Menurut para sufi, manusia dapat dengan mudah hanyut oleh hawa nafsu yang mereka miliki. Tanpa terasa, hawa nafsulah yang mengendalikan manusia. Padahal seharusnya manusia lah yang mengendalikan hawa nafsu dengan menyucikan jiwa.
Ketika hawa nafsu sudah tidak terkendali, maka perbuatan tercela pun terjadi. Ia membuat manusia seakan-akan lupa bahwa hidup ini berjalan dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Dan sebagai manusia, kita wajib mengikuti aturan tersebut agar terhindar dari murka dan mendapatkan ridho-Nya.
Hawa nafsu dapat menyebabkan manusia gila akan persoalan-persoalan duniawi, yang pada akhirnya membuat pikiran dan ingatan jauh dari Allah Swt. Hal tersebut karena tidak terkendalinya hawa nafsu, seperti yang disampaikan oleh Al-Ghazali.
Pentingnya Tasawuf dalam Menggapai Ketenangan
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
“Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syam ayat 7-10).
Dari ayat tersebut Ibnu Katsir menjelaskan, ”Beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya dengan patuh dan taat kepada Allah. Begitu juga merugilah orang-orang yang mengotori jiwanya dengan berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah.” (Hasballah, 2016: 49)
Ketika manusia menyikapi dorongan dari jasmani dan rohani sembari melanggar setiap larangan Allah, sesungguhnya dia mendapat kerugian dunia akhirat sebab telah melakukan perbuatan tercela. Karena itu, Islam mengajarkan supaya kita senantiasa berusaha mensucikan jiwa agar jiwa kita selalu berada di jalan yang diridhoi oleh Allah Swt.
Dalam kehidupan tasawuf, seorang murid akan diajarkan atau dituntun untuk melakukan amalan dan latihan ruhiyah yang cukup berat. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa tujuan, semua itu dilakukan dalam upaya rehabilitasi mental, menyucikan jiwa dan mengendalikan hawa nafsu.
Kemudian ia membuka jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Para ahli tasawuf berpendapat bahwa jika ingin merehabilitasi mental yang buruk, maka tidak cukup jika melakukan terapi lahiriah saja. Oleh karena itu, diperlukan juga terapi ruhaniah untuk mencapai keberhasilan, seperti proses menyucikan jiwa.
Sejatinya, perilaku manusia yang dikendalikan hawa nafsu merupakan penghalang antara manusia dengan Tuhan. Karena itu, Para ahli membuat sistem yang tersusun atas tiga tingkat untuk menyingkirkan penghalang tersebut, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tiga Tahap untuk Menyucikan Jiwa
Proses pertama yang harus dilakukan adalah takhalli , ‘mengosongkan sikap atau perbuatan tercela di dalam diri’. Artinya, kita berusaha memperbaiki diri dari perbuatan tercela dan maksiat baik lahir maupun batin. Perbuatan tercela tersebut antara lain, sifat hasad (dengki), su`uzhann (berprasangka buruk), hiqh (mendongkol), `ujub (membanggakan diri), takabbur (sombong), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah).
Takhalli juga bermakna mencegah diri dari ketergantungan terhadap hal-hal duniawi. Hal itu bisa didapat jika seseorang selalu berusaha menghindar dari kemaksiatan dan berusaha mengendalikan hawa nafsu. Proses ini tentunya sangat berat untuk pertama kalinya, karena kita membutuhkan mawas diri, dan mengekang diri dari segala perilaku tercela. Selain itu, banyak godaan di sekeliling kita untuk kembali berbuat dosa. Tetapi jika kita sudah berniat untuk memperbaiki diri insyaallah perlahan-lahan kita akan bisa beristiqomah.
Proses kedua adalah tahalli , ‘membiasakan diri melakukan hal-hal baik setelah mengosongkan sikap tercela’. Tahalli dilakukan dengan cara selalu mengingat Allah dalam setiap tindakan kita baik secara lahir maupun batin. Menjalankan perintah-perintah agama seperti sholat, doa, puasa, berhaji bila mampu, dan lainnya.
Hal tersebut penting untuk menunjang iman kita, ketaatan, serta cinta kita pada Allah Swt. Dalam dunia sufi, tahalli merupakan proses pengisian kembali jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Jadi selagi kita mengosongkan sikap tercela, kita juga sembari mengisi dengan sikap terpuji.
Jika kedua proses diatas telah kita lakukan maka kita sampai pada tahap tajalli (terhubung dengan nuur Allah). Dalam dunia sufi, hal tersebut dapat dicapai ketika kita sudah lepas dari sifat keduniawian. Apabila diri kita sudah terbiasa dengan berperilaku terpuji, maka insya Allah hati kita akan mendapatkan keterangan dan cerah sehingga mudah untuk mendapatkan nuur atau cahaya ilahi.
Dengan begitu, segala perilaku dan apa yang kita perbuat nantinya pasti akan berjalan dengan hati yang ikhlas. Ikhlas dalam beribadah, menghadapi cobaan, berbuat baik, bekerja, dan lain-lain. Dengan ikhlas, ia akan membawa ketenangan dan ketentraman untuk diri kita.
***
Dalam tasawuf, kedudukan hati memiliki posisi yang penting. Hati memiliki kecerdasan yang lebih dalam dan mendasar daripada otak. Ketika manusia sudah mati hatinya, maka hilang sudah kebaikan dalam dirinya. Membangun hati yang berperasaan, memiliki kasih sayang dan kecerdasan dan lembut merupakan misi seorang sufi.
Dalam kajian tasawuf yang dikenal dengan takhalli, tahalli, tajalli, inilah cara yang dilakukan untuk mencapai misi tersebut. Di mana takhalli (pembersihan diri), tahalli (menghias jiwa) dan tajalli (terlihatnya kebenaran).
Editor: Shidqi Mukhtasor