Salah satu Ilmuwan Muslim yang berpengaruh di dunia adalah Abu Ali al-Hussain Ibn al-Ali Ibnu Sina. Ia yang lebih dikenal dengan nama Avicenna di dunia barat. Lahir pada masa keemasan peradaban Islam yaitu tahun 986 M di Uzbekistan.
Pada masa hidupnya, ia banyak menghabiskan waktu dengan meneliti ilmu kesehatan, matematika, astronomi, psikologi, dan filsafat. Tidak banyak diketahui bahwa Ibnu Sina bukan hanya sekedar filosof muslim beraliran paripatetik yang empirik logis rasional semata, melainkan juga ia merancang sistem bangun pemikiran sufistik dengan menggunakan pendekatan tasawuf falsafi.
Pemikiran sufistik Ibnu Sina ini kita bisa melihatnya dalam bukunya yang berjudul Risalah fi Mahiyyah al-’Ishq. Dalam kitab ini secara spesifik membahas tentang teologi cinta yang merupakan salah satu maqamat dan juga menjadi topik inti dalam khazanah ilmu tasawuf Islam pada umumnya.
Cinta adalah apa yang membuat seluruh dunia tetap ada. Karena menurut Ibnu Sina cinta adalah sebab keberadaan, energi yang menggerakkan, serta tujuan akhir yang dituju.
Cinta: Hadiah dari Tuhan
Ibnu Sina mengatakan bahwa tidak ada satupun makhluk yang ada di semesta ini yang tidak diliputi oleh cinta, bahkan benda tak bernyawa sekalipun. Hal tersebut sebab pada dasarnya cinta berasal dari hadiah Tuhan yang Ibnu Sina menamainya al-Khair wa al-Kamal al-Mutlaq. Ibnu Sina menjelaskan bahwa semesta ini tercipta karena cinta.
Dalam pengertian ini, posisi Tuhan adalah sebagai Subjek Cinta (al-‘Ashiq); Tuhan bukan lagi hanya sebatas memikirkan diri-Nya sendiri, melainkan ia Mencintai diri-Nya yang kemudian menjadikan entitas makhluk secara gradual yang meliputi tiga alam, yaitu alam akal (‘alam al-jabarut), alam jiwa (‘alam al-malakut) dan alam fisik (‘alam al-jismiyah).
Cinta menurut Ibnu Sina adalah apa yang menjadi sebab keberadaan sesuatu di alam semesta ini. Maknanya Tuhan adalah Sang Pecinta (al-‘Ashiq) yang atas manifestasi-Nya segala sesuatu itu mewujud menjadi ada di semesta raya.
Manifestasi Cinta Tuhan
Keberadaan alam semesta ini merupakan akibat dari wujud cinta Tuhan. Semisal teori emanasi (al-faid) yang digagas oleh Ibnu Sina bahwa semesta raya ini merupakan hasil kreasi dari ‘Tuhan yang Berfikir’ maka dalam konteks ini, semesta raya merupakan hasil dari manifestasi atau luapan cinta yang paling murni yang berasal Tuhan.
Pendapat ini juga kemudian diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi, bahwa alam semesta raya ini adalah bentuk dari tajallinya Sang Maha Cinta. Meski cinta dalam pengertian hasrat dan kebutuhan tak layak dinisbatkan kepada Tuhan, namun pada prinsipnya,
Cinta Tuhan mengejewantahkan pembendaharaan yang tersembunyi menjadi sesuatu yang nampak dan nyata. Cinta mengalir ke seluruh urat nadi alam semesta. Semua perbuatan dan gerakan berasal dari Cinta. Karenanya, segenap bentuk dan entitas semesta raya ini tiada lain adalah pantulan dan luapan dari keunikan realitas-Nya.
Menurut Ibnu Sina, Tuhan sebagai al–Khair al-Awwal secara esensial menampakkan dirinya secara nyata kepada semua makhluk-Nya, tanpa terkecuali. Namun, jika di antara makhluknya ada yang tak dapat menyaksikan manifestasi Tuhan karena terhalang oleh suatu hal, maka hal tersebut dikarenakan sesuatu itu memiliki kekurangan atau kelemahan sehingga ia tak dapat menyempurnakan dirinya.
Ketidaksempurnaan diri menjadi penyebab atas terhambat atau terhalangnya penglihatan untuk dapat menyaksikan kehadiran Tuhan. Maka darinya, Ibn Sina menyebut bahwa hanya jiwa-jiwa yang bersih, suci dan sempurna lah yang dapat menangkap kehadiran Tuhan secara nyata.
Cinta Itu Menggerakkan
Setiap makhluk yang ada di alam semesta memiliki keinginan untuk selalu bergerak ke arah yang lebih baik dan sempurna. Hasrat kerinduan tersebut hadir secara alamiah dalam diri setiap makhluk. Keinginan tersebut diekspresikan dalam bentuk cinta untuk menuju kesempurnaan.
Ibnu Sina menamai keinginan ini dengan istilah ‘ishq atau cinta. Itulah yang seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Sina bahwa dengan cinta makhluk atau dalam hal ini manusia bergerak aktif untuk dapat menyempurnakan dirinya. Dengan cinta, manusia dapat mengubah sisi tergelap dalam dirinya menjadi insan mulia.
Allah sebagai al-Khair wa al-Kamal al-Mutlaq (Maha Baik dan Maha Sempurna yang sejati) selain sebagai subjek cinta— juga menjadi objek cinta (Ma’shuq). Kata Ibn Sina: “Bahwasanya Allah adalah yang dicinta dan sang pecinta. Dan bahwa merupakan suatu bentuk kenikmatan ketika manusia dapat menangkap (idrak) suatu kebaikan yang cocok atau sesuai dengannya.”
Karena Allah adalah Kebaikan Tertinggi (al-Khair al-A’la), maka setiap makhluk akan bergerak mengarah kepada-Nya. Namun demikian, kata Ibnu Sina, tidak semua makhluk dapat menyatu dengan-Nya, hanya Ia yang memiliki bentuk cinta sejati, dapat membersihkan dan menyempurnakan jiwanya melalui kesempurnaan ilmu dan amal— yang dapat terhubung dengan-Nya.
Cinta yang Hakiki dan Karakter Pecinta Sejati
Dalam Isyarat wa Tanbihat, Ibnu Sina menyatakan cinta hakiki adalah hadirnya kenikmatan atau kebahagiaan yang dirasakan oleh seseorang yang karena hadirnya merupakan bentuk dari esensi dzat di dalam dirinya (al-ibtihaj bi tasawwuri hadirati dzat maa)— bukan karena sesuatu yang lain.
Kebahagiaan tersebut akan menjadi sempurna saat kerinduan bergerak ke arah objek yang dicintai, kemudian Ia sampai dan terhubung dengannya. Bahwa siapa yang mampu menggapai kebahagiaan tertinggi itu adalah Ia yang telah berhasil melalui proses penyucian jiwa, baik secara teoretis maupun praktis— serta mendapatkan pancaran cahaya Ilahi.
Seseorang tersebut dinamakan oleh Ibnu Sina, sang ‘arif sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Sina ketika Ia sudah berada di maqam tertinggi melalui keterhubungan cinta yang dimilikinya terhadap Allah tak lantas menjadikan dirinya tercerabut dari akar kehidupannya di dunia ini. Namun yang nampak pada dirinya sifat-sifat ilahiyah.
Kualitas akhlaknya adalah manifestasi dari akhlaknya Tuhan (takhluqan bi akhlaq Allah). Ia berinteraksi kepada manusia lainnya dengan sikap penuh kelembutan dan menunjukkan kebaikan, dengan demikian seorang tersebut meniru kualitas moral Tuhan.
Ibnu Sina menyebut beberapa sifat atau karakter yang melekat pada pecinta sejati (sang ‘arif), seperti Ia murah senyum kepada sesama; dengan ketawadhuannya ia menghormati sesama, baik kepada orang kecil maupun orang besar di atasnya; Ia adalah sosok yang egaliter; tidak dialihkan perhatiannya oleh kemarahan ketika menyaksikan kemungkaran, sebagaimana Itidak ditelanjangi oleh rasa kasih sayang, karena Ia diperlihatkan rahasia Allah di dalam al-Qadar.
Jika mengajak amar makruf, maka Ia menyampaikan secara halus dengan penuh nasihat tidak secara keras dan mempersalahkan; Ia berani, bagaimana tidak, Ia sudah terlepas dari rasa takut atas kematian; Ia pemaaf, karena jiwanya jauh lebih besar dari manusia lain—yang menyakiti dan melukainya; Ia akan cenderung mengabaikan para pendengki, betapa tidak, sementara ingatannya disibukkan dengan Yang Maha Benar; Ia murah hati, karena telah terlepas dari cinta yang palsu. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh