Perspektif

Timur Tengah Tak Sekadar Konservatisme

4 Mins read

Ada yang menarik dari acara Resepsi Milad Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Ke-61 kemarin, 23 Juli 2022. Setelah beberapa sambutan diberikan, tiba lah amanat dari Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Sc. Dan di saat itulah saya baru datang menyaksikan beberapa penggalan pidato beliau tersebut.

Saat itu beliau berucap, “Kyai Dahlan dulu zaman tradisional, lahirkan kultur tradisional.. ada yang di Yogya lagi yang ditahan budayanya begitu rupa, pergi ke Arab Saudi yang saat itu masih Wahabiyah buat… pulang jadi pembaharu. Kok hari gini gitu kan, zaman sekarang anak-anak muda Muhammadiyah pergi ke Timur Tengah pulang malah jadi konservatif ketimbang dulu yang konservatif gitu lo. Ini tidak akan terjadi.. tapi Ini kalo gitu kan.. dan insyallah tidak akan terjadi”.

Setelah mendengar, rasa-rasanya kalimat tersebut kok tidak asing di kuping saya ya. Tak lama sehabis itu, saya coba tuk mengingat-ngingat. Oh ternyata kira-kira dua tahun lalu, saat bertepatan dengan pelantikan pengurus PCIM Mesir 2020-2022, beliau pernah berujar demikian rupanya. Dengan substansi yang masih sama namun agak berbeda di sini sana.

Jujur saja kali kedua mendengarkan pidato itu, kesan saya ada membosankan, untuk tidak menyebut dongkol karena status saya sebagai mahasiswa di Timur Tengah. Lagipula mengapa juga beliau mengulang-ngulangnya? Apakah ada urgensinya Ataukah hanya stereotipe belaka? Well , tulisan ini mencoba untuk menjawab kegelisahan saya. Bagi yang nantinya merasa tidak sreg, saya pribadi juga tidak mewajibkan pembaca setuju dengan isi pikiran saya. Sumonggo bila ada yang mau mengkritik ulang.

Menepis Anggapan Sinis

Tanpa mau berburuk sangka dan tetap menaruh hormat selayaknya tokoh bangsa, saya melihat ada niatan baik di belakang ucapan beliau tersebut. Kegelisahannya melihat generasi muda Muhammadiyah, terutama yang berstudi ke Timur Tengah, sekembalinya ke tanah air yang justru meributkan “masalah lama” alih-alih membawa perubahan nyata. Ditenggarai sebagai sebab klaim konservatisme melekat pada mereka.

Baca Juga  Saatnya Santri Beraksi

Sampai di sini, saya memahami apa yang beliau cemaskan. Akan tetapi akan menjadi persoalan bila klaim tersebut digeneralisasi dan menjadi asumsi dasar. Maksudnya seperti ini, “yang berkuliah ke Timur Tengah akan menjadi muslim konservatif. Kecuali mereka yang memiliki misi pembaharu seperti KHA. Dahlan”. Pemahaman ini saya dapatkan dari kalam beliau, terlepas dari yang lain.

Artinya, ada pertautan di antara konteks Timur Tengah dengan alam berpikir konservatisme. Baru di sini saya merasa keberatan. Mengapa? Karena sejatinya tidak ada kelaziman di antara keduanya. Bisa saja orang yang berkuliah di Barat menjadi konservatif atau yang belajar di Timur Tengah menjadi seorang yang moderat progresif. Karena tolak ukur konservatif atau tidak bukan pada letak tempat geografis, melainkan cara berpikir seseorang.

Mari Menilai Secara Adil

Supaya memperjelas duduk perkara, akan saya berikan beberapa contoh. Siapa yang tidak kenal Imam Syafii? Tokoh imam mazhab satu ini dalam perjalanan intelektualnya memiliki dua qaul (pendapat) dalam persoalan fikih. Yaitu Qaul Qadim (lama) dan Qaul Jadid (baru). Beliau mengemukakan Qaul Qadim saat berada di wilayah Baghdad. Namun saat beliau berhijrah ke Mesir, beberapa pandangannya dalam fikih ia ubah dan jadilah Qaul Jadid.

Dari kisah itu saja, kita dapat belajar bila Imam Syafii merupakan figur progresif. Keputusannya dalam merevisi beberapa pandangan dapat dinilai sebuah kemajuan karena berangkat dari respon yang aktual. Andaikata Imam Syafii tidak melakukan hal demikian, mungkin barangkali beliau dicap sebagai tokoh konservatif yang gagal mengikuti kemauan zaman.

Dan tak sampai di situ saja, elan vitan progresivitas itu juga dapat kita saksikan sepeninggal Imam Syafii. Adalah para murid-muridnya lah yang berjasa besar dalam mempertahankan sekaligus mengembangkan ajaran-ajarannya hingga terbentuklah sebuah mazhab yang eksis sampai saat ini.

Baca Juga  Dunia Islam Perlu Belajar Demokrasi dari Indonesia

Dari rentetan dinamika yang ada, tidak mungkin mereka hanya membebek pada pendapat-pendapat beliau saja. Karena jika mereka melakukannya, niscaya tidak akan ada namanya model-model kitab seperti matan, syarah, maupun hasyiyah.

Di mana, model kitab tersebut, mengikut isi kandungan yang dipenuhi banyaknya khilaf (perbedaan) pendapat antar sesama murid dalam satu mazhab. Salah satunya seperti pada masalah keluarnya air mani sebagai tanda baligh-nya seseorang. Di mana, antara Imam Ramli dan Imam Ibn Hajar berbeda pendapat. Yang jika saya jelaskan, belum tentu saya paham dan memahamkan (lihat Naylur Raja’ bi Syarh Safinah Naja’ karangan Sayyid Ahmad ibn Umar al-Syathiri).

Fakta ini sekaligus dapat membantah tudingan beberapa sarjana yang memandang dunia Islam mengalami stagnasi (dalam hal ini saya pahami juga sebagai konservatisme) dalam ber-ijtihad sepeninggal imam-imam mazhab.

Karena murid-mudid imam madzhab, selain mereproduksi pemikiran para gurunya, mereka juga mengimprovisasi kaedah istinbath ahkam (pengambilan hukum) dari para guru tersebut. Guna menjawab permasalahan baru yang datang di masa setelahnya.

Timur Tengah: antara Progresifisme dan Konservativisme

Tak dapat diragukan kembali bila dari tempat itulah, para Nabi dan Rasul Allah diutus. Sama halnya dengan para wali dan ulama lahir. Sudah barang pasti bila Timur Tengah merupakan tempat yang mulia dan diberkahi oleh-Nya.

Dan seiring berjalannya roda waktu, Timur Tengah tak juga sepi dari peristiwa dan sejarah. Sejak mendaratnya pasukan Perancis di bawah komando Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 ke Mesir, di saat itulah titik mula perjumpaan modernitas oleh bangsa Arab berlangsung. Datang jauh-jauh dari benua biru, rupanya mereka membawa teknologi baru yang belum ada saat itu di Mesir. Mesin cetak.

Baca Juga  Edward Said, Orientalisme, dan Palestina

Semenjak itulah persebaran informasi dan ilmu pengetahuan semakin masif. Sejalan dengan itulah, moderatisme merasuk ke Timur Tengah. Paham-paham baru ikut ambil peran di dalamnya. Sebuah keniscayaan yang pada nantinya akan memunculkan sosok-sosok yang ‘berbeda’ dengan yang dikenal dunia Islam sebelumnya. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Amin, Ahmad Syauqi, Zaki Naguib, Taha Husain, Muhammad Abduh, Ali Abd Raziq, dan masih segudang nama-nama beken lainnya menghiasi jagat negara Mesir setelahnya. Baik pemikir dan pujangga sama-sama mengemuka.

Tetapi tahukan kita, jika bangsa Perancis tidak hanya mempengaruhi tetapi juga terpengaruhi dari bangsa Mesir soal progresifitas? Rupa-rupanya ini yang dikehendaki Napoleon yang tidak ingin rugi sekembalinya dari negeri jajahan. Dan benar saja, tersingkaplah adanya beberapa kesamaan substansi undang-undang Perancis dengan ajaran mazhab Maliki. Itulah yang ditemukan Syeikh Sayyid Abdullah at Tidi dalam bukunya Muqaranah bayna al-Qanun al-Faransi wa Mazhab al-Imam Malik ibn Anas.

Apa artinya? Timur Tengah tidak melulu soal gurun dan ketertinggalan. Ada peninggalan karya intelektual para ulama kita (turats) yang pemikirannya melampaui ruang dan zaman. Jika benar konservatisme lahir dari Timur Tengah, apa tidak salah Napoleon mengadopsi kanun mazhab Maliki?

Oleh karenanya, sepertinya kita perlu berkaca kembali. Sudah benarkah kita dalam menilai kemajuan dan kemunduran peradaban sendiri? Apa jangan-jangan selama ini kita dibutakan oleh bias kebesaran “rumput tetangga nan asri”? Ini saya berbicara apa adanya dan tanpa bermaksud membesar-besarkankan dan melebih-lebihkan apa yang sewajarnya.

Akhirul kalam, semoga tulisan sederhana ini dapat mengingatkan kita akan satu pepatah yang terkenal namun seringkali dilupakan. Don’t judge a book from cover!

Tabik.

Editor: Yahya FR

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Timur Tengah
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *