Perspektif

Tidak Ada Model Khusus Pakaian Syar’i

5 Mins read

Hassan al-Amin, namanya. Ia berasal dari Lebanon. Syaikh Hassan panggilannya. Perkawanan kami terjalin saat sama-sama menjadi international fellow di King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), Austria, antara tahun 2016-2018. Pada suatu malam, saat kami sedang makan malam bersama di sebuah restoran di Wina, saya dikejutkan oleh penampilannya. Di samping menggunakan jubah sebagaimana orang Arab pada umumnya, Hassan memakai kopiah hitam di kepalanya. Mengetahui hal itu, saya segera menyapanya:

“Beli di mana kopiah itu, Syaikh? Di Indonesia atau di Malaysia?”

Menyadari saya memperhatikan kopiah yang ia pakai, Hassan balik bertanya: “Hai Pradana, bagaimana kamu tahu benda ini saya beli di Indonesia?”

“Kopiah adalah aksesoris Muslim dari belahan bumi Nusantara. Maka, saya yakin Anda pasti memperolehnya dari kawasan itu,” saya menjawab lagi.

“Anda benar! Penutup kepala ini saya beli waktu berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu,” Hassan membenarkan.

Hassan memakai kopiah itu dengan bangga. Ia tahu bahwa ini adalah identitas keagamaan Muslim di kawasan Nusantara. Namun, memakainya tidak serta merta menjadikan dia Muslim Indonesia atau Malaysia. Hassan menyadari pula bahwa dengan tidak memakainya, meskipun kopiah hampir selalu dikaitkan dengan keislaman, bukan berarti ia tidak menjadi seorang Muslim. Ia paham bahwa kopiah itu juga berfungsi sebagai identitas kultural. Dari situlah, kami lalu berbincang lebih jauh tentang hubungan antara pakaian, agama, dan kebudayaan.

Bagaimana Hijab Syar’i dan Tidak Syar’i?

Maka, saya iseng bertanya tentang jilbab atau hijab, lebih tepatnya lagi jilbab atau hijab syar’i. Mendengar istilah hijab syar’i, Hassan mengerutkan dahinya. Dalam tutur kata yang lembut hampir tak terdengar, dia balik bertanya kepada saya tentang apa yang saya maksudkan dengan jilbab atau hijab syar’i.  Lalu, saya menjelaskan tentang tren pakaian Muslim di Indonesia. Bahwa kini sedang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, bentuk-bentuk jilbab atau hijab tertentu, dan identifikasi jilbab atau hijab syar’i dan jilbab atau hijab tidak syar’i.

Lalu, Hassan mengajukan soal tentang apa kriteria jilbab syar’i itu. Sebagai jawaban, saya kutipkan sebuah definisi: “Di Indonesia, hijab syar’i dimaknai hampir sama dengan jilbab namun ukurannya lebih lebar dan lebih menutupi… Dalam bahasa Arab, hijab berarti penghalang, tabir, maupun penutup. Maknanya lebih umum dan menyeluruh. Sementara itu, hijab syar’i  adalah cara berpakaian seorang Muslimah yang baik dan sesuai dengan syari’at Islam.”

Baca Juga  Belajar Produktif Menulis Dari Kh. Hasyim Asy’ari

Hassan merespons, akan sangat sulit menentukan mana hijab syar’i dan bukan syar’i di negaranya. Tiap-tiap daerah memiliki model hijabnya masing-masing. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara Arab di sekitarnya, sementara di dalam negerinya sendiri saja, variasi model jilbab demikian beragam. Lalu mana yang syar’i di antara semuanya? Apalagi dalam keragaman itu terdapat unsur budaya. Maka, Hassan menyebutkan nilai syar’i atau tidak syar’i jilbab atau hijab bukan pada model dan ukurannya, tetapi pada fungsi utamanya.

Pakaian adalah Produk Budaya

Saya tak ingin memperpanjang diskusi tentang jilbab dan hijab. Percakapan di atas hanya sebagai contoh bagaimana perdebatan tentang pakaian berlangsung dalam masyarakat Muslim. Kopiah di Indonesia telah identik dengan identitas seorang Muslim. Demikian pula dengan sarung atau baju koko. Namun, ketika tidak memakainya, apakah seorang Muslim lalu kehilangan ke-Muslim-annya? Tentu dengan mudah akan terjawab “tidak.”

Pakaian adalah produk budaya. Maka, pakaian tidak bisa dipisahkan dengan konteks budaya suatu masyarakat. Lalu bagaimana jika pakaian dihubungkan dengan agama tertentu? Tentu, agama juga mengajarkan tentang busana, harus tetap dilakukan pemilahan aspek-aspek religius dan kultural. Prinsip utamanya adalah hal-hal yang religius adalah nilai. Karena merupakan nilai, maka bersifat abadi, transbudaya, translokasi, dan melintas batas zaman. Sementara hal-hal kultural bersifat sementara, terikat waktu dan zaman, karena itu lalu bersifat relatif dari satu masa ke masa lainnya.

Agama adalah nilai; sementara pakaian adalah budaya. Tentu tidak berarti harus dipertentangkan. Tetapi tidak juga harus dimutlakkan. Mutlak nilainya, tetapi nisbi perwujudannya. Dalam Islam, pakaian memiliki sejumlah fungsi. Di antaranya adalah sebagai penutup aurat, perhiasan, pelindung.

Menutup aurat adalah nilai. Allah menyebutkan hal tersebut dalam al-Qur’an Surat al-A’raf, ayat 26: “Wahai putra-putri Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”

Dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman: “Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju besi) yang memelihara kami dari peperangan.” (Q.S. al-Nahl: 81).

Baca Juga  Trip To Iqaluit In Nunavut A Canadian Arctic City
***

Menutup aurat adalah nilai utama pakaian. Maka, tidak ada pertentangan di kalangan ulama’ tentang kewajiban menutup aurat ini. Hanya saja, batas atau bagian-bagian mana yang termasuk aurat dan tidak, para ulama’ tidak bersatu pandangan. Imam Malik bin Anas, Abu Hanifah, dan Syafi’i berpendapat bahwa bagi laki-laki, wajib menutup seluruh bagian tubuhnya dari pusar hingga lutut. Sementara sebagian ulama’ lain berpandangan bahwa laki-laki hanya wajib menutup bagian antara pusar dan lutut, yakni pantat dan alat kelamin.

Demikian juga dengan perempuan. Meskipun pandangan umum ulama’ mengatakan bahwa wanita wajib menutup seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan. Namun, bagi sebagian orang, aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya. Sehingga telapak tangan dan muka pun harus ditutup. Dalam hal ini, pandangan Syaikh Muhammad al-Ghazali, seorang guru besar dari Universitas al-Azhar, sangat menarik untuk ditampilkan. Baginya, seperti yang dijalankan oleh Rasulullah, muka dan telapak tangan wanita bukanlah aurat.

“Rasulullah sendiri telah menyaksikan wajah-wajah wanita terbuka, dalam pertemuan-pertemuan umum di masjid dan di pasar. Tetapi tak pernah diberitakan apakah wajah-wajah mereka itu ditutup. Apakah kalian lebih merasa membela kehormatan agama daripada Allah dan Rasul-Nya?” demikian tulis Syaikh Muhammad al-Ghazali.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa suatu ketika dalam shalat hari raya, Nabi Muhammad bersabda kepada kaum wanita: “Bersedekahlah, karena banyak dari kalian adalah kayu bakar api nereka.” Mendengar sabda itu, seorang perempuan yang berwajah coklat dan berada di tengah-tengah wanita lainnya bertanya: “Mengapa kami menjadi seperti yang engkau lukiskan itu, wahai Rasulullah?” Lalu Nabi menjawab: “Karena kalian terlalu banyak mengeluh dan melupakan jasa dan kebaikan suami-suami kalian.”

***

Sebuah pertanyaan yang diajukan oleh para ahli hadits adalah bagaimana perawi itu bisa mengetahui wajah perempuan itu coklat? Maka jawaban yang diajukan oleh para ahli hadits itu adalah karena perempuan itu tidak menutup wajahnya. Berkaitan dengan menutup atau membuka wajah itu pula muncul analisis lainnya, yakni berkaitan dengan perintah “menahan pandangan” bagi laki-laki atau yang populer di masyarakat dikenal dengan menundukkan pandangan. Maka, Muhammad al-Ghazali menyimpulkan bahwa tidaklah mungkin, kata al-Ghazali, perintah itu terjadi, manakala perempuan-perempuan menutup wajahnya.

Baca Juga  Masuknya Islam di Rusia, Saatnya Diulik Sejarahnya!

Dengan demikian, prinsip yang berkaitan dengan pakaian adalah sepanjang nilai-nilai yang berkaitan dengan pakaian tadi tidak terabaikan, maka tidak ada pemutlakan bentuk atau model pakaian; atau bahkan pemutlakan tafsir atas aurat. Sehingga klaim bahwa satu model pakaian lebih Islami dibandingkan dengan pakaian lainnya adalah klaim yang kurang tepat. Kembali kepada Syaikh al-Ghazali, Ia menyebut serban sebagai contoh model pakaian yang disalahpahami sebagai pakaian Islami. Serban bukanlah lambang keislaman melainkan budaya masyarakat Arab.

Di samping itu, pakaian adalah persoalan non-ubudiyah. Maka atas hal-hal yang bersifat non-ibadah, pada dasarnya semua diperbolehkan hingga muncul larangan. Sehingga, keharaman justru berlaku ketika pakaian itu melanggar nilai-nilai yang digariskan agama. Dalam kehidupan masyarakat, seringkali orang berpakaian untuk menjukkan kelas sosialnya, sehingga pakaian yang mereka kenakan menimbulkan kesombongan. Maka pakaian itu menjadi haram, bukan karena pakaian itu haram, tetapi niat memakai dan pengambilan fungsi pakaian itu yang haram, karena digunakan sebagai sarana menyombongkan diri.

Tentu Anda dengan mudah menemukan, mereka yang berpakaian, katakanlah, syar’i secara fisik, tetapi dengan pakaian seperti itu justru membawa mereka jauh dari nilai agama. Bukan karena pakaiannya. Tetapi pada saat mengenakan pakaian semacam itu, lalu di dalam hati si pemakai terdapat perasaan, “pakaian ini paling syar’i, dan orang lain yang memakai pakaian tidak seperti ini tidak syar’i.”

Pradana Boy ZTF - Tidak Ada Model Khusus Pakaian Syar'i
Editor: Yahya FR
Desainer: Galih QM
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds