Khutbah

BULETIN JUMAT: Toleransi adalah Budaya Kita

4 Mins read
Oleh: Fitria Desi Ulfiani*

Baru-baru ini, pemerintah menyatakan dengan tegas akan melakukan penanggulangan yang serius terhadap paham dan gerakan radikalisme. Pemerintah sedang melakukan sejumlah evaluasi terkait cara-cara pencegahan radikalisme. Selain itu, pemerintah mencoba menyematkan istilah baru terhadap kata radikalisme agama menjadi “manipulator agama”. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memahami betul ancaman dan keharusan melawan paham dan gerakan radikalisme.

Dalam beberapa tahun belakangan, paham dan gerakan-gerakan radikalisme di seluruh belahan dunia, bahkan pula di Indonesia memang semakin merebak dan mengkhawatirkan. Ditambah dengan derasnya arus informasi era 4.0 yang membuat paham dan gerakan radikalisme ini menjadi semakin masif dan mengglobal. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi kita semua.

Dalam kenyataannya, radikalisme bukanlah monopoli satu agama saja. Tetapi hampir semua agama juga menghadapi problem yang sama. Yakni terdapat sebagian pemeluknya yang gagal memahami pesan-pesan luhur agama. Sehingga membonsai agama untuk melegalkan teror dan kekerasan.

“Kita harus berusaha mengarusutamakan wasatiyah Islam melalui pendidikan, dialog, dan layanan sosial-kemanusiaan yang inklusif.”
– Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

Secara definitif, radikalisme merupakan suatu paham atau gagasan yang menginginkan adanya perubahan sosial-politik dengan menggunakan cara-cara ekstrem. Termasuk cara-cara kekerasan, bahkan juga teror. Kelompok-kelompok yang berpaham radikal ini menginginkan adanya perubahan yang dilakukan secara drastis dan cepat, walaupun harus melawan tatanan sosial yang berlaku di masyarakat.

Selain itu, yang perlu dikhawatirkan dengan maraknya paham radikalisme ini adalah adanya nilai-nilai intoleransi yang diajarkan oleh kelompok-kelompok radikalisme. Kelompok-kelompok yang terpapar oleh paham radikalisme ini kurang bisa menerima adanya perbedaan. Menganggap paham atau ajaran yang dianut kelompok di luarnya adalah salah.

Misalnya dalam hal ibadah. Pastilah dalam menjalankan ibadah setiap agama mempunyai cara yang berbeda-beda. Namun, kelompok-kelompok radikalisme ini tidak mewajari perbedaan-perbedaan seperti itu. Kelompok ini juga kurang terbuka dalam menerima kritikan dan saran dari pihak lain.

Baca Juga  Khutbah Idul Adha 1441 H: Spirit Kurban dan Ta'awun untuk Negeri
“Nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar manusia itu saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama, sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.”
– KH. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971)

Dalam konteks agama Islam, diajarkan bahwa perbedaan seharusnya dijadikan sebagai kekayaan sekaligus keindahan, agar kita senantiasa bersikap saling menghargai satu sama lain. Sebagaimana Allah swt telah menjadikan umatnya secara berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tidak lain agar satu sama lain dapat saling mengenal dan menghargai.

Dengan ini, seharusnya umat manusia, terutama umat muslim dapat mewajari adanya perbedaan. Lebih dari itu, diajarkan pula bahwa Islam tidak didakwahkan dengan paksaan.

Dalam hal ini, Allah ta’ala berfirman:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah,maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Dalam konteks Indonesia, karena karakteristik masyarakatnya yang majemuk, maka perbedaan ragam budaya sebenarnya sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah.

Secara geografis, letak wilayah kita sudah tersebar dan membentuk kepulauan. Secara demografis, kita terdiri dari beragam ras dan etnis. Secara sosiologis, kehidupan bangsa kita sejak dahulu pun sudah mengajarkan sikap toleransi. Karena itu,  jangan sampai keragaman ini dirusak oleh virus-virus ekstremisme dan radikalisme.

Trilogi Toleransi

Ada tiga model toleransi yang lazim dipraktikkan. Pertama, toleransi antar sesama (intern) umat beragama. Dalam tradisi Islam, perbedaan bukan perkara baru. Munculnya empat madzhab fiqih menjadi bukti sahih betapa dunia Islam sangat menghargai perbedaan. Meski berbeda, empat imam besar tersebut tidak pernah saling menyalahkan apalagi saling mengkafirkan. Justeru perbedaan membuat mereka saling melengkapi.

Baca Juga  Buletin Jumat: Merawat Harmoni untuk Negeri

Tak terhitung pula jumlah kitab yang ditulis ulama muslim terdahulu untuk mengkaji, membandingkan, dan kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda dengan argumen masing-masing. Perbedaan pemikiran dimaknai sebagai bagian ikhtiar mencari kebenaran dan kebaikan bersama. Tidak terbatas hanya pada hukum fiqih, perbedaan pendapat di kalangan umat Islam terjadi di bidang ilmu lain, seperti tafsir, syarah hadis, ulumul quran, ulumul hadis, tauhid, tarikh, maqashidus syariah, dan lain sebagainya.

Kedua, toleransi antar umat beragama. Meski Islam dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia, bukan berarti agama lain layak dinafikan. Mesti dibangun kesadaran bahwa kita hidup di sebuah negara yang menjamin kebebasan beragama. Apapun agamanya, kita wajib saling menghormati. Tak perlu mencampuri apalagi menghina agama lain. Dalam kehidupan lintas agama, Islam memiliki konsep yang sangat tegas dan toleran. Seperti firman Allah:

“Untukmu agamamu,  untukku agamaku.” (Q.S. al-Kafirun: 6)

Dengan demikian, toleransi antarumat beragama termasuk salah satu risalah penting dalam sistem teologi Islam. Karena sedari awal, Islam telah memberikan petunjuk bagaimana cara menghadapi keberagamaan dengan arif dan bijaksana.

Ketiga, toleransi dalam kehidupan bernegara. Adalah bagian dari sunnatullah, Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Masyarakat muslim merupakan satu di antara enam pemeluk agama lainnya. Demikian pula, agama Islam telah dianut oleh beragam suku di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, pasti akan banyak dijumpai bentuk praktik keberagamaan. Salah satunya adalah tercerminkan dalam berbagai ormas keagamaan.

Toleransi dalam Kearifan Lokal

Dilihat dari sejarahnya, leluhur bangsa kita sudah mencontohkan nilai-nilai toleransi. Teringat bagaimana dulu para wali songo menyebarkan ajaran agama Islam di Nusantara melalui beragam media yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Selain melakukan misi menyebarkan ajaran Islam, hal ini dilakukan pula, karena para wali menghargai keragaman budaya yang dimiliki di daerah setempat.

Baca Juga  Buletin Jumat: Saling Ejek, Sampai Kapan?

Hal ini merujuk pada perintah Allah swt dalam surah al-Anbiya’ ayat 107. Bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk menjadi rahmat. Menebar kedamaian dan keadaban. Begitupun apa yang dilakukan oleh para wali songo dalam menyebarkan ajaran Islam adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semua.

Kini, kita sebagai umat muslim, juga mempunyai misi untuk menyebarkan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin, harus bisa bersikap moderat dan toleran, terutama dalam menanggapi ragam budaya yang ada. Rasa toleransi rasanya sudah menjadi ruh bagi bangsa Indonesia dan juga masyarakatnya.

Hal ini bisa terlihat dari aktivitas yang kita lakukan sehari-harinya atau pada momen tertentunya. Misalnya saat hari perayaan Idul Fitri. Sesekali masyarakat non-muslim pun turut membantu menjaga kekhusyukan umat muslim saat melaksanakan shalat Idul Fitri. Begitupun yang dilakukan umat muslim saat datangnya perayaan hari Nyepi di Bali, masyarakat yang beragama Islam turut menghargai dengan tidak melakukan aktivitas yang mengganggu pada hari itu.

Apabila sikap-sikap toleransi terus tumbuh, maka kehidupan di masyarakat dan dunia dapat senantiasa harmonis. Karena pentingnya toleransi ini dijadikan sebagai prinsip hidup bersama, tanggal 16 November 2019 kemarin, masyarakat dunia bersama-sama merayakan Hari Toleransi Internasional.

Hari ini diperingati untuk meningkatkan kesadaran tentang prinsip-prinsip toleransi. Sekaligus untuk menghormati keragaman budaya, kepercayaan, dan tradisi. Juga ditekankan pentingnya memahami risiko-risiko yang disebabkan dari sikap intoleransi. Semoga ke depan, kita terus tumbuh dalam baluran rasa toleransi yang tinggi terhadap sesama. Segala bentuk ajaran yang merujuk pada sikap intoleransi tentunya harus dihindari, karena sejatinya kita hidup dalam keberagaman.

*) Artikel ini telah dipublikasikan dengan judul sama pada website muslimmudaindonesia.co.id disertai beberapa penyuntingan.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Khutbah

Khutbah Idul Adha 1445H: Kurban dan Pengorbanan

5 Mins read
ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ٱللَّٰهِ وَبَرَكَاتُ إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ…
Khutbah

Teks Khutbah Idul Adha: Falsafah Ibadah Kurban

6 Mins read
أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَاكَاتُهُ اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِأَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ  يَهْدِهِ اللَّهُ…
Khutbah

Khutbah Idul Adha 1445H: Idul Kurban Tonggak Peradaban Berkemajuan

7 Mins read
أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَاكَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِأَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ  يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَمُضِلَ…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds