Feature

Tips Spesial Scopus: Membaca dan Mencatat

3 Mins read

Secara akademik, riset yang baik tentu merujuk ke sumber-sumber primer. Sumber-sumber tersebut, didukung dengan sumber sekunder, sepanjang diperlukan.

Dalam kajian sosial dan humaniora, rujukan primer itu tidak selalu referensi terbaru. Terutama bidang kajiannya adalah sejarah, etnografi, arkeologi, filologi, dan lain sebagainya.

Dalam kajian sosiologi yang mengedepankan data sensus mutakhir misalnya, tentu menitikberatkan sumber kajiannya pada data lapangan ketimbang literatur mutakhir yang memuat masalah serupa (tapi ini semua tergantung pada pertanyaan riset dan data yang diperlukan).

Nah, hal khusus yang didiskusikan di sini adalah sumber-sumber baik primer maupun sekunder, yang bukan termasuk data lapangan. Bisa berupa buku, jurnal, laporan riset, dan lain sebagainya.

Menurut perspektif para editor jurnal (terutama jurnal terindeks Scopus), naskah yang bagus, yang menggunakan jurnal terindeks Scopus juga, tiga atau lima tahun terakhir.

Mereka berasumsi bahwa, hal itu merepresentasikan bukan sekedar orisinalitas, namun juga kebaruan, keistimewaan, dan kekhasan.

Keuntungan lainnya adalah, akan meningkatkan sitasi, terutama bagi naskah-naskah yang ada sebelumnya di jurnal tersebut. Sitasi adalah tanda bahwa, naskah-naskah yang diterbitkan, dianggap perlu dan memberikan pengaruh. Karena “perlu” dan “pengaruh” berada di bawah platform Scopus, maka bersifat internasional.

Jadi, editor jurnal memberikan bocoran bahwa, naskah yang menggunakan data primer dari jurnal-jurnal Scopus (lebih dari 60% tertuang di daftar pustaka), diutamakan untuk dipublikasikan.

Selain persoalan orisinalitas, kebaruan, dan kemutakhiran, serta sitasi. Alasan lain yang diperlukan dalam menggunakan jurnal mutakhir sebagai rujukan adalah syarat indeksasi yang ditetapkan oleh lembaga pengindeks.

Scopus memberikan sederet kriteria yang jelas dan terukur bagi jurnal-jurnal yang ratingnya akan dinilai. Berdasarkan pada berbagai hal, terutama sitasi yang massif, maka jurnal tertentu akan mendapatkan kriteria Q1-Q5 atau bahkan tanpa Q atau Q0.

Baca Juga  Budaya Melayu (3): Si Rocok dan Kisah Ekspedisi Pamalayu

Mencari, mengumpulkan dan membaca jurnal-jurnal Scopus memang lebih mudah dari membaca teks-teks dalam buku seperti biasanya.

Dalam mencari jurnal-jurnal Scopus, kita hanya perlu memanfaatkan search engine seperti Google Cendekia. Secara teknis, penulis lebih suka menggunakan anulib.anu.edu.au karena bisa memilah mana yang dianggap jurnal, buku, artikel Op-Ed dan lainnya. Di samping itu, mesin ini juga mampu membatasi rentang waktu terbit bahan-bahan yang dicari (misalnya, tahun 2019-2020).

Soal pengumpulan atau men-download jurnal-jurnal, agaknya lebih pelik meskipun mudah. Kita harus punya akun di jurnal-jurnal tersebut dan tidak gratis. Kecuali kita memiliki akun khusus, di mana lembaga tempat kita bekerja telah berlangganan jurnal-jurnal yang ada.

Perpustakaan Nasional kita (PNRI) telah menyediakan sedikit stok jurnal-jurnal yang diperlukan. Tidak menyediakan jurnal yang terbit tiga tahun terakhir.

Cara “ilegal” (?) yang biasanya dimanfaatkan oleh para peneliti yang bermodal nekat adalah mengunduh jurnal dengan kode DOI melalui website Sci Hub. Sementara untuk buku, melalui website Library Genesis yang disediakan dari Rusia. Tentu hal ini sangat praktis, mudah dan bermanfaat. Sangat mendukung pembangunan akademik negara dunia ketiga.

Untuk mengumpulkan jurnal-jurnal yang relevan secara cepat dan tepat, kita biasanya mengacu kepada judulnya. Setelah itu, kita bisa membaca sekilas abstraknya.

Sebenarnya, bagian-bagian penting yang perlu dibaca dari jurnal Scopus setelah judul dan abstrak, adalah kesimpulan. Isi atau pembahasan akan dibaca kemudian “jika dipandang menarik dan perlu.”

Dari abstrak kita bisa menemukan arah dan tujuan jurnal ini. Jurnal yang lebih baik, memiliki abstrak yang memuat tesis dan temuan riset. Sementara dari kesimpulan, kita bisa mendapatkan tesis, argumentasi, dan bahkan refleksi konseptual pengarangnya. Hal ini sudah cukup untuk membangun konsep-konsep dalam jurnal kita sendiri.

Baca Juga  Yang Menyebalkan dari Generasi Baby Boomers dan Milenial

Jadi, cukup baca judul, abstrak dan kesimpulan. Kecuali kita memang jatuh cinta pada karya yang sedang kita hadapi, sehingga perlu membaca keseluruhan naskah secara lebih khusyu’.

Membaca tentu harus diiringi dengan mencatat. Kebiasaan membuat annotated bibliography (AB) akan mempermudah dan mempercepat kita mengelaborasi konsep yang akan kita bangun sendiri.

AB yang dimaksud berisi tesis, argumentasi dan evidence dari setiap bahan bacaan. Di samping itu, juga terdapat catatan kritis mengenai kelebihan dan kekurangan bahan tersebut.

Dalam satu topik tertentu, tentu ada banyak bahan yang bisa kita gunakan. Dari berbagai bahan tersebut, jika kita terbiasa membuat critical review (CR), akan sangat bermanfaat.

CR berisi tentang kritik dan refleksi intelektual berdasarkan berbagai bahan (jurnal) yang ada, dalam rangka mengasah kemampuan analitis kita. CR biasanya berupa penjelasan mengenai perbandingan berbagai konsep, tesis, argumentasi, dan evidence. Bahkan, jika diperlukan, juga membahas masalah metodologi.

Dengan tips ini, setiap harinya, jika asumsinya kita mampu membaca satu jurnal dan menulis AB dalam waktu satu jam, maka kita bisa menyelesaikan bahan lebih dari sepuluh. Semakin banyak yang kita baca, semakin kaya bahan untuk membuat CR. Semakin tajam AB dan CR yang kita tulis, maka semakin tajam pula analisis dalam karya kita.

Akhirnya, selamat mengumpulkan bahan, membaca, menulis AB dan CR, dan selamat berkarya.

Editor: Yahya FR
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds