Falsafah

Terinspirasi Derrida, Arkoun Beri Kritik Agamawan yang Kaku-Kaku

4 Mins read

Derrida merupakan seorang filsuf asal Perancis, namun ia dilahirkan di Aljazair. Dari akalnya, lahirlah teori dekonstruksi, yang berusaha membongkar segala hal. Khususnya teks yang dimaknai secara logosentris (tunggal). Sehingga tidak mengherankan ketika banyak karyanya yang berisi kritikan atas teks-teks karya filsuf lain. Derrida adalah filsuf post-modern yang berpengaruh. Gagasan-gagasannya tidak sedikit menginspirasi para intelektual lain. Mohammad Arkoun misalnya.

Gagasan-gagasan Derrida mengalir deras dalam pemikiran-pemikiran intelektual Timur Tengah dan teologi, yakni Mohammad Arkoun. Melalui gagasan-gagasan Derrida, Arkoun melakukan berbagai kritik. Khususnya mengenai tradisi intelektualitas Islam, nalar Islam, maupun model-model interpretasi teks-teks kitab suci Al-Qur’an yang selama ini telah dilakukan oleh para “mufasir” Islam.

Karir Intelektual Arkoun

Di sebuah perkampungan Berber, tepatnya di desa kaki-gunung Taorirt Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair, tepat pada 2 Januari 1928, Arkoun dilahirkan. Negeri ini tidak begitu jauh dari negeri asal Derrida. Di daerah tersebut, Arkoun menempuh pendidikan dasarnya. Sedangkan sekolah menengahnya ia tempuh di kota pelabuhan Oran. Yakni sebuah kota utama di Aljazair bagian barat.

Di jejang perguruan tinggi, Arkoun menempuh studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954). Aktivitas sampingannya adalah mengajar bahasa Arab di Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang bertempat di pinggiran ibukota Aljazair (Zailani 2012:199).

Di momen perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjutkan jenjang pendidikan dengan studi yang sama namun dengan kampus yang berbeda, yakni di Universitas Sorbonne, Paris.

Kala itu, ia lagi-lagi sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusastraan Arab di Paris, pernah juga mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan bahkan pernah diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959) (Zailani 2012:199).

Baca Juga  Kedaulatan Bukan Tujuan, Quran Sebagai Petunjuk Hidup

Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, sesaat ketika ia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut dengan disertasi mengenai “humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih”, seorang pemikir Arab di Persia, yang menekuni ilmu kedokteran dan filsafat (Zailani 2012:199).

***

Semenjak berkelut dalam dunia akademik itu, Arkoun menetap di Perancis dan kala itu ia telah menyelesaikan banyak karya dalam studi kontemporer tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.

Pergulatan dalam dunia keilmiahan ini akhirnya menjadikan Arkoun yang mampu menguasai tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab, dan Perancis), bahkan ia amat erat dengan kebudayaan-kebudayaannya (Zailani 2012:199).

Pada tahun 1970-1972 Arkoun sempat mengajar di Universitas Lyon, Prancis, dan tak selang beberapa ia diangkat sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne.

Berdasarkan keahliannya itu pula, Arkoun sering memberikan kuliah di sejumlah universitas dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver dan bahkan pernah ke Indonesia (Zailani 2012:199–200).

Belajar dari Derrida

Melalui Derrida, Arkoun banyak belajar mengenai metafisika kehadiran dan dekonstruksi, bahkan ia juga mengembangkannya (Bandur 2019:171). Dengan itu pula, Arkoun telah “menghibur” kaum agamawan yang selama ini menurutnya terlalu kaku.

Derrida sendiri menggunakan gagasan dekonstruksi untuk mengkritik metafisika kehadiran Barat, bahwa konsep atau teori dianggap telah mewakili being (ada), atau mewakili realitas yang ada dan cenderung berfikir logosentris (tunggal).

Baca Juga  Apakah Nalar Kritik Versi Arkoun Bisa Diterapkan di Indonesia?

Sebagaimana dengan Derrida, Arkoun pun menggunakan dekonstruksi untuk membongkar nalar fundamental dalam tradisi Islam Arab. Dengan begitu, Arkoun berusaha menyadarkan bahwa kaum agamawan agar “tidak secara sepihak menetapkan sebuah kebenaran tunggal dan mutlak.”

Pasalnya, bagi Arkoun, pemahaman manusia mengenai sumber kebenaran sejati, yakni Allah, itu terbatas oleh rasio dan bahasa yang mewakili kehadiran sesuatu yang “tak terlihat” dan Maha Besar itu. Sehingga, perbincangan mengenai Tuhan, tidak begitu mudahnya dipahami oleh kapasitas bahasa manusia yang terbatas (Bandur 2019:175–176).

Sedangkan apa yang selama ini telah dikerjakan manusia, khususnya kaum agamawan, bagi Arkoun hanyalah bentuk klaim sebagai kecil dari sebuah kebenaran, totalitas yang diwakilkan dalam sebuah kata/bahasa di Kitab Suci.

Berdasarkan kritikan ini pula, Arkoun sekaligus mengkritik otoritas-otoritas agamawan yang menafsirkan Kitab Suci. Namun, bukan berarti Arkoun anti terhadap kaum agamawan, hanya saja bagi Arkoun bahwa otoritas agamawan seharusnya mempertimbangkan “pluralitas” sebagaimana yang sering disinggung oleh Derrida bahwa makna itu tidak tunggal.

Arkoun sendiri mencontohkan “nalar-nalar Islam” yang plural seperti nalar tasawuf, nalar muktazilah, nalaf filosof, nalar-nalar penganut Hanbali, dan lain sebagainya (Arkoun 1986:65).

Menurut Arkoun, di luar otoritas agamawan yang mana klaim kebenaran tunggal berasal, di tempat yang lain masih ada kebenaran-kebenaran lain yang bersumber dari otoritas lain pula. Dalam hal ini setiap otoritas agamawan tidak boleh tertutup, eksklusif mengenai makna-makna lain.

Secara radikal, Arkoun dengan sangat jelas mengungkapkan bahwa Islam ortodoks cenderung dikuasai oleh logosentrisme, sebagaimana sebuah konsep yang dikritik oleh Derrida dalam khasanah filsafat Barat (Arkoun 1996:6).

***

Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, logosentrisme ini dicontohkan Arkoun dalam konteks interpretasi teks kitab suci Al-Qur’an. Bagi Arkoun, kebanyakan kelompok Islam sering meninterpretasi teks Al-Qur’an secara logosentris, bahkan mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar, doktrin merekalah yang paling benar, hingga menafikan interpretasi oleh kelompok lain.

Baca Juga  Soren Kierkegaard, Sang Bapak Eksistensialisme

Pola-pola interpretasi logosentris inilah yang bagi Arkoun justru menciptakan ketegangan atau konflik sosial antar kelompok Islam yang hanya berkutat pada agama secara ortodoks.

Arkoun mencontohkan pada konflik antara Sunni, Syi’ah, dan Kharijiyyah, yang mana konflik tersebut tidak didasari oleh perebutan kekuasaan, melainkan lebih pada perdebatan mengenai doktrin masing-masing (Santoso 2019:205).

Sehingga dapat dikatakan bahwa Arkoun tidak jauh berbeda dengan Derrida, mereka adalah intelektual-intelektual yang mencintai pluralitas, keberagaman, khususnya terkait interpretasi-interpretasi teks yang seharusnya tidak tunggal.

Mereka-mereka adalah intelektual postmodernitas yang memberi keterbukaan untuk berfikir, khususnya Arkoun yang memberikan ruang untuk inklusivitas dalam beragama.

Referensi

Arkoun, Mohammad. 1986. Tarikhiyyah Al-Fikr Al-’Arabi Al-Islami. Beirut: Markaz Al-Ima’ Al-Qaumi.

Arkoun, Mohammad. 1996. Rethinking Islam. Yogyakarta: LPMI & Pustaka Pelajar.

Bandur, Hironimus. 2019. “Interpretasi Teks Dan Klaim Eksklusif Kebenaran Agama: Kontribusi Pemikiran Mohammed Arkoun Dalam Studi Agama-Agama.” Alternatif 1(1):165–79.

Santoso, Heri. 2019. “Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik Metafisika Dan Epistemologi Modern.” in Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Zailani. 2012. “Rekontruksi Tradisi Islam: Studi Pemikiran Muhammed Arkoun Tentang Sunnah.” JURNAL USHULUDDIN XVIII (2).

Editor: Yahya FR

Mohammad Maulana Iqbal
5 posts

About author
Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Airlangga
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds