Akhlak

Karakter Tawakal: Sandaran Hati atas Ketetapan Ilahi

9 Mins read

Karakter Tawakal I Sebagai khalifah Allah di muka bumi, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) manusia sungguh sangat paripurna. Karena kehadiran manusia di bawah kolong langit ini tidak hanya untuk menyelesaikan ‘karnaval’ kehidupan, akan tetapi lebih dari pada hal tersebut.

Bila ditelusuri lebih jauh, maka kehadiran manusia termasuk ‘meramaikan’ dunia dengan segala aktivitas yang memuliakan agama dan kemanusiaannya. Sebut saja seperti; mencari ilmu, melaksanakan tugas dan pengabdian, mencari nafkah, menegakkan agama Allah, melaksanakan ajaran agama, melaksanakan dakwah, serta bertawakal kepada Allah dalam berjihad di jalan Allah.

Segala romantika dan problematika hidup manusia sebenarnya tidak sekadar ujian dan cobaan saja. Romantika dan problematika hidup menjadi ‘pernak-pernik’ yang menjadi peristiwa psikologis bagi pendewasaan dan memunculkan kebijaksanaan pada diri manusia. Sebagai manusia, ikhtiar atau usaha harus dimaksimalkan baik yang bersifat amatiran maupun propesional, supaya antara proses bisa berbanding lurus dengan hasil: ‘proses tidak mendustai hasil’.

Kerja keras tidak dapat diartikan sebagai daya upaya yang bersifat fisik, lahiriah, dan materi belaka. Lebih dari itu, kerja keras juga mencakup pada yang bersifat pemikiran, rohaniah, immaterial. Sebab, manusia melakoni hidup tidak hanya pada profesi yang bersifat kekuatan fisik, namun ada banyak profesi yang bersifat pemikiran dan spiritualistik, sehingga kerja keras tidak bisa disamaratakan dengan yang bersifat fisik atau material belaka.

Perbedaan profesi dan aktivitas hidup adalah sebuah anugerah dan lumrah. Maka manusia harus saling memahami (sawang sinawung). Sehingga segala aktivitas tidak menjamin keberhasilan dan kesuksesan, maka di sinilah letak tawakal manusia. Sebab, dia telah mendayaupayakan usahanya, namun kepastian hasil adalah hak prerogetif dari Allah, sepanjang proses dilaksanakan dengan maksimal.

Pengertian Tawakal

Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, Abu Hamid Al Ghazali, dalam Kitab Tazkiyah An-Nufuus wa Tartiibuha Kamaa Yuqarriruhu ‘Ulamaa’ al Salaf, menjelaskan, bahwa tawakal adalah benar-benar menyandarkan hati kepada Allah Azza wa Jalla untuk tujuan mendapatkan mashlahat  dan menolak mudharat dalam urusan dunia akhirat. (Qayyim, Rajab, Al-Ghazali, 2001: 119)

Sedangkan Said Hawwa dalam kitab Al Mustakhlash fii Tazkiyatun Anfus, bahwa keadaan tawakal, Al Ghazali berkata maqam tawakal terdiri atas ilmu, hal dan amal.

Hal ini merupakan salah satu komponen makmum tawakal, karena tawakal dengan melakukan tahqiq merupakan ungkapannya, sedangkan ini merupakan dasarnya dan amal merupakan buahnya.

Tawakkul adalah pecahan kata dari wakalah (perwakilan). Dikatakan: wakkala amrahu ilaa fulan yakni ia menyerahkan urusan kepadanya dan bersandar kepadanya dalam urusan itu. Orang yang diserahi urusan itu disebut wakil. Sedangkan orang yang menyerahkan urusan itu disebut sebagai orang yang berserah diri kepadanya apabila dia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya tanpa menuduhnya curang dan tidak menganggapnya kurang mampu. Jadi, arti tawakal adalah bersandarnya hati kepada wakil semata-mata. (Hawwa, 2005: 331)

Ahmad Thib Raya memaparkan, bahwa ada sejumlah pengertian “tawakal” yang dikemukakan oleh para ulama. Al-Jurjani, misalnya, dalam bukunya al-Ta’rifaat (halaman 70) telah memberikan pengertian “tawakal” yang sangat sederhana, bahwa “tawakal” adalah sebuah keyakinan akan segala sesuatu yang ada di sisi Allah dan keraguan (ketidakpercayaan, putus asa) terhadap apa yang ada di tangan manusia).

Ulama lain yang telah memberikan definisi “tawakal” ialah Mahmud al-Mishri, yang menyatakan bahwa “tawakal” adalah menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari maslahat atau menghindari madarat dalam perkara duniawi maupun ukhrawi. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa seorang mukmin yang bertawakal akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah swt. Dan mewujudkan keimananya dengan meyakini bahwa hanya Allah yang mampu memberi atau tidak memberi sesuatu, dan mendatangkan manfaat atau marabahaya.

Abu Turab al-Nakhsyabi memberi pengertian tawakal dengan menunjukkan hal-hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya, yaitu 1) total dalam beribadah, 2) menggantungkan hati untuk memenuhi hak Allah, 3) menenangkan diri dengan merasa serba cukup atas pemberian-Nya, 4) bersyukur jika diberi, dan 5) bersyukur jika tertahan.

Harus disadari bahwa tawakal adalah sebuah sikap yang ditempatkan di akhir dari sebuah usaha yang telah dilakukan sebelumnya dengan penuh kesungguhan dan keseriusan. Tawakal tidak akan pernah muncul di awal dari sebuah usaha dan kegiatan. Ia selalu muncul di akhirat. Jika sebuah sikap tawakal muncul di awal, maka hal ini bukan sebuah tawakal. Ini yang disebut pesimisme.

Baca Juga  Islam Mengajarkan Filsafat Komunikasi Bersin

Artinya, bahwa seseorang yang akan mengejar cita-citanya harus diawali dengan usaha yang dilakukan dengan penuh rencana yang matang, dan berusaha terus hingga ke tujuan dari usahanya itu.

Di akhir itulah baru dia menunjukkan sikap tawakal. Tawakal tidak dibenarkan jika tidak didasari usaha yang sungguh-sungguh. Bukanlah disebut tawakal tanpa usaha. Tawakal harus disertai usaha. Yang bertawakal tanpa usaha bertentangan dengan sunah.

Tawakal adalah salah satu perwujudan iman. Tawakal adalah ciri kesempurnaan iman seseorang kepada Allah. Orang yang tidak tawakal pada hakikatnya telah merusak imannya. Kata Mahmud al-Mihsri, tawakal adalah termin kepribadian rasulullah Muhammad saw yang sangat mulia, sedangkan usaha dan kerja keras adalah sunah beliau. (Dieksis Sabtu, 28 Januari 2022, pkl 07.00 WIB).

Secara sufistik, menurut Ibnu Jabra ar-Rummi, tawakal merupakan jalan yang harus ditempuh oleh orang beriman. Dalam kesufian, tawakal adalah anak tangga yang harus didaki sehingga seseorang bisa sampai ke puncak ma’rifatullah.  Tanpa tawakal, tak mungkin penempuh jalan sufi dapat mencapai maqam tertinggi.

Tawakal adalah istilah dari kata dasar wakala, yang secara umum dimaknai sebagai sikap menyerahkan kepada kehendak Allah tanpa melakukan tindakan apa pun.

Menurut Ibn Faris, bahwa tawakal berarti mengandalkan pihak lain berkenaan dengan urusan yang harusnya menjadi tanggungjawab pihak yang mengandalkan. Sekarang pertanyaannya, siapakah yang diandalkan? Tentu saja Allah Yang Maha Kuasa atas semua hamba-Nya.

Bertawakal kepada Allah berarti menjadikan Dzat Yang Maha Benar sebagai wakil. Tetapi jangan disamakan ‘wakil’ tersebut sebagaimana seseorang mewakilkan kepada sesama manusia. Jika seseorang mewakilkan sesuatu kepada saudaranya, maka ia menyerahkan segala sesuatu kepada yang mewakili. Dia tidak perlu perlu lagi melakukan sesuatu tinggal menunggu hasilnya. Namun dalam konteks Allah sebagai ‘wakil’ menurut Al-Quran, masih diperlukan keterlibatan manusia sebagai pihak yang mewakilkan urusannya kepada Allah. Seseorang masih dituntut untuk melaksanakan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. (ar-Rummi, 2007: 261-262)

Maka, dapat dipahami, bahwa bertawakal kepada Allah (menjadikan Allah sebagai wakil) bukan berarti setiap sesuatu diserahkan kepada-Nya tanpa berusaha sama sekali. Bukan berarti seseorang tidak berusaha atau bahkan mengabaikan qadr.

Bertawakal kepada Allah berarti seseorang harus meyakini bahwa Allah Dzat yang mewujudkan segala sesuatu di alam ini, mengharuskan orang yang bertawakal kepada-Nya untuk menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan ‘kehendak dan ketentuan qadr-Nya atau ketentuan-Nya’.

Sebab dengan menjadikan Allah sebagai wakil, orang terlebih dahulu harus menyadari bahwa pilihan Allah terbaik. Manusia diwajibkan berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan qadr-Nya, dan menerima hasilnya sebagaimana kehendaknya dan ketentuan Allah dengan rela hati.

Pembagian Tawakal

Menurut Ahmad Thib Raya, jika dilihat dari dimensinya, tawakal harus dikaitkan dengan sebuah kebaikan atau kemaslahatan, bukan tawakal dalam kejahatan, atau perbuatan yang tidak baik. Tawakal yang benar adalah tawakal yang dikaitkan dengan maslahat, bukan berkaitan dengan mudarat. Kalau Anda sudah melakukan suatu usaha dalam sebuah kebaikan, maka pasrahkanlah hasilnya kepada ketentuan dan takdir Allah. Allah yang menentukan hasil akhir dari setiap usaha yang Anda lakukan.

Paling tidak secara garis besarnya tawakal itu dapat dibagi atas 2 macam, yaitu tawakal yang sempurna, adalah tawakal yang berkaitan dengan urusan dunia, dan tawakal yang paling sempurna adalah tawakal terkait dengan urusan agama dan akhirat. Ada beberapa macam tawakal, yang disesuaikan dengan dimensinya, di antaranya adalah:

  1. Tawakal kepada Allah dalam mencari ilmu.
  2. Tawakal kepada Allah dalam melaksanakan tugas dan pengabdian.
  3. Tawakal kepada Allah dalam mencari nafkah.
  4. Tawakal kepada Allah dalam menegakkan agama Allah.
  5. Tawakal kepada Allah dalam melaksanakan ajaran agama.
  6. Tawakal kepada Allah dalam melaksanakan dakwah.
  7. Tawakal kepada Allah dalam berjihad di jalan Allah.

Tawakal  pada no. 1, 2, dan 3 adalah contoh tawakal yang sempurna. Sedangkan tawakal pada no. 4, 5, 6, dan 7 adalah tawakal paling sempurna. Setiap orang harus memiliki kedua jenis tawakal itu, karena manusia menjalani dunia usaha, yaitu usaha dunia dalam mencari ilmu, melaksanakan tugas, dan dalam mencari nafkah. Setiap orang harus memiliki sifat tawakal yang kedua, yaitu tawakal dalam melaksanakan ajaran agama, tawakal dalam menegakkan agama Allah, tawakal dalam berdakwah, dan tawakal dalam berjihad. Semua ini berkaitan dengan usaha untuk akhirat, beribadah, dan meraih ridha Allah Swt. (Diakses Senin, 6 Februari 2022, pkl 07.00 WIB)

Baca Juga  Netizen "Galak": Tiga Tipe Pembaca Situs Islam

Karakter Tawakal dalam Kehidupan

Realitas karakter tawakal dalam kehidupan, tidak hanya berwujud ucapan saja. Namun menurut Al Ghazali maqam tawakal terdiri atas ilmu, hal dan amal. Maka ada amal perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang hamba itu dibagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, melaksanakan ketaatan yang telah diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah telah menjadikan aktivitas manusia yang berupa ketaatan sebagai sebab yang bisa menyelamatkan pelakunya dari api neraka dan mengakibatkannya masuk ke dalam surga.

Jenis perbuatan yang pertama ini harus dikerjakan dan tentu saja harus dibarengi dengan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla serta tetap memohon pertolongan kepada-Nya. karena sesungguhnya tiada daya maupun kekuatan kecuali atas pertolongan Allah.

Apa yang dikehendaki oleh Allah swt pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah pasti tidak akan terjadi. Barang siapa melalaikan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya, maka dia berhak mendapatkan siksa dunia dan akhirat.

Kedua, perbuatan yang telah diberlakukan oleh Allah sebagai tradisi yang pasti di dunia (perbuatan yang memiliki hukum sebab akibat). Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menempuh sebab-sebab yang telah ditentukan agar bisa meraih sesuatu yang diinginkannya tersebut. Misalnya saja seseorang diperintahkan untuk makan ketika merasa lapar, minum ketika haus, berteduh ketika tersengat panas terik matahari, buntal tubuh ketika di kedinginan dan lain sebagainya.

Mengerjakan sebab-sebabnya bisa mengakibatkan seorang menikmati sesuatu seperti yang telah disebutkan di atas hukumnya wajib. Barang siapa mengabaikan hal tersebut sehingga sampai membahayakan dirinya sendiri padahal sebenarnya dia bisa mengerjakan sebab-sebab  itu maka dia dianggap orang yang teledor dan berhak mendapatkan siksa-Nya.

Ketiga, perbuatan yang telah dijadikan oleh Allah sebagai kebiasaan (yang pada umumnya memiliki hukum sebab akibat) namun terkadang kebiasaan tersebut tidak terjadi pada beberapa hambanya. kegiatan ini seperti berobat (sebab tidak berarti orang yang berobat maka penyakitnya pasti sembuh. Lain hanya ketika lapar kemudian makan, maka dapat dipastikan setelah makan dia akan merasa kenyang). (Qayyim, Rajab, Al Ghazali: 200: 120-121)

Karakter tawakal dalam kehidupan menjadikan kita sebagai hamba tidak terlepas dari sunnatullah. Ketika haus dibutuhkan air minum pelepas dahaga; kala lapar dibutuhkan makanan yang bisa menghilangkan lapar; saat hujan dan panas dibutuhkan tempat bernaung dari rasa dingin maupun panas. Maka, kontekstualisasi tawakal sangat manusiawi dan sesuai dengan sunatullah.

Keutamaan  Karakter Tawakal

Ada beberapa keutamaan dari karakter tawakal yang harus menjadi jati diri sebagai kaum beriman, yakni:

1. Orang yang bertawakal akan diberi solusi dan kecukupan dari Allah.

Firman Allah:

“Barangsiapa  yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3)

2. Tawakal mengundang rezeki.

Diriwayatkan dari Umar Ibnul Khattab r.a dari Rasulullah Saw beliau bersabda:

“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, pasti kalian diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki titik burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari sudah dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Turmudzi)

3. Allah mencintai orang yang bertawakal.

Firman Allah Swt:

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah titik sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

4. Orang yang bertawakal bersandar kepada Allah.

Firman Allah Swt:

“Dan bertawakallah kepada Allah yang Hidup (Kekal) yang tidak mati, bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia mengetahui dosa-dosa hamba-hambaNya.” (Al-Furqan: 58)

5. Tawakal adalah sifat orang mukmin.

“Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. Ali Imran: 122)

6. Orang yang bertawakal selalu berprasangka baik kepada Allah.

Sabda Rasulullah Saw:

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu dan mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepadaMu.” (HR. Abu Nu’aim)

7. Tawakal termasuk kewajiban.

Baca Juga  Kebaikan Bukanlah Komoditas yang Diperjualbelikan

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah: 23)

8. Tawakal termasuk syarat-syarat keimanan.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS. Al- Anfal: 2)

Karakter Tawakal Bersumber dari Komitmen Tauhid

Apabila ditelusuri lebih jauh, maka sesungguhnya karakter tawakal kepada Allah adalah bersumber dari komitmen tauhid yang kuat. Hal tersebut dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qudamah dalam kitab Minhajul Qasidin yang menjelaskan bagaimana karakter tawakal bisa tumbuh dengan bersandarkan hati kepada Ialhi, seperti penjelasannya:

  1. Hati harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata lailahailallah wahdahu la syarika lahu lahul mulkul walahul hamdu wa huwa ala kulli syai’in qadir. Jika dia membenarkan lafaz ini, namun tidak mengetahui dalilnya,  berarti itu merupakan keyakinan orang awam.
  2. Hamba melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu melihatnya berasal dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang taqarrub.
  3. Hamba melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut dan kepada-Nya dia berharap serta bertawakal. Karena pada hakikatnya Allahlah satu-satunya yang bisa berbuat baik.  Dengan kemahaansucian-Nya semua tunduk kepada-Nya….(Qudamah, 2017: 418)

Penjelasan di atas menyiratkan bahwa entitas wahdaniyah, satu sumber, dan sorotan mata hati menjadi frekuensi kadar iman dan takwa sang hamba dalam bertawakal kepada Allah. Apabila sang hamba mampu membangkitkan komitmen tauhidnya kepada Allah secara baik, maka tingkat ketawakalannya telah mencerminkan dirinya sebagai manusia-tauhid, baik dalam ralita tauhid ritual maupun dalam kenyataan tauhid sosial.

Teologi Tawakal sebagai Karakter

Apabila di dalami secara teks, konteks dan kontekstualisasi seraca teologis, maka sebenarnya karakter tawakal mengalami fase-fase dalam diri sang hamba. Sebagai manusia-tauhid, fase-fase tersebut berbanding lurus dengan sejauh mana frekuensi keimanan dan ketakwaan serta kadar kualitas amal saleh.

Secara psikologis, fase-fase tawakal meliputi tiga tingkatan, yakni:

  1. Keadaannya benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia tunjuk sebagai wakilnya. Tipe tawakal yang pertama ini adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti ditawakali.
  2. Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan mau bergabung selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya sendiri. jika dia menghadapi satu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, “Ibu..!”  Siapa yang pasrah kepada Allah memandang dan bersandar kepadanya maka keadaannya seperti kayak anak-anak kecil dengan ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepadanya. Perbedaan tingkatan ini dengan bertawakal, yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada selain yang ditawarkan dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya.
  3. Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia dihadapan Allah seperti mayat di tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak terpisah dengan Allah melainkan dia melihat dirinya seperti seorang mati. Keadaannya seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang pada ujung baju ibunya. (Qudamah, 2017: 420)

Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang yang bertahan. Terlebih lagi pada tingkatan yang ketiga. Sebab frekuensi iman dan takwa serta kualitas amal saleh sang hamba sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas usahanya dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Maka dari itulah, ketawakalannya pun sesuai dengan pemahaman sang hamba atas keyakinan agama dan kepercayaan yang dianut. Apabila meminjam istilah Al Ghazali, maqam tawakal terdiri atas ilmu, hal dan amal. Sehingga kedudukan tawakal sesuai dengan ilmu, hal, dan amal sang hamba kepada Allah dalam kesalehan individual dan sosial.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *