Perspektif

Bagaimana Terorisme Memanfaatkan Media Baru?

3 Mins read

Rangkaian Aksi Teror

Ada empat aksi teror bom setelah kejadian di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton tahun 2009, yakni: teror bom di Mapolresta Cirebon pada tahun 2011, bom Thamrin dan bom Solo di tahun 2016, disusul bom di Surabaya yang terjadi pada tahun 2018.

Dan baru-baru ini, di akhir bulan Maret 2021, Indonesia kembali digemparkan dengan dua aksi terorisme dengan lokasi kejadian yang berbeda. Teror bom bunuh diri di pelataran Gereja Katedral Makasar dan teror penyerangan tunggal di Mabes Polri, dua kejadian teror tersebut tentu menambah daftar aksi terorisme di tanah air.

Tujuh aksi terorisme dalam kurun waktu satu dasawarsa itu adalah jumlah yang banyak, dan memberi artian kepada kita bahwa terorisme masih jauh api dari panggang untuk usai hingga hari ini.

Terorisme acap kali hadir kepada kita melalui pemberitaan media. Dengan pemberitaan media informasi, terorisme dalam skala global dapat kita pindai tanpa batas geografis. Selain motif dan identitas pelaku terorisme, yang penting untuk dipahami adalah hubungan simultan antara media dan terorisme. Keduanya menjadi aktor dalam suatu fenomena yang sangat ekstrem.  

Tesis dari ilmuwan komunikasi massa Herbert Marshal Mcluhan, Without mass media, terorism would not exist” penting menjadi titik pijak diskusi atas keterkaitan media dan terorisme. Atas tesis tersebut, dapat dimengerti bahwa antara aksi teror dan pemberitaan media mempunyai relasi ketergantungan satu sama lain.

Mencari Arti Terorisme

Pemaknaan atas teroris tidaklah tunggal, melainkan banyak artikulasi pemaknaan atas kelompok teroris. Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii Maarif sering berujar bahwa teroris adalah penganut paham “Teologi Maut”.

Keadaan di mana seseorang lebih memilih mati ketimbang berjuang untuk hidup. Dalam hal ini, Buya Syafii ingin menjelaskan tindakan terorisme jauh dari prinsip kedamaian dan kemanusiaan dan meyakini peham atau keyakinan hidup yang salah.

Baca Juga  Terorisme: Kombinasi Problem dan Misteri

Haidar Bagir (2017) dalam bukunya Islam Tuhan Islam Manusia, menerangkan ada tiga hal di balik seseorang melakukan aksi terorisme. Pertama, ideologi yang membenarkan jika diikuti. Kedua, adanya kelompok yang memfasilitasi untuk menjalankan ideologi dan berbagai model penerapannya. Ketiga, individu yang termarjinalkan baik dalam kehidupan sosial maupun finansial.

Dengan itu, dapat dimaknai bahwa tindakan terorisme, selain mempunyai konstruksi ideologi, juga membawa tujuan politis di baliknya.

Merujuk Fajar Junaedi (2017) pada artikelnya Relasi Terorisme dan Media menjelaskan teroris dapat dilekatkan pada sekelompok populis yang menggunakan strategi teror dengan bentuk pemboman, pembajakan, dan penculikan untuk meraih tujuan politiknya.

Dengan adanya multidefinisi berkenaan dengan terorisme di atas, terdapat suatu kesimpulan bahwa modus operasional tindakan terorisme dilakukan secara terstruktur dan sistematis, yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Media Baru dan Massifikasi Publisitas Terorisme

Pada lingkup komunikasi massa, media berperan sebagai komunikator dalam penyampaian pesan, dan keterkaitan dengan kelompok teroris tak lain adalah penggunaan media oleh kelompok teroris untuk mengkomunikasikan keberadaannya dalam lingkungan sosial.

Dahulu, keberadaan teroris dan aksi teror selalu diberitakan oleh media massa arus utama seperti televisi dan surat kabar harian atau koran. Realita aksi teror bom misalnya, merupakan berita yang menarik dan penting untuk diproduksi awak media yang mempunyai orientasi terhadap rating tayangan.

Karena, aksi terorisme dalam bentuk ledakan bom, mempunyai peluang besar untuk menjadi informasi atau berita dalam skala nasional bahkan global. Pada situasi seperti ini, kelompok teroris secara Cuma-cuma mendapatkan publisitas atas aksinya, sedangkan media di satu sisi, selain mewartakan secara tidak langsung, juga “membantu” kelompok teroris tetap eksis.

Sebagai contoh, stasiun televisi CNN pernah melakukan wawancara bersama Usamah Bin Ladin, pemimpin organisasi Al-Qaeda yang digolongkan oleh Amerika, PBB, dan Uni Eropa, sebagai organisasi teroris internasional. Hal ini tentu peluang dan pemberian ruang bagi organisasi Al-Qaeda sebagai bentuk komunikasi dan identitas keberadaanya.

Baca Juga  Jalan Baru Bahtiar Effendy

***

Publisitas kelompok terorisme dewasa ini telah bertransformasi dari media arus utama atau konvesional menuju pada platform media baru seperti halnya portal media online dan media sosial yang dapat memproduksi informasi lebih cepat.

Media baru mampu menjangkau khalayak lebih luas dan cepat, persis setelah kejadian teror berlangsung. Hal ini selaras dengan penjelasan Burhan Bungin dalam bukunya Konstruksi Media Massa atas Realitas, karakter portal media online dan media sosial adalah keunggulan kecepatan informasi dan konstruksi yang dilengkapi dengan visualisasi video serta gambar.

Lebih lagi, media sosial memiliki fitur UGC atau User Generated Content, yang memungkinkan pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, dan Youtube dapat memproduksi dan membagikan konten secara pribadi tanpa kurasi aparatur secara professional.

Kasus bom bunuh diri di Makasar yang berlokasi di pelataran Gereja Katedral tak butuh waktu lama untuk menjadi topik atau tranding utama di portal Twitter. Pelancaran aksi serangan tunggal seorang perempuan di Mabes Polri dalam sekejap telah viral di laman Youtube dan dapat kita telusuri video rekamanya selama masih tersimpan di dalamnya.

Konten yang berkaitan dengan tindakan atau aksi teror secara tidak langsung dapat menjadi ketakutan sosial atau massa, yang disebabkan oleh konsumsi konten aksi teror secara intens.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Magister Program Studi Ilmu Pemerintahan di Jusuf Kalla School of Government, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds