Feature

Netizen “Galak”: Tiga Tipe Pembaca Situs Islam

5 Mins read

Banjir informasi dan pengetahuan begitu menguras emosi. Ternyata, teknologi digitalisasi informasi belum terbukti bagus bagi geliat wacana Islam kritis. Melainkan menjadikan kita cepat marah dan terkesan “galak” dengan keragaman pemikiran. Itulah kondisi saat ini. Disrupsi wacana keislaman berjalan setengah hati, akibat respon sebagian netizen terlampau homogen dan anti-perbedaan pemikiran.

Kebencian pada “liberalisasi” pemikiran, kecurigaan pada jargon “kemanusiaan”, dan kepanikan pada kedatangan masa “kematian islam” adalah beban sejarah, trauma dan sosial-politik sehari-hari. Para penikmat situs keislaman atau bisa kita sebut dunia Islam digital diwarnai oleh ekspresi-ekspresi negosiasi emosional daripada rasional.

Disrupsi Kepakaran Ilmu Agama

Belum lama, awal Mei 2020, setelah jeda perdebatan mengenai Islam dan kesehatan publik, video ceramah Profesor Noorhaidi Hasan menuai kontroversi. Pakar Islamisme dan salafisme Indonesia dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini dianggap menyinggung doktrin al-wala’ wal bara’. Kolom komentar di kanal Youtube Masjid Kampus Universitas Gajah Mada, tempat video diunggah, berisi intimidasi, pelecehan dan gugatan.

Video ceramah dengan tema puasa itu akhirnya dihapus. Banyak orang menganggap penyebab utama reaksi polemik disebabkan oleh jenis media video yang membawa aspek visual sekaligus audio. Problem utamanya jelas tidak selalu berkaitan dengan jenis media. Selain video, ada artikel teks, meme, daninfografis bahkan penyedia layanan informasi independen menerima serangan mobilisasi akun reaksioner.

Sulit menyuguhkan peta penikmat informasi digital Islam. Tidak banyak cara verifikasi identik antara akun virtual personal dan pengguna eksis. Tapi tantangan ini bisa diatasi dengan memperhatikan pola konsumsi-produksi arus utama reaksi-reaksi atas informasi digital Islam.

Para pembaca situs Islam dalam kasus ini sangatlah unik. Mereka menikmati polemik, cenderung berpartisipasi secara afektif dan menempatkan “Islam” sebagai citra atau persona diri. Jelas, hingga saat ini belum ada satu pun eksploitasi topik sosiologis sekaya wacana keagamaan.

Digital Islam

Konsep “digital Islam” selama ini berkaitan dengan identitas keruangan atau transmisi wacana. Sejak dekade 1990an, banyak pengamat politik global dan Islam mengamati tren dan dampak internet terhadap agama di seluruh dunia.

Mereka menganggap bahwa internet membawa dampak khusus pada kohesi sosial virtual serta menekankan perubahan media ini pada pergeseran otoritas pengetahuan.

Satu di antara sekian studi mengenai internet dan Islam dapat dibaca dalam buku bagus berjudul Islam dot com; Contemporary Islamic Discourses in Cyberspace (2009) yang ditulis Mohammed el-Nawawy dan Sahar Khamis. Bagian menarik buku ini adalah ketekunannya memformulasikan arti penting eksistensi “Islam” sebagai identitas sosial dan wacana bagi ruang publik dunia maya.

Baca Juga  Lazismu, Negeri Sepa, dan Mas Agus Edy Santoso

Apakah internet membawa peningkatan kohesi virtual Islam pada kesatuan identitas ummah, dan membuka kesatuan pemahaman tentang Islam (common ground) yang secara historis, geografis, dan politik kontemporer saling bertentangan dan berbeda?  

El-Nawary dan Khamis menganalogikan internet sebagai “pasar” atau “warung” tempat seorang muslim berbelanja kebutuhan informasi dan pengetahuan agama. Perilaku seorang muslim di era internet akan berlaku sebagaimana konsumen di pasar offline yang biasanya menawar harga, mendebat penjual, dan mempermasalahkan lapak belanja lain bahkan mengembangkan penilaian subjektif terhadap kualitas “komoditas agama”.

Ketika mereka mendapat persoalan, internet adalah cara paling praktis untuk menemukan jawaban. Ketika pola perilaku ini baru sekedar prediksi akan menantang publik keagamaan tradisional seperti pengajian massa di masjid atau di pesantren, keduanya sudah menyebutnya sebagai gejala desentralisasi otoritas keagamaan. Internet memungkinkan seorang muslim “awam” menantang atau mendebat elit agama seperti Kyai, pimpinan organisasi Islam bahkan seorang pakar studi Al-Qur’an terkemuka.

Konsep “digital Islam” yang saya maksudkan di sini merupakan konten komoditas agama yang diperantarai teknologi internet sekaligus mencakup respon-respon konsumen penikmatnya. Tipologi konsumen situs Islam daring akan dibaca melalui respon atas konten komoditas keagamaan yang disajikan.

Komoditas itu merentang dari digitalisasi doktrin keagamaan standar mahzab Islam sunni atau syi’ah (bergantung pada seberapa sensitif dikotomi ini), pemikiran keagamaan klasik (sering diklaim dengan nada ambigu sebagai “Islam salaf”), dan opini keagamaan kontemporer (sering diasosiasikan dengan mode pemikiran modern, liberal, dan global).

Cara memahami kategori “komoditas” konten keislaman di internet akan menentukan bagaimana tipologi respon pembaca situs Islam. Tapi ada satu hal menarik. Tipologi pembaca sangat sulit dipahami secara kognitif tapi mudah dimengerti secara afektif.

Kita kesulitan memahami mengapa seorang pembaca situs media Islam yang benci pada ide liberalisasi pemikiran justru tidak memberlakukan hal yang sama pada ide liberalisasi ekonomi.

Kebencian dan kecurigaan itu tidak pernah satu paket secara konseptual. Kecurigaan pada konspirasi elit global (dajjal) termanifestasikan pada ketakukan akan kehancuran moral keagamaan dan tidak pada isu ketahanan pangan. Pembelaan generalistik pada penderitaan masyarakat Palestina, dan absen pada komunitas muslim Papua korban pelanggaran HAM. Ini menjelaskan problem besar tipologi berbasis kognitif.

Baca Juga  Subi Nur Isnaini: Peran Perempuan dalam Moderasi Beragama

Selain karena ada faktor politik mobilisasi isu di internet, jelas persoalannya menunjukkan bahwa pemahaman konseptual tidak mampu memahami satu ekspresi sederhana para pembaca situs Islam yakni: marah.

Internet bukan saja menstimulasi banjir informasi tapi memperluas arena pertarungan identitas. Sejak tragedi “Serangan 11 September 2001”, intimidasi terhadap komunitas muslim di Amerika dan Eropa meningkat. Negara-negara berpenduduk muslim berada di bawah pengawasan Amerika dan negara sekutu. Situasi ini memicu ketegangan di dunia maya. Respon balik kritik terhadap dunia barat dari intelektual muslim yang sudah berkembang jauh sebelum kejadian mengerikan tersebut semakin tampak.

Dikotomi “dunia Islam” dan “dunia Barat” menguat. Konteks ekspresi “marah” berlaku menjadi sesuatu yang lazim jika bersinggungan dengan simbol “Barat”. Munculnya kampanye melawan “sipilis”, akronim “sekularisme, pluralisme dan liberalisme” mengakomodir ekspresi marah yang pada awalnya bernada resistensi politik.  

Galak itu Nikmat: Kasus IBTimes.ID

Ekspresi “galak” dan “marah” berevolusi dari bentuk kognitif berupa kesadaran melawan hegemoni politik barat, menjadi reaksi afeksi atas identitas. Involusi ekspresi marah dan galak ini terombang ambing dalam isu yang sama, yakni keterancaman krisis identitas Islam yang “lurus dan benar”.

Sementara itu, kita memang harus mempertimbangkan arah mobilisasi marah yang digerakkan dua arah, di antara konsumen dan produsen digital Islam. Problem utama involusi ekspresi marah ini jelas adalah kegagalan internet menghasilkan “pemahaman bersama” atas situasi-situasi riil ketimpangan ekonomi-politik yang mengancam komunitas muslim. Terutama karena negara-negara berpenduduk muslim terbesar di dunia seperti Indonesia dan India menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan.

Berdasarkan kasus situs media Islam seperti IBTimes.ID, topik mengenai “kepemimpinan politik nasional” memperoleh banyak sorotan pembaca daripada ulasan-ulasan mengenai kebijakan politik atau ketimpangan ekonomi.

Jadi jelas bahwa produsen media Islam digital tidak sendirian mengeksploitasi isu keislaman atau identitas keagamaan. Pembaca juga menikmati polemik di media daring. Para pembaca dengan latar belakang studi Islam tingkat universitas juga hanya memindahkan “polemik-tanggung” (pseudo-conflict) di kampus menjadi konsumsi banyak orang.

Alih-alih mengembangkan perdebatan berdasarkan perkembangan empiris gagasan dan dinamika politik, mereka justru menggiringnya menjadi isu identitas. banyak pembaca dengan latar belakang studi Islam justru jarang mengembangkan diskusi menjadi topik serius. Sebagian di antara mereka jenuh dan menghindari atau menikmati secara pasif polemik.

Baca Juga  Belajar Merdeka dari Buya Syafii

Ekspresi marah sebagai manifestasi perilaku pembaca situs media Islam bersifat antiklimaks. Pada akhirnya polemik berkembang sebagai desas-desus atau serangan identitas. Sejak didirikan pada tahun 2019, IBTimes.ID telah dipertanyakan komitmen ideologisnya sebagai media yang dikelola oleh aktivis Muhammadiyah.

Pembaca situs ini mempertanyakan “kepatuhan” redaksi terhadap “nilai-nilai Muhammadiyah”. Media ini telah menerima tuduhan sebagai “corong Islam liberal”, “media penyusup Muhammadiyah” dan “membawa pemikiran sekuler dan liberal”. Jelas bahwa pelabelan ini berfungsi secara emosional ketimbang konseptual.

Saat ini, menyebut orang lain sebagai “liberal” atau “sekuler” lebih bernada afeksi daripada kognitif. Jauh lebih masuk akal memahami label seperti ini sebagai “luapan emosi” daripada identifikasi kategori akademis. Ada kenikmatan tersendiri memberi penilaian afektif ketimbang kognitif.

Internet memungkinkan dan memanjakan penilaian subjektif dan “apa adanya”. Ini menjelaskan mengapa konten yang memicu polemik lebih mudah dieksploitasi dari dua arah. Para produsen berupaya mencuri perhatian pembaca dengan mengemukakan polemik, sementara pembaca menganggap bahwa berpolemik merupakan bagian dari identitas keagamaan.

Tiga Tipe Netizen Galak: Marah itu Nikmat

Para pembaca yang termasuk dalam tipologi menikmati polemik dapat dibedakan berdasarkan nuansa historis-afektif. Maksudnya mereka dibentuk oleh nuansa emosi historis yang berbeda-beda.

Kelompok pertama adalah para pembaca yang mendudukkan diri bersama beban tersingkirnya kekuatan politik Islam era 1950an. Mereka dapat diidentifikasi melalui kecurigaan yang kuat terhadap nasionalisme, komunisme, dan sosialisme. 

Kelompok kedua adalah para pembaca yang menikmati politik Islam dari kebangkitan gerakan neo-Islamisme dan neo-salafisme yang berkembang di Indonesia tahun 1980an. Kelompok ini berpolemik dengan isu liberalisme, sekularisme dan pluralisme.

Kelompok ketiga adalah para pembaca dalam nuansa pasca-Islamisme yang merebak melalui kapitalisme pasar. Para pembaca ini menikmati Islam sebagai “senang-senang”. Kelompok pembaca ini sangat sensitif dengan isu “Islam privat” seperti pernikahan beda agama, perpindahan agama selebriti atau figur publik, makanan halal, dan fashion.

Tiga kategori pembaca dalam tipologi “marah itu nikmat” mengekspresikan respon afeksi yang berbeda-beda pada konten digital Islami. Meskipun berbeda, mereka merefleksikan satu pola yang serupa, yakni menikmati polemik sebagai bagian dari “pencarian” atau “penegasan identitas keagamaan”.

Editor: Yahya FR
Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *