konteks peradaban, dapat dimaknai sebagai saling menasehati guna menguatkan MEA (Moral-Etika-Akhlak) individu maupun kelompok masyarakat. Karena kesabaran merupakan simbol moral yang tertinggi.

Baca Juga  Ketika Semua Tidak Seperti Biasanya

Imam Al-Ghazali menjelaskan sabar adalah kesangupan untuk mengendalikan diri ketika hawa nafsu sedang memuncak atau kemampuan untuk menjalankan perintah agama ketika datang desakan hawa nafsu.

Artinya ketika hawa nafsu datang menuntun untuk melakukan perbuatan yang tidak baik, maka kita lebih memilih untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.

Hal yang Harus Dihindari untuk Meningkatkan Kesabaran

Sebegaimana sudah dijelaskan di atas, sabar merupakan ibadah yang istimewa serta mulia. Sabar bukanlah perkara yang mudah untuk dikerjakan, banyak rintangan yang akan dihadapinya bahkan orang yang sabar sekalipun belum tentu bisa untuk istikamah dengan kesabarannya.

Sebab semakin sabar seseorang maka semakin tinggi ujian yang akan Tuhan berikan. Dalam buku Sabar: Satu Prinsip Gerakan Islam karya Dr. Yusuf Qaradawi menjelaskan mengenai penyakit-penyakit yang mampu merusak kesabaran dan harus dihindari di antaranya:

Pertama, tergesa-gesa. Orang yang tergesa-gesa biasanya tidak mau sabar atau tidak mau menikmati proses, yang diinginkan hanyalah bagaimana cara agar bisa mendapatkan apa yang diingikan dengan instan.

Padahal, ketika terlalu berambisi untuk mendapatkan yang instan justru ia tidak akan mendapatkanya sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Ahqaf ayat 35 yang artinya “maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka”. Tergesa-gesa juga merupakan sifat orang musyrik.

Kedua, marah. Marah sebenarnya perbuatan yang merugikan baik merugikan diri sendiri atau orang lain, karena marah perbuatan yang melelahkan, menyakitkan, dan meresahkan. Orang yang sedang marah biasanya akan mudah untuk memaki siapa saja, ketika kemarahan sedang berada di puncak biasanya seseorang cenderung bertindak di luar batas kewajaran. Oleh karena itu marah merupakan perusak kesabaran.

Baca Juga  Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra, Apa Dampaknya?

Ketiga, terlalu bersedih. Dalam Al-Qur’an, banyak sekali pesan yang disampaikan kepada manusia untuk tidak bersedih secara berlebihan sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 127 “bersabarlah (hai Muhammad) dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”.

Manusia hanya diwajibkan untuk selalu berusaha semaksimal mungkin adapun yang menentukan berhasil atau tidak hanyalah Allah.

Keempat, putus asa. Putus asa merupakan kendala kesabaran yang paling besar karena ia akan mematikan cahaya hati, cita-cita, dan harapan sehingga seseorang tidak mau lagi berusaha dan beramal.

Allah melarang manusia untuk putus asa sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali-Imran ayat 139 “janganlah kalian bersikap lemah dan jangan pula kalian bersedih hati, padahal kalian lah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kalian orang-orang yang beriman”.

Dengan Sabar Mendapatkan Banyak Manfaat

Jika sabar sudah menjadi salah satu pondasi, maka godaan hawa nafsu bukan lagi hal yang sulit untuk ditinggalkan. Untuk menguatkan sabar, juga bukan hal yang mudah. Perlu ketaatan dan istikamah. Tidak heran jika sabar merupakan salah satu simbol moral tertinggi, karena dengan sabar akan mendapat banyak sekali manfaat di antaranya sabar merupakan bukti keimanan seseorang.

Salah satu tanda orang yang imannya kuat yaitu sabar. Sebab orang yang imannya kuat biasanya lebih bersabar dalam menghadapi kondisi tertentu. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa sabar merupakan salah satu tiang iman. Beliau mengatakan bahwasannya Islam berdiri atas empat pondasi yaitu keyakinan, kesabaran, jihad, dan keadilan.

Selain sebagai bukti keimanan sabar juga bermanfaat sebagai kunci sukses sebagaimana yang terdapat dalam buku emotional intelligence karya Daniel Golleman mengatakan bahwasannya yang menjadi penentu sukses atau tidaknya seseorang bukanlah terletak pada kecerdasan intelektual akan tetapi terletak pada kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan menahan diri dan mengendalikan emosi atau di dalam Islam biasanya disebut dengan sabar.

Baca Juga  Mengenal Perbedaan dengan Pemikiran Kalam Ibnu Qayyim

Editor: Yahya FR

Alafa Nidaul Khoir
1 posts

About author
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *