Perspektif

Tiga Sikap Manusia Terhadap Al-Qur’an

5 Mins read

Hari-hari ini umat Islam sangat berharap untuk mendapatkan sebuah malam yang diyakini sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Jika dikalkulasi, berarti malam itu lebih baik dan utama ketimbang lebih dari sekitar 84 tahun hidup manusia. Hidup manusia masa kini rata-rata 70–75 tahun. Artinya, melakukan amalan di malam itu seolah telah melakukan amalan yang melebihi target kehidupan manusia. Dalam artikel ini akan membahas perihal tiga sikap manusia terhadap Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an, malam itu dinamai dengan dua penamaan pada dua tempat yang berbeda. Malam yang disebut “malam yang berkah” (mubārakah) di Surah Ad-Dukhān. Dan disebut dengan “malam keputusan atau kekuatan” di Surah Al-Qadr. Kedua penamaan ini memiliki makna yang sangat penting dan mendasar. Saya tidak akan menjelaskan makna penamaan itu kali ini. Insya Allah ketika berbicara tentang malam itu secara khusus akan saya elaborasi lebih jauh.

Kuncinya pada Al-Qur’an

Dalam menyikapi ibadah dan agama secara umum, kita sering kali terobsesi oleh kalkulasi-kalkulasi amalan secara kuantitatif. Padahal nilai amalan bukan pada kuantitasnya. Tapi penilaian itu bersifat kualitatif (ahsanu ‘amala). Sehingga malam yang istimewa itu juga pada galibnya disikapi dengan mindset yang kalkulatif-kuantitatif. Membaca Al-Qur’an misalnya, dengan setiap hurufnya akan diganjar 10 pahala dan dilipatgandakan menjadi 84 tahun.

Cara pandang seperti ini tidak salah. Hanya saja sempit dan terbatas. Karena sesungguhnya semua malam/waktu dalam Islam itu sama. Kemuliaan malam bukan karena malamnya itu sendiri, tapi karena sebuah peristiwa penting yang terjadi padanya. Jumat dan hari-hari lain dalam seminggu itu sama. Jumat menjadi mulia karena adanya ibadah yang disyariahkan secara khusus pada hari itu yang disebut Shalat Jum’at.

Malam yang dicari itu menjadi berkah (mubārakah) dan istimewa (qadr/kuat) karena apa yang diturunkan pada malam itu. Hal ini disebutkan secara gamblang di kedua tempat (Ad-Dukhān dan Al-Qadr): “Sesungguhnya Kami menurunkannya.” Itulah Al-Qur’an yang diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi alam semesta (hudan li al-nās) dan pembeda antara yang benar dan yang salah, antara cahaya dan kegelapan. Itu pula yang menjadikannya berkah dan istimewa.

Baca Juga  Jenis-jenis Cinta: dari Yunani Kuno Hingga Immanuel Kant

Memahami Keistimewaan Al-Qur’an

Di Surah Ad-Dukhān, Allah bersumpah dengan Kitab-Nya: “Dan demi Kitab yang mubīn.” Mubīn dapat diartikan sebagai Kitab petunjuk yang jelas. Tidak remang-remang dan meragukan penuh tanda tanya. Mubīn juga diartikan sebagai petunjuk yang praktis dan mudah. Mubīn bisa juga diartikan sebagai petunjuk yang universal dan inklusif untuk semua ruang dan waktu. Tapi yang terpenting dari makna mubīn ini adalah bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk yang sejalan dengan fitrah manusia (basic human nature).

Namun para ulama Ulūm al-Qur’an memberikan definisi Al-Qur’an sebagai: “Kalam Allah yang mu’jizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW, dan membacanya merupakan ibadah.” Definisi ini saya simpulkan dari berbagai buku yang membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an (‘Ulūm al-Qur’an) seperti Al-Imām As-Suyūṭī dan lain-lain.

Pada definisi yang singkat itu ada empat poin penting yang terangkum.

Pertama, Kalamullāh atau Kalam Allah. Bagian ini menegaskan bahwa segala yang termaktubkan di Kitab Suci Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah. Sekaligus menafikan kalam siapa pun selain Allah, termasuk Rasulullah SAW.

Kedua, al-Mu‘jiz atau bersifat mu’jizat. Bagian ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat terpenting Rasulullah yang bersifat abadi. Segala yang terkait dengan Al-Qur’an, dari bahasa, konten, apalagi aspek ruhiyahnya memiliki kekuatan yang mengalahkan (mu‘jiz) tandingannya. Pada aspek kontennya mungkin yang paling populer adalah kemu‘jizatan ilmiah Al-Qur’an yang sering dipopulerkan oleh para ahli.

Ketiga, al-munazzal ‘alā Muḥammad. Bagian ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan karangan Muhammad, tapi diturunkan kepadanya. Sekaligus menegaskan bahwa Al-Qur’an itu hanya diturunkan kepada Muhammad, bukan kepada yang lain. Karenanya, jika ada yang mengaku menerima wahyu (Al-Qur’an) atau diyakini oleh orang lain menerima wahyu (Al-Qur’an) maka itu adalah kebohongan.

Baca Juga  Mengungkap Makna Hijrah Perspektif Semantik

Keempat, al-muta‘abbad bi tilāwatih. Bagian ini menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an itu unik dan berbeda dari bacaan apa pun. Tidak ada buku apa pun yang dibaca dan bernilai pahala ritual kecuali Al-Qur’an. Menunjukkan kemuliaan dan keberkahan yang ada pada Al-Qur’an.

Petunjuk untuk dan Menang

Namun saya ingin mengingatkan bahwa pada momen-momen kita semua menanti malam yang istimewa dan penuh keberkahan itu, ada baiknya kita menata mindset kita dalam memandang Al-Qur’an. Bahwa Al-Qur’an jangan dibatasi sebagai sekadar jalan untuk mengumpulkan pahala-pahala ritual semata. Tapi hendaknya Al-Qur’an mesti dipandang sebagai jalan menuju kebangkitan dan kemenangan hidup. Baik kemenangan individu dan kolektif, maupun menang dunia dan akhirat.

Sejak awal, Al-Qur’an telah menegaskan bahwa tujuan dari Al-Qur’an sebagai petunjuk adalah “ulāika hum al-mufliḥūn.” Bahwa hidup dengan petunjuk Al-Qur’an pastinya berakhir dengan kemenangan yang dijanjikan.

Permasalahannya adalah cara pandang dan perilaku kita kepada Al-Qur’an yang sering kali tidak sejalan dengan harapan itu (kemenangan). Padahal, sekali lagi, kemenangan hanya akan tercapai jika hidup kita dijalani dengan petunjuk Al-Qur’an (ulāika ‘alā hudan min rabbihim).

Interaksi manusia dengan Al-Qur’an akan membawa kepada dua kemungkinan: termuliakan atau terhinakan. Maka Al-Qur’an itu mengangkat derajat sebagian orang, tapi menjatuhkan derajat sebagian yang lain (ḥadīts).

Tiga Ilustrasi Sikap Manusia dalam Berinteraksi dengan Al-Qur’an

Dalam dunia yang penuh godaan ini, manusia terbagi-bagi dalam menyikapi Al-Qur’an. Saya tidak berbicara tentang mereka yang mengikutinya secara sungguh-sungguh. Tapi mereka yang menolak dan mengabaikannya karena satu dan lain hal. Ada yang karena bodoh, berpikiran sempit, bahkan karena kesombongan.

Ada tiga ilustrasi yang menggambarkan perilaku manusia, termasuk sebagian umat Islam, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Al Qur’an dan Manusia yang Berpindah Kampung

Pertama, bagaikan orang kampung yang pertama kali datang ke kota. Lalu diajak oleh temannya berjalan-jalan ke pinggir pantai. Hanya karena sampah atau kotoran yang dia saksikan di pinggir pantai, dia berkesimpulan bahwa lautan itu kotor dan tidak berharga. Dia gagal memahami bahwa di kedalaman lautan itu tersimpan mutiara-mutiara, berlian yang mahal, gas dan minyak, termasuk ikan-ikan yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan. Inilah contoh mereka yang memiliki akal sempit dalam memahami Al-Qur’an.

Baca Juga  Hanya Orang Islam Kolot yang Anggap Syiah itu Bahaya

Al Qur’an dan Manusia sebagai Turis Kampung

Kedua, bagaikan turis kampung yang datang ke kota besar yang jalan-jalannya ruwet dan membingungkan seperti kota New York. Dia menyewa kendaraan. Di kendaraan itu ada GPS. Sayangnya, dia tidak pernah menghidupkan GPS itu. Kalaupun dia hidupkan, dia tidak paham karena tidak pernah mempelajarinya. Dia mengendarai mobil melalui jalan-jalan yang dia tidak tahu destinasinya. Maka dia pun tersesat. Itulah gambaran orang-orang yang tidak pernah membuka dan memahami Al-Qur’an. Dia berjalan dalam hidup ini tanpa destinasi yang jelas. Dan dia pun tersesat dalam kehidupan.

Al Qur’an dan Manusia sebagai Turis Negara Terbelakang

Ketiga, laksana seorang turis dari negara terbelakang datang ke Amerika. Setiba di imigrasi, dia diingatkan agar selama di Amerika dia diharuskan menaati aturan-aturan yang ada. Dia menolak karena merasa aturan di negaranya lebih baik dan nyaman. Akhirnya dia melanggar banyak aturan, tertangkap dan dipenjara. Begitulah gambaran mereka yang hadir di atas bumi Allah ini. Mereka diingatkan untuk mengikuti aturan-aturan Penguasa bumi. Mereka menolak. Akhirnya mereka harus menanggung akibatnya, dunia dan akhirat.

Karenanya, dalam upaya menyambut malam yang mulia itu—malam yang penuh kebaikan dan keberkahan, malam yang istimewa dan bernilai tinggi—kita jangan salah kaprah. Semua keberkahan, kebaikan, dan nilai dari malam itu terikat dengan komitmen kita menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) hidup. Shalat di malam Lailatul Qadar, namun di keesokan harinya Al-Qur’an diabaikan, tidak akan mengantar kepada kemenangan yang dijanjikan.

Mari merenung sejenak!

Editor: Assalimi

Avatar
57 posts

About author
Direktur Jamaica Muslim Center NY/ Presiden Nusantara Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

al-Quds Day: Benarkah Propaganda Syiah?

4 Mins read
Tahun ini al-Quds Day atau Hari al-Quds jatuh pada hari jumat, 28 Maret 2025 H atau 25 Ramadhan 1446 H. Al-Quds Day…
Perspektif

Makna al-Qadar dan Salam Menurut Quraish Shihab

3 Mins read
Sepuluh malam terakhir selalu dijadikan sebagai malam ‘special’ kaum muslimin baik untuk berburu pahala dengan meningkatkan kualitas ibadah, khataman al-Qur’an ataupun sebagai…
Perspektif

Zakat untuk Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

4 Mins read
Di bulan Ramadan, ada dua kewajiban yang sepaket yaitu puasa dan zakat. Keduanya bisa dilaksanakan jika yang akan melaksanakannya istitha’ah (mampu secara…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *