Oleh: Ir. Basit Wahid
Kritik Kaum Orientalis
Bulan puasa untuk Indonesia kadang-kadang jatuh di musim hujan. Kadang-kadang di musim kemarau. Bila bulan puasa jatuh di musim kemarau, maka setiap muslim yang taat menjalankan ibadat puasa, akan merasakan dahaga dan keringnya kerongkongan. Tetapi di musim hujan, justru sebaliknya yang terjadi. Haus dahaga tiada berapa menggoda, tetapi perutlah yang keroncongan, bukan main laparnya! Hal itu disebabkan karena Islam menentukan bulan Qamariyah untuk melaksanakan peribadatan, antara lain puasa dan haji.
Hal itu sering dicela oleh kaum orientasi Barat. Dikatakan bahwa kalender yang berdasarkan peredaran bulan sangat tidak praktis. Tidak dapat menunjukan perubahan musim, dan sangat menyusahkan bagi orang Islam sendiri yang sedang berpuasa. Bila bulan puasa kebetulan jatuh di musim panas. Harinya panjang dan udaranya pun panas sekali. Tetapi sesungguhnya justru di situlah letak kebijaksanaan syariat Islam.
Hikmah Pertama
Puasa memang dimaksudkan oleh Allah agar manusia berbakti kepada-Nya dan menjaga diri dari nafsu angkara murka. Oleh sebab itu, puasa kadang-kadang jatuh di musim kemarau dan kadang-kadang di musim hujan. Kadang-kadang di musim panas, dan kadang pula di musim dingin. Dengan demikian, umat Islam dibiasakan menahan diri dari makan dan minum dan larangan Allah di segala musim.
Kita tahu bahwa satu tahun Syamsiyah 11 hari lebih panjang daripada 1 tahun Qamariyah. Selama 33 tahun sekali bulan puasa akan jatuh pada musim yang sama, sebab 33 x 11 hari = 363 hari, dan ini hampir sama dengan panjang satu tahun. Usia manusia rata-rata sekitar 70 tahun. Ini berarti bahwa setiap Muslim akan mengalami rata-rata dua kali peredaran musim di dalam menjalankan ibadah puasa selama hidupnya, suatu latihan yang cukup merata.
Hikmah Kedua
Islam adalah agama universal, diatur oleh Allah untuk segenap umat manusia di seluruh dunia. Bumi kita bulat dan mengedari Matahari dengan porosnya yang miring. Oleh sebab itu, terjadilah perbedaan musim. Untuk Indonesia dan negara-negara yang terletak di sekitar khatulistiwa’ seperti misalnya Malaysia, Singapura, Pakistan, India, Saudi Arabia dan lain-lain, perbedaan musim tidaklah berapa besar.
Lain sekali halnya di Mesir atau di Sidney, misalnya, yang letaknya dari khatulistiwa sejauh 40 derajat. Pada musim panas, imsak pada jam 3 pagi, sedang maghrib jatuh pada jam 7 sore. Ini berarti siang hari lamanya tidak kurang dari 16 jam, sedang malam hari cuma 8 jam.
Seandainya ibadah puasa ditetapkan dengan Syamsiyah, misalnya bulan Desember, hal itu akan menyukarkan untuk umat Islam yang berdomisili di Sydney, Australia, yang jumlahnya cukup banyak. Sebab, berarti mereka harus menjalani puasa yang selalu jatuh dalam musim panas dengan siang hari 16 jam panjangnya. Tetapi bagi orang Mesir akan merupakan kemudahan selalu, sebab bulan Desember adalah musim dingin bagi mereka, dengan siang hari 8 jam panjangnya.
Tentu saja hal itu akan merupakan suatu diskriminasi bagi umat yang berdomosili di sebelah selatan dan sebelah utara khatulistiwa. Dan diskriminasi semacam itu antara umat Islam yang tersebar luas di seluruh permukaan bumi dilenyapkan sekaligus dengan mengintrodusir bulan Qamariyah. Maha Bijaksana Allah yang telah mengatur segala-galanya dengan sebaik-baiknya!
Hikmah Ketiga
Demikian pula mengenai zakat yang diperhitungkan menurut bulan Qamariyah. Setiap Muslim yang berkewajiban membayar zakat harta benda kekayaan dan perdagangan kecuali yang mengenai hasil pertanian akan mengeluarkan zakat satu kali lebih banyak daripada bila menggunakan tahun Syamsiyah.
Jelasnya, bila tahun Qamariyah yang digunakan, maka setiap Muslim yang wajib membayar zakat di dalam 33 tahun Qamariyah berkewjiban mengeluarkan zakat 33 kali. Sedangkan bila yang digunakan tahun syamsiyah, mereka hanya mengeluarkan zakat 32 kali saja sepanjang waktu itu. Sebab, 33 tahun Qamariyah hampir sama dengan 32 tahun syamsiyah. Jadi, perhitungan tahun dengan bulan Qamariyah menguntungkan bagi yang berhak menerima zakat.
Sumber: artikel “Mana Yang Lebih Eksak dan Ilmiah: Kalender Miladiyah atau Hijriyah?” karya Ir Basit Wahid (SM. no. 5/Th. Ke-57 /1977). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id dengan pengubahan judul dan penyuntingan.
Editor: Arif