Riset

Tiga Penyakit Nalar Selama Pandemi Covid-19

3 Mins read

Baru saja saya dapat berita bahwa salah satu orang yang bilang bahwa COVID-19 adalah hoax atau “fake crisis”, menyatakan menyesal setelah diri dan istrinya kena COVID-19.

Kalau saya terlarut, sebagai yang berpendapat bahwa COVID-19 itu nyata,  bisa saja saya memercayai berita itu begitu saja. Tapi saya berusaha untuk tetap waspada. Tidak serta merta percaya berita tersebut meskipun mendukung pendapat saya. Kalau saya langsung percaya setelah baca berita tersebut, apa bedanya saya dengan orang yang langsung percaya dengan video dr. Judy itu?

***

Kenapa hoax dan teori konspirasi itu mudah sekali menyebar? Ini pendapat saya mengenai hal itu. Sekali lagi ini pendapat saya.

Pertama, orang berminat tinggi pada heroisme. Entah karena terbiasa nonton film hollywood atau apa. Jadi berita heroik lebih mudah dipercaya daripada berita biasa.

Kedua, orang cenderung membela yang tampak tertindas. Jadi kalau tampak ditindas, tentu langsung dibela, bahkan sebelum semua jelas siapa benar siapa salah. Oleh karena itu playing victim menjadi salah satu cara menggaet simpati orang banyak.

Ketiga, orang menyukai jawaban sederhana dan instan. Kalau tersedia berita yang langsung memberi jawaban tentu akan lebih dipilih daripada fakta-fakta sepotong yang tercecer dan musti keluar tenaga untuk merangkainya menjadi sebuah gambaran kebenaran yang utuh. Hazard ini makin meningkat ketika model pemberitaan di era perangkat genggam ini adalah berita pendek dan terpotong-potong.

Seperti ditulis di artikel Psychologytoday, menurut Daniel Jolley, seorang psychologist dan conspiracy theory researcher:

“Mereka butuh jawaban senderhana atas  masalah yang kompleks, dan dengan menyalahkan aktor tertentu atas masalah ini,  akan sangat menarik dan meyakinkan.”  (Thanks mas Ismail Fahmi, saya kutip twitnya).

Baca Juga  Etos Belajar Muhammadiyah: Menjadi Guru Sekaligus Murid
***

Keempat, orang sangat butuh kepastian dan takut akan misteri. Kecuali misteri dalam film karena nggak ngaruh ke kehidupan nyata, toh hanya film. Tapi kalau misteri, kegelapan dan ketidaktahuan itu langsung mengenai dirinya, orang cenderung takut, lalu mencari jawaban.

Kecenderungan ini membuat orang cepat-cepat berpegang pada suatu kesimpulan, lalu memegangnya erat-erat. Kalau ada kesimpulan lain yang lebih sesuai fakta, muncul resistennya karena dia harus melepas kenyamanan yang sudah dia dapat dari kesimpulan awal, takut untuk berpindah pada kesimpulan baru tadi.

Di samping ketakutan atas ketidakpastian saat harus berpindah ke kesimpulan baru tadi, ada juga unsur ego. Udah terlanjur mengambil kesimpulan, lalu mengkampanyekan kesimpulan itu… eee kok harus menganulirnya dan berpindah ke kesimpulan baru. Gengsi donk.

Makanya tak sedikit yang tetap ngotot meski itu sudah terbukti salah oleh fakta baru.

Kemarin di wall FB teman saya, ada yang komen bahwa dia yakin COVID-19 itu hanya fatal pada orang tua yang memiliki penyakit sebelumnya. Lalu saya komen dengan jurnal dan berita yang menunjukkan bahwa orang muda tanpa penyakit sebelumnya juga bisa fatal.

Apa tanggapannya? Bukannya menerima fakta baru, tapi membantah dengan bilang saya sok pakai bahasa sulit, ngarang-ngarang istilah, lalu memberikan emot ketawa di komen-komen saya yang mengutip jurnal dan berita itu. Ya itulah kalau ego yang main.

***

Biasanya, yang percaya hoaks itu terjebak pada kesalahan-kesalahan logika (logical fallacies), di antaranya:

1. Argumentum ad Ignorantiam

Disebut juga argumen ketidaktahuan, adalah kesalahan berpikir karena tergesa mengambil kesimpulan atas dasar apa yang tidak diketahuinya. Contohnya seperti orang di FB teman saya itu.

Baca Juga  Ahlan wa Sahlan: Antara Filosofi dan Basa-basi

Dia menyimpulkan tidak ada orang muda tanpa penyakit sebelumnya bisa fatal karena COVID-19 hanya karena dia belum pernah baca jurnal atau beritanya. Sayangnya setelah tahu, masih tetap berkesimpulan sama.

2. Hasty Generalization

Adalah cara mengambil kesimpulan berdasarkan sesuatu yang khusus dan jumlah kecil dan terburu-buru untuk menerapkannya sebagai kesimpulan umum. Contoh, seseorang bilang, “Sebenarnya jumlah penderita COVID-19 itu sedikit jumlahnya, buktinya di kampung saya tidak ada!”.

3. Context Collaps

Sering lihat broadcast kesehatan di grup WA? Umumnya, di situ ditulis beberapa statement dalam beberapa paragraf. Mayoritas fakta-fakta di dalamnya benar, sebagian ada yang salah. Lalu ada kesimpulan akhirnya. Nah kesimpulan akhirnya ini biasanya salah karena mengandalkan salah satu fakta yang salah tadi dan menutupinya dengan fakta-fakta yang benar, lalu melepas kesimpulan itu dari konteks fakta-fakta yang benar. Ini agak canggih.

Sebagai contoh agar mudah, ada broadcast begini:

Stroke bisa terjadi karena perdarahan atau sumbatan di otak (1). Ini adalah salah satu penyakit mematikan di dunia (2). Menurut dr. Gudi dari Harvard, tekanan darah itu bisa sampai ke ujung-ujung jari (3). Pada orang stroke, tekanan darah di ujung jari meningkat (4). Oleh karena itu saat ada gejala stroke, tusuklah jari-jari penderita dengan jarum sampai keluar darah, agar tekanan berkurang dan pasien tetap sadar (5). Fakta ini diambil dari Liputan8 dot kom (6).

Kalau dibaca sekilas, tampak setiap statement itu nyambung, logis, dan benar.

Mari kita petakan: 1. Benar. 2 Benar. 3. Statemen benar, sumber entah. 4. Bisa benar, bisa salah. 5. Kesimpulan salah. 6. Entah.

Nah, siapa yang sabar memetakan begini sebelum nge-share sebuah berita?

Baca Juga  Muhammadiyah: Reformasi Islam Model Protestan
***

Coba saja dipraktikkan untuk memetakan isi video dua dokter yang viral itu. Saya sih udah nemu bagian-bagian dari statement-nya yang meragukan.

Masih ada logical fallacies yang lain, tapi kita bahas kapan-kapan kalau ada kesempatan.

Oiya, dengan posting-posting semacam ini, bukan berarti saya bilang bahwa konspirasi itu tidak ada lho, kisanak.

Editor: Yahya FR
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds