Akhlak

Tiga Pilar Penting dalam Belajar Ilmu Agama

4 Mins read

Posisi agama yang menjadi salah satu pilar konstituional Indonesia, memberinya ruang dan andil yang amat besar untuk berdialog dengan konteks sosial masyarakat.

Salah satu fenomena yang terlahir dari proses saling mempengaruhi tersebut adalah peningkatan semangat beragama.

Fenomena ini boleh kita apresisasi lantaran akan lebih memberi ruang lagi bagi agama untuk masuk dalam lini kehidupan individu, etika sosial, dan menjadi dasar pengambilan kebijakan.

Namun, layaknya pisau bermata dua, fenomena ini juga memiliki potensi destruktif jika tidak berbanding lurus dengan kualitas pengetahuan keagamaan.

Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi antara lain, tumbuhnya bibit-bibit ekstremisme dan radikalisme. Di mana, ekspresi beragama melanggar nilai-nilai konstitusi lainnya, seperti persatuan dan kesatuan.

Upaya prefentif diperlukan untuk mencegah hal ini. Yang mana, bisa dimulai dengan penanaman kesadaran untuk belajar agama bukan hanya bersemangat mengamalkan saja.

Bukankah Imam Ghazali berwasiat bahwa ilmu tanpa amal berarti ilmu tersebut tidak nyata adanya, dan amal tanpa ilmu adalah sebuah kegilaan.

Syahdan, kesadaran untuk belajar agama saja belum cukup, harus dibarengi dengan pemahaman langkah dan metode belajar yang sahih. Pasalnya, ilmu agama bukanlah satu disiplin ilmu saja. Ia adalah rangkaian dari berbagai disiplin ilmu yang saling berkelindan secara komplek. Bagaikan anak kecil, jika dipaksa mengkonsumsi makanan orang dewasa justru akan membahayakan dirinya.

Memahami Konsep Awam dan Pakar dalam Ilmu Agama

Sebelum masuk pada unsur-unsur metodis, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memahami konsep awam dan pakar atau ahli.

Hierarki ini adalah dasar yang tidak boleh dilewatkan. Al-Qur’an menegaskan dalam surat An-Nahl ayat 43, bertanyalah pada ‘ahlu dzikr’ jika kalian tidak mengetahui,”. Syekh Muhammad Abduh menafsirkan lafaz ahlu dzikr dengan para ahli atau pakar.

Prinsip pakar-awam ini sebenarnya sudah sering kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu, kita lebih memilih tukang yang sudah ahli untuk membangun rumah atau dokter yang sudah praktik puluhan tahun daripada yang masih magang. Jika urusan dunia saja kita tidak bisa menyerahkannya pada yang bukan ahli, bagaimana dengan urusan agama?

Baca Juga  Doa Nabi-nabi yang Dikabulkan dan Sengaja Ditangguhkan

Bentuk kongkrit dari penerapan prinsip kepakaran ini antara lain bisa dilihat dalam disiplin ilmu fikih. Dalam fikih, tidak sembarang orang boleh berfatwa dan berijtihad.Bahkan dalam satu mazhab, ada beberapa tingkatan ijtihad.

Dimulai dari para imam mazhab yang berstatus sebagai mujtahid mutlaq, kemudian mujatahid mazhab, dan mujtahid fatwa.

Perkataan mujtahid mazhab & fatwa tidak bisa dianggap sebagai mazhab tersendiri. Sebab, perkataan mereka adalah pengembangan dari pendapat mujtahid mutlaq.

Pendapat seorang awam tidak bisa dijadikan sandaran (ghairu mu’tamad) dalam konteks beragama. Awam bukan hanya orang yang tidak menggeluti ilmu agama. Termasuk kategori awam juga adalah para pakar di bidang ilmu agama tertentu namun tidak dalam bidang ilmu agama lainnya. Misal pakar hadis, bukan berarti sekaligus seorang mujtahid mutlaq fikih.

Tingkatan Penuntut Ilmu Agama

Untuk mempermudah klasifikasi ini, kemudian dibuatlah tiga tingkatan penuntut ilmu syar’i atau ilmu agama yaitu: mubtadi’ (pemula/beginner), mutawasith (menengah/intermediate), dan muntahi (pakar/expert).

Pembagian level belajar ilmu agama ini kemudian bersinggungan dengan pemetaan disiplin dalam rumpun ilmu agama. Berdasarkan tujuannya, ilmu agama biasa dibedakan menjadi ilmu ghayat dan ilmu wasilah.

Akan tetapi, pembagian dualistik ini agak bermasalah lantaran ilmu-ilmu yang menggarap teks secara langsung seperti ilmu hadis dan tafsir, sehingga setidaknya ada satu jenis lagi, ilmu teks atau nash.

Kategori ilmu ghayat adalah disiplin ilmu yang ditujukan untuk mengetahui hukum-hukum keyakinan, perbuatan lahir, dan perbuatan batin manusia. Yang mana, terwujud dalam ilmu akidah/kalam, fikih dan tasawuf.

Sedangkan ilmu wasilah adalah segala disiplin yang tujuannya untuk menyokong tujuan ilmu ghayat, seperti ilmu-ilmu kebahasaan dan logika. Setiap disiplin dalam rumpun ilmu agama ini harus ditempuh secara berjenjang dari mubtadi’ sampai muntahi.

Belajar akidah misalnya. Agar sesuai manhaj, harus diawali dengan topik atau buku rujukan yang sederhana seperti Aqidatul Awam. Pemula yang tidak sabar dan tenggelam dalam pembahasan wajah Allah, tangan Allah atau Allah bersemayam, justru ilmu yang ia pelajari akan kontraproduktif bagi kehidupan beragamanya.

Baca Juga  Tidak Semua Hal yang Tidak Dilakukan Nabi itu Terlarang

Syarat Penuntut Ilmu

Imam Syafi’i menyebutkan ada enam syarat yang harus dipenuhi bagi penuntut ilmu agama, kecerdasan, keinginan, keteguhan, biaya, bimbingan guru dan waktu.

Hal serupa disampaikan dalam bait syair dari Sayyidina Ali yang dikutip Imam Zarnuji dalam Ta’limul Muta’allim, yang selanjutnya terkenal di kalangan pesantren dengan nama syair ala la.

Syekh Mustafa Ridha dalam at-Thuruq al-Manhajiyah membahasakan ulang pesan tersebut dan meringkasnya menjadi tiga poin pokok, yaitu: syaikhun fattah (guru yang membimbing), ‘aqlun rajjah (akal yang jernih), dan kutubun shihhah (buku referensi yang sahih).

Pilar Pertama, Belajar dari Guru

Tiga rukun menuntut ilmu agama ini harus dipenuhi secara urut. Posisi guru berada di urutan pertama. Lantaran, pemula atau awam tidak akan mampu memahami permasalahan-permasalahan keagamaan tanpa bimbingan orang lain.

Selain itu, semangat belajar dari guru juga merupakan implementasi dari tradisi belajar bersanad sampai terhubung pada Rasulullah SAW. Pun Rasulullah mengalami proses “belajar” ini dengan perantara Jibril.

Para ulama sangat mewanti-wanti proses belajar agama tanpa melibatkan peran guru. Sehingga, Ibnu Mubarak mengatakan, al-isnad min ad-din, wa law la al-isnad laqala man sya’a ma sya’a,” sanad adalah bagian yang inheren dalam agama. Tanpa sanad, setiap orang akan bebas mengatakan apa yang ia mau.

Pilar Kedua, Akal yang Jernih

Akal yang jernih sendiri tidak kalah penting dibanding pilar pertama. Diksi ‘aqlun rajjah agaknya lebih tepat untuk konteks zaman ini daripada dzaka’ atau kecerdasan seperti yang disampaikan ulama terdahulu.

Sebab kejernihan akal tidak mesti korelatif dengan kemampuan intelektual. Pembelajar ilmu agama dengan IQ tinggi bisa jadi lebih rendah daripada yang memiliki IQ standar, jika ia melibatkan tendensi dan pamrih tertentu dalam proses belajarnya.

Baca Juga  Karakter Hanif: Keistikamahan dalam Kebaikan

Ilmu agama bukan sekedar kumpulan informasi yang dikodifikasi dan disampaikan secara turun temurun. Ilmu agama, bahkan semua ilmu, seyogyanya adalah sebuah malakah, kemampuan yang terinternalisasi dan melekat dalam diri.

Kejernihan pikiran diperlukan agar bisa memandang sebuah masalah secara objektif, lepas dari subjektifitas yang emosional. Salah satu langkah untuk menjernihkan pikiran adalah dengan mengarahkan niat belajar agama hanya karena Allah semata.

Al-Ghazali berkata, “Aku pernah menuntut ilmu bukan karena Allah. Sehingga, ilmu tersebut enggan untuk menjadi milikku kecuali jika kuniatkan karena Allah.”

Pilar Ketiga, Referensi yang Sahih

Referensi yang sahih artinya seusai kebutuhan dan level yang sedang ditempuh. Sekali lagi, buku referensi berada di posisi terakhir. Sebab, ia adalah piranti komplementer.

Keberadaannya sebenarnya bisa diwakilkan oleh sosok guru. Sejatinya, proses belajar agama adalah proses pemindahan kesadaran keagamaan dari sosok personal kepada personal lain, bukan dari teks-teks keilmuan Islam.

Bisakah belajar agama otodidak tanpa guru langsung dengan membaca buku saja? Tidak mungkin, sebab kesadaran beragama bukan hanya teori namun juga kondisi-kondisi spiritual yang sering tidak bisa digambarkan dengan kata, dan hanya bisa dirasa dengan pengalaman empirik.

Editor: Yahya FR

Moh Sayidulqisthon Nururrohman
7 posts

About author
Alumni jurusan Akidah Filsafat Universitas AL-Azhar yang sedang menempuh studi magister Akidah FIlsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berprofesi sebagai guru dan pembimbing di pesantren MBS Tuban, desainer grafis lepas dan penulis lepas.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds