Perspektif

Tetap Keren Meskipun Tilawah Tidak Khatam di Bulan Ramadan

4 Mins read

Khatam Al-Qur’an di Bulan Ramadan, Haruskah?

Bulan Ramadan adalah bulan yang mulia dan banyak berkahnya. Kita pasti juga sering mendengar dari mimbar-mimbar kultum bahwa bulan Ramadan juga disebut sebagai bulannya Al-Qur’an. Karena memang banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Oleh karena itu, salah satu amalan yang sangat dianjurkan untuk menghiasi Bulan Ramadan adalah dengan bertilawah Al-Qur’an.

Begitu utamanya amalan membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan ini, sebagian dari kita seakan berlomba untuk dapat melakukannya semaksimal mungkin. Bahkan ada yang membuat target khatam dalam sekian hari saja. Capaian tilawah seakan menjadi parameter setiap orang untuk menilai seberapa produktifnya kita di bulan Ramadan.  

Tentu kita tidak asing dengan pertanyaan, “ Sudah sampai juz berapa?” pertanyaan yang mungkin hanya ditanyakan di bulan Ramadan saja. Ramadan dan amalan tilawah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Namun yang menarik adalah mencoba melihat bagaimana cara setiap orang melewati hari-harinya berinteraksi dengan Al-Qur’an selama waktu sebulan itu. Setiap orang memiliki caranya masing-masing. Dan saya mempunyai cerita tersendiri di lingkungan keluarga kecil ini.

“Sudah juz berapa, kak? Budhe sudah khatam sekali loh.” tanya Ibu Mertua kepada istri saya lewat sambungan telepon yang sempat saya curi dengar siang itu.

Budhe yang Ibu Mertua saya sebut tadi memang sosok teladan dalam ibadah di keluarga besar istri. Dari capaiannya sekarang, saya bisa tebak mungkin tergetnya dua kali khatam selama bulan Ramadan ini. Budhe kami memang luar biasa, lantas bagaimana dengan kami?

Dan seperti biasa, Ramadan sudah mendekati garis finish. Sejauh ini, belum ada yang khatam dari keluarga kami. Istri saya, saat Ramadan kali ini, masih kepontal-pontal menyesuaikan ritme antara jadwal tilawah, experiment di dapur, dan ngurus anak kami yang saat ini menginjak usia 16 bulan. Sedang aktif-aktifnya, kadang ngisruh juga. 

***

Bakda subuh tadi, saya sempat melirik pembatas halaman mushafnya. Kalau ingin khatam sampai akhir Ramadan, sepertinya dia harus berusaha lebih keras di sisa hari ke depan. Kalau perlu harus lembur. Dulu sebelum punya anak, istri saya termasuk tipe orang yang bertilawah dengan speed cukup cepat dan target khatam di akhir Ramadan selalu tercapai.

Baca Juga  Menakar Saintisme dan Keterbukaan Pemerintah dalam Penanganan COVID-19

Bagaimana dengan saya sendiri? Jujur saja, saya sudah lupa kapan terakhir kali pernah meng-khatamkan Al-Qur’an dalam waktu sebulan Ramadan. Siang itu sekilas kudengar di tengah perbincangan dengan istri saya, Ibu Mertua juga meng-update amalan tilawah saya selama bulan Ramadan ini.

Dengan fakta di atas, saya berpikir bahwa kredibilitas saya sebagai menantu idaman pasti akan runtuh dalam sekejab di mata Ibu Mertua. Jelas setiap orang tua pasti berharap punya menantu sholih, rajin mengaji, yang biasanya -meskipun nggak harus, tapi seharusnya- minimal sekali khatam Al-Qur’an selama Ramadan.

Untungnya istri saya cukup cerdik menjawab pertanyaan tersebut, “Kalau Mas style-nya beda, Ma. Dia nggak ada target, pelan-pelan sambil baca terjemahan” untuk tidak mengatakan fakta memalukan bahwa tilawah saya baru sedikit. Mendengar jawaban yang istri saya berikan, saya hanya senyum sendiri. Ya mungkin istri saya benar, saya bisa dibilang tipe pengamal tilawah jalur lambat.

Kalau boleh disebut alasan atau pembenaran atas kemalasan saya kenapa tidak bisa meng-khatamkan Al-Qur’an dalam sebulan Ramadan, begini saya jelaskan.

Saya selalu berusaha untuk meniatkan ketika membaca Al-Qur’an harus beserta artinya. Saya bukan orang yang pandai Bahasa Arab, bahasa yang dipakai Al-Qur’an. Namun saya merasa beruntung bahwa mencetak Al-Qur’an dengan terjemahannya tidak dilarang oleh negara. Sehingga mudah bagi orang yang tak pandai Bahasa Arab seperti saya ini untuk tetap bisa mengerti makna setiap ayat Al-Qur’an yang dibaca.

***

Sejak saya mempunyai mushaf yang ada terjemahannya, seingat saya, saya tak pernah membacanya tanpa melirik artinya. Ketika mulai membaca, saya selalu berniat untuk memahami setiap ayatnya, sebaik-baiknya. Seolah-olah semua itu memang Allah berikan langsung untuk saya, seperti Allah berbicara langsung kepada saya.

Baca Juga  Revitalisasi Peran BP4 untuk Memperkuat Ketahanan Keluarga Indonesia

Al-Qur’an selalu menjadi bacaan berat bagi saya untuk dibawa berlari cepat. Setiap ayatnya terkadang membuat saya berhenti dan kemudian mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan dalam satu kisah Rasullullah SAW, pernah merasa begitu berat ketika menerima wahyu pertama. Ayat-ayat itu terasa begitu berat oleh Beliau, sampai tubuh mulia itu menggigil dan meminta istrinya Khadijah untuk menyelimutinya.

Pernah satu waktu saya hanya membaca beberapa ayat dari Al-Qur’an yang saya ulang berkali-kali dalam beberapa hari. Itu pun jumlah ayat yang sedikit. Saat itu saya merasa ayat yang kubaca tersebut begitu pas sebagai jawaban atas konteks peristiwa saat itu. Saya tak bisa lepas dari ayat itu untuk satu waktu, dan ada keinginan untuk terus mengulanginya lagi dan lagi.

Saya percaya bahwa ayat Al-Qur’an yang kita baca akan memberikan dampak luar biasa besar terhadap sisi spiritualitas kita. Tentunya jika kita benar mamahami dan menemukan sisi kontekstualnya dalam kehidupan yang kita jalani. 

Saya teringat cerita pertobatan seorang almarhum Gito Rolies. Kisah yang diceritakan oleh Ustaz Arifin Ilham kepada kami saat Beliau kami undang ke Korea Selatan saat itu. Dalam perjalanan tobatnya Gito Rolies seperti tak bisa lepas dari satu ayat, Az zumar: 53 (Silakan lihat artinya sendiri). Hanya satu ayat itu yang selalu ingin dia dengar lagi dan lagi. Bahkan menurut Ustaz Arifin Ilham, setiap kali Gito Rolies bertemu dengannya, dia pasti meminta untuk dibacakan ayat tersebut. Seolah satu ayat itu cukup baginya untuk mengantarkannya ‘kembali’ dekat dengan Tuhannya.

***

Begitu dahsyatnya ayat Al-Qur’an itu dapat mengisi relung jiwa kita. Dan itu hanya akan kita rasakan jika kita dapat memahami maknanya, dan secara kontekstual bersentuhan dengan diri kita sendiri. Bukankah pengalaman seperti ini yang ingin kita temukan dari mengaji Al-Qur’an?

Baca Juga  Tiga Faktor Penyebab Terjadinya “Perang Besar”

Kita semua pasti ingin meng-khatamkan Al-Qur’an dalam sebulan Ramadan. Namun, saya merasa cara terbaik buat diri saya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an adalah dengan membacanya pelan dan mencoba memahami artinya. 

Seperti pesan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hendaknya kita tidak terburu-buru dalam membaca Al-Qur’an, dan lebih mencari ke-khusyu’an dan tuma’ninah. Bahkan mencari hal ini (khusyu’ dan tuma’ninah) lebih utama daripada perhatian terhadap mengkhatamkan” (Majmu’ Fatawa bin Baz 15/324, Asy Syamilah)

Dengan membaca perlahan, selama ini memang sulit bagi saya untuk bisa meng-khatamkan dalam satu Ramadan. Akan tetapi, tak ada juga keinginan saya untuk lebih tergesa dalam hal ini. Dengan membaca perlahan bersama artinya, saya lebih dapat memahami kandungan Al-Qur’an secara kontekstual, tak sekadar tekstual belaka. Seperti memiliki perasaan intim ketika berinteraksi dengannya. Rasa yang tak dapat saya hadirkan ketika dulu masih menargetkan khatam minimal sekali atau dua kali dalam sebulan Ramadan dengan membacanya cepat dan cenderung terburu-buru.

Dengan membaca cepat, mungkin lisan saya masih bisa memastikan huruf demi hurufnya tak ada yang terlewat, namun saya kehilangan kenikmatan dalam bertilawah itu sendiri. Saya merasa seperti orang mabuk di tengah ibadah, tak mengerti apa yang saya baca, tak memahami apa yang saya ucapkan.

Selain itu, mungkin pilihan untuk tilawah lambat dengan mentadabburi artinya juga bisa jadi alternatif buat kaum malas tanpa target khatam seperti saya, sekaligus jawaban paling elegan ketika Ibu Mertua saya nanti kembali bertanya di akhir Ramadan nanti;

“Tilawahnya khatam tidak, Mas?” 

“Cuma sampai Juz 20, tapi beserta terjemahannya!” 

Masih terdengar keren, bukan?

Editor: Yahya FR
Avatar
6 posts

About author
Seorang Pekerja Profesional dan Interpreter Bahasa Korea
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds