Di Muhammadiyah itu tidak ada habib, orang suci, jaddab, sufi dan prilaku keagamaan aneh lainnya. Tidak tampak tokoh berpakaian aneh, berprilaku aneh, mengaku wali dan lain sebagainya. Satu-satunya yang aneh adalah mengaku Muhammadiyah tapi tidak berbuat apa-apa untuk umat, itu yang aneh bin ajaib.
Pengamalan keagamaan Muhammadiyah biasa saja sesuai sunnah yang dipahami. Tidak ada pengkultusan terhadap tokoh secara berlebihan, cium tangan secara rakus, atau ngalab berkah dari sisa makanan atau minuman tokoh idola.
Dari rahim Muhammadiyah tidak lahir nabi palsu, orang mengaku sebagai wali, tidak ada Gufron-Gufron dan sejenisnya. Mungkin yang ada KTA-KTA palsu secara substansial.
Di Muhammadiyah itu seseorang dihargai karena kesalehannya. Bahkan secara organisatoris pengurus Muhammadiyah dianggap ada karena jejak perjuangannya, bukan karena tercantum di SK. Anak-anak kiyai Muhammadiyah juga diperlakukan sama dengan yang lain. Mungkin lebih dihormati karena prestasi orang tuanya dalam berdakwah.
Jadi penghargaan itu diberikan karena sifat kesalehan yang melekat pada seseorang, bukan karena nasab atau aura mistisnya. Siapa yang lebih banyak berbuat kesalehan, baik kesalehan pribadi maupun sosial akan memperoleh penghormatan selayaknya.
Begitu pula sebaliknya, tidak ada hamba paling rendah yang dipersekusi di Muhammadiyah dengan tuduhan-tuduhan negatif. Misalnya kafir, sesat, bid’ah, dholah dan stereotip lainnya. Konsep-konsep tersebut sebenarnya ada dalam ajaran Islam yang termaktub di al-Qur’an dan hadits, namun menjadi stereotip ketika digunakan untuk mempersekusi saudara seiman secara serampangan. Muhammadiyah menggunakan konsep-konsep tersebut terkait dengan prilaku yang divalidasi oleh para ulama yang faqih dalam bidangnya.
Muhammadiyah menganut moderasi otentik dalam beragama. Worldview Muhammadiyah dalam beragama terumuskan secara filosofis yang terus dikoreksi secara akademis sepanjang masa pada dialektika zaman. Majelis Tarjih hadir sebagai sarana memikirkan manhaj yang sahih dalam menjalankan ajaran agama.
Kembali pada relasi umat dan tokoh dalam Muhammadiyah. Memang ada kesan kering dari aspek spiritual dalam relasi tersebut, seolah korporasi yang bekerja dengan struktur tertentu. Kiyai di Muhammadiyah banyak yang tidak memiliki santri yang memiliki ikatan emosional. Guru dan murid di sekolah-sekolah Muhammadiyah kadang terlihat sebagai transaksional barter, murid membayar guru untuk pintar.
Berbeda dengan relasi kiyai dan santri di pondok pesantren, dimana santri sangat tadzim kepada gurunya. Sang kiyai mendoakan santri-santrinya dalam setiap mujahadah. Relasi ini penting dijalin untuk memperkuat ukhuwah Islamiyyah yang sesungguhnya.
Beberapa dai juga memiliki pengikut fanatik yang banyak, namun terukur dalam relasi sosialnya. Relasi tokoh dan umat dalam organisasi keagamaan idealnya bukan hanya struktural, tetapi juga emosional.
Fanatisme berlebihan kepada para tokoh agama bisa jadi ada kehampaan kepemimpinan yang tidak sesuai harapan umat. Banyaknya tokoh panutan yang tidak bisa dijadikan panutan karena terjerumus pada hedonisme, politik praktis dan kemaksiatan lainnya. Maka kehampaan spiritual ini menemukan momentum yang tepat ketika bertemu dengan seseorang yang dianggap memiliki kelebihan spiritual, baik nasab maupun jaddab.
Selain itu, juga menunjukkan bahwa paham keagamaan sangat mempengaruhi pola pikir dalam mempelajari agama.
Sayangnya, kelemahan ini dimanfaatkan oleh para tokoh, habib palsu, wali palsu, nabi palsu untuk popularitas pribadi. Umat yang seharusnya dididik, diarahkan, dicerahkan agar bermanfaat bagi orang lain malah dilenakan dengan iming-iming keselamatan akhirat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa performa dan glorifikasi ketokohan membuat mereka dipuja-puja bak malaikat. Fanatisme berlebihan ini secara ekonomi ternyata juga mendatangkan income material yang lumayan.
Undangan menjadi laris, bisyaroh (honor/amplop) semakin tinggi, kemewahan fasilitas semakin baik, ditambah dengan popularitas bak selebriti. Maka tidak heran banyak muncul habib-habib yang tidak jelas asal usulnya, yang penting putih, mancung berwajah Timur Tengah mengaku sebagai habib.
Kenyamanan hidup seperti ini memang menggiurkan dan banyak diimpikan. Namun banyak juga habib yang baik, yang fokus dalam berdakwah dan membina umat tanpa menyombongkan nasabnya. Menjaga marwah Rasulullah dengan akhlak yang mulia.
Lagi-lagi di Muhammadiyah sepi dari perdebatan nasab karena tidak ada habib di Muhammadiyah. Ketakwaan seseorang tidak ditentukan oleh hubungan darah dan kekerabatan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa nasab dan hubungan darah tidak menentukan keimanan dan ketakwaan seseorang.
Qabil dan Habil tetap bermusuhan meski putra seorang Nabi, Asiah tetap beriman meskipun menjadi istri Fir’aun, Kan’an darah daging Nabi Nuh tetap memilih kafir, istri Nabi Luth tetap fasik, ayah ibu Nabi Ibrahim tetap musyrik, kakek Rasulullah tetap kafir meskipun sangat menyayangi nabi.
Sebaliknya, Ikrimah putra Abu Jahal menjadi sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah, Umar bin Khattab yang selalu ingin membunuh Nabi menjadi sahabat terkemuka, dan banyak orang yang tidak memiliki nasab yang baik tetapi menjadi orang baik.
Islam mengajarkan untuk tidak bersikap ghuluw, israf, tabdzir, ekstrim dalam bersikap. Relasi Rasulullah dengan para sahabatnya digambarkan dalam kitab-kitab sejarah sebagai relasi yang produktif dan konstruktif, antara guru dan murid, antara sesama saudara, antara sahabat yang saling menyayangi, bahkan dalam beberapa kesempatan Rasulullah tampak menjadi pengikut, seperti saat Salman Al-Farisi menjadi arsitek perang Khandaq.
Kehidupan keseharian Rasulullah juga digambarkan sebagai manusia normal yang sebenar-benarnya. Yang tidak normal itu hanya memburu dunia menafikan akhirat, atau sebaliknya, hanya memburu akhirat tetapi menafikan dunia.
Rasulullah Saw hidup secara normal, bekerja, beribadah, membangun rumah tangga, bermasyarakat, berperang, bisa sakit dan berdarah, pernah marah dan cemburu, pernah sedih. Ajarannya khoiru naas anfaihum li naas, sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Karenanya dalam anggaran dasarnya tujuan Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat yang sebenar-benarnya, artinya manusia yang sesungguhnya, bukan Superman. Muslim yang hidup dengan normal, bekerja, belajar, beribadah, bergaul, bertindak sesuai dengan takdirnya sebagai manusia dan muslim.
Semua saja harus dihormati sebagai sesama manusia, apa lagi sesama muslim, apapun suku, bangsa, agama, nasab, bahasanya. Penghormatan yang paling utama tentu karena keimanannya, taqwanya, akhlaknya, ibadahnya, dan perbuatannya yang bermanfaat bagi orang banyak.
Perdebatan nasab yang mengarah pada pengakuan dan kesombongan adalah perbuatan sia-sia kecuali dalam konteks ilmiah dan penelitian. Begitu pula prilaku penghormatan berlebihan terhadap tokoh hanya akan melahirkan kultus individu yang kontra produktif terhadap kemajuan umat dan bangsa. Untung di Muhammadiyah tidak ada habib dan orang aneh lainnya, sehingga energi kita tetap fit untuk berjuang untuk umat dan tidak terbuang sia-sia.
Editor: Soleh