Tarikh

Diwan Al-Barid: Departemen Pos pada Zaman Dinasti Abbasiyah

4 Mins read

Umat Islam sudah mengenal sistem surat-menyurat yang terorganisasi secara rapih dan profesional sejak era Dinasti Umayyah. Mu’awiyah (660-680 M) adalah khalifah pertama dalam sejarah umat Islam yang membuka jasa layanan pos. Sistem ini kemudian diperbaiki oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Memasuki zaman Dinasti Abbasiyah dibentuklah Departemen yang mengurusi pos dan telekomunikasi yang dikenal dengan nama Diwan Al-Barid. Secara bahasa (etimologis), Diwan Al-Barid berarti “Departemen Pos.”

Surat-Menyurat pada Era Nabi

Pada era Nabi saw sistem surat-menyurat sudah digunakan meskipun masih tradisional. Sekalipun Nabi saw seorang yang ummi (buta huruf), tetapi beliau memanfaatkan media surat (ditulis oleh juru tulis) untuk menyampaikan pesan kenabiannya kepada para kepala suku atau raja-raja di sekitar tanah Arab. Lewat peran juru tulis, Nabi saw menyampaikan isi surat yang kemudian ditulis di atas kain perca atau daun papirus.

Pada akhir tahun ke-6 Hijrah (628 M), Nabi saw telah menulis dan mengirim surat kepada para kepala suku dan raja di tanah Arab dan sekitarnya. Misalnya kepada Kaisar Byzantium, Amir Bashra, penguasa Damaskus (Al-Kharits bin Abi Syamr), penguasa Mesir (Muqauqis), Raja Habasyah (Negus/Najasyi), penguasa Persia (Kisra), penguasa Bahrain (Al-Mundzir bin Sawi), penguasa Oman, dan lain-lain.

Nabi saw menulis surat diawali dengan bacaan bismillahi ar-rahman ar-rahim diikuti dengan kalimat ajakan supaya masuk agama Islam. Nabi saw juga menukil beberapa ayat Al-Qur’an sebagai penguat pesan kenabiannya. Misalnya ketika Nabi saw menulis surat kepada Hercules, kaisar Bizantium, beliau menulis: “Bismillahi ar-rahman ar-rahim. Min Muhammad bin Abdillah ila Hurqul ‘adzim Ar-Rum salamun ‘ala man ittaba’a al-huda, amma ba’du…”

Di akhir surat, Nabi saw menukil surat Ali Imran ayat 64: “…Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Muhammad Khudlari Bek, Nur Al-Yaqin: 194).

Baca Juga  Khalifah Ali (18): Kufah dan Muawiyah, Oposisi Baru

Pentingnya Surat-menyurat

Sejarawan Ibnu Khaldun menyampaikan sebuah informasi penting dalam hal ini. Dalam tradisi surat-menyurat pada era Nabi saw, para penguasa Bizantium maupun Persia tidak akan menerima sebuah surat jika tidak dibubuhi stempel (khatam) oleh pengirimnya. Atas dasar inilah, Nabi saw kemudian membuat sebuah cincin bertuliskan “Muhammad Rasulullah” yang berfungsi sebagai stempel (Ibnu Khaldun, Muqaddimah: 330-331).

Kata ”khatam” yang sering diartikan dengan “stempel” memiliki konotasi makna ”akhir” atau ”lengkap.” Seperti kata ”Khatamun-Nabiyyin” berarti ”Penutup Para Nabi.” Dalam konteks penulisan surat, khatam berfungsi untuk menjelaskan bahwa sebuah surat sudah selesai, lengkap, atau dinyatakan sah (legal). Apabila Nabi saw mengadakan suatu perjanjian tertulis, maka khatam beliau berfungsi sebagai legalitas atau setara dengan ”materai.”

Setelah surat Nabi saw selesai ditulis, maka beliau mengirim seorang utusan untuk menyampaikannya kepada tujuan. Setiap surat yang dikirim oleh Nabi saw kepada para penguasa di tanah Arab disampaikan lewat seorang utusan yang dapat dipercaya. Tetapi tugas sebagai pembawa surat ini tidak mudah. Tidak jarang para pembawa surat dari Nabi saw mendapat hinaan. Seperti Syujja’ bin Wahb, utusan Nabi saw kepada Al-Kharits bin Abi Syamr, penguasa Damaskus. Dia mendapat hinaan.

Tidak jarang para pembawa surat Nabi saw mendapat ancaman fisik sampai dibunuh. Seperti Al-Kharits bin ‘Umair, utusan Nabi saw kepada penguasa Bashra. Dia langsung dibunuh. Tetapi tidak jarang pula para pembawa surat ini mendapat pujian dan hadiah. Seperti ‘Amr bin Umayyah, utusan Nabi saw kepada Sang Negus di Ethiopia (Habasyah). Dia mendapat sambutan hangat dan memperoleh hadiah.

Melihat manfaat surat-menyurat yang begitu penting, pasca Khulafaur-Rasyidin, khalifah Mu’awiyah (Dinasti Umayyah) membenahi sistem ini secara rapi dan profesional. Pada mulanya, sistem ini hanya untuk melayani keperluan surat-menyurat dari pihak kerajaan. Sistem ini belum melayani surat-menyurat untuk kepentingan pribadi. Namun, pada masa Dinasti Abbasiyah, sistem surat-menyurat ini sudah meluaskan jaringan dan dapat melayani semua kalangan.

Baca Juga  Dinasti Ottoman (6): Mehmed I, Antara Keluarga dan Kekuasaan

Diwan Al-Barid

Salah satu prestasi Dinasti Abbasiyah adalah dengan didirikannya Diwan Al-Barid. Departemen ini dikepalai oleh seorang pejabat yang disebut Shahib Al-Barid. Prestasi ini ditopang dengan penemuan kertas sebagai media untuk menulis yang cukup efektif. Pada tahun 794 M, sebuah pabrik kertas didirikan di kota Baghdad atas prakarsa Al-Fadhl bin Yahya Al-Barmaki. Dengan demikian, perkembangan Diwan Al-Barid ditopang dengan keberadaan pabrik kertas yang pertama kali didirikan dalam sejarah umat Islam ini.

Makna Al-Barid sendiri berubah seiring dengan perubahan peran dan fungsi tugas pengantar pos. Pada mulanya, peran Al-Barid adalah mengantar surat atau kabar dengan menempuh jarak tertentu. Biasanya, di tengah perjalanan, pengantar surat kelelahan dan beristirahat di suatu tempat. Untuk dapat melanjutkan perjalanan kembali, dia harus mengganti kendaraannya yang sudah dipersiapkan di tempat istirahat tersebut (Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam: 328).

Asal-usul kata Al-Barid berasal dari bahasa Persia, “Baridah.” Artinya seekor keledai yang dipotong ekornya. Bangsa Persia sudah mengenal sistem surat-menyurat secara profesional pada era Dinasti Sassanids. Dalam tradisi bangsa Persia, keledai yang berfungsi sebagai pengantar surat dipotong ekornya untuk membedakan dengan hewan-hewan tunggangan lainnya.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, peran Diwan Al-Barid berfungsi sebagai pengirim berita-berita penting dari kerajaan. Misalnya berita pengangkatan para gubernur, pengiriman balatentara, atau pengangkutan barang-barang berharga. Ja’far bin Yahya Al-Barmaki, saudara Al-Fadhl bin Yahya Al-Barmaki, memprakarsai penggunaan kertas menggantikan kain perca untuk menulis dokumen-dokumen resmi negara pada masa Dinasti Abbasiyah.

Penghubung Antar-kota

Kantor pos tumbuh pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Masing-masing ibukota propinsi dibentuk kantor pos untuk memudahkan jaringan komunikasi. Rute jalur pos didesain menghubungkan antara ibukota kerajaan dengan kota-kota penting di tiap propinsi (Philip K. Hitti, History of Arabs: 402-403).

Baca Juga  Jejak-jejak Khulafaurrasyidin (1): Estafet Fungsi Risalah dan Imamah

Kantor pos besar di Baghdad memiliki jadwal perjalanan yang padat ke seluruh propinsi. Rute dan jarak pos inilah yang kemudian bermanfaat bagi para musafir, jama’ah haji, dan para peneliti sejarah di kemudian hari. Secara tidak langsung, rute perjalanan para pegawai pos ini membentuk jalur perjalanan yang menghubungkan dari satu kota ke kota lain. Jaringan kantor pos ini juga yang turut memperkuat kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Sejarawan Philip K. Hitti menjelaskan peran penting kepala Diwan Al-Barid. Di samping bertugas menjaga surat-surat kerajaan dan mengawasi pembangunan sarana pos, jabatan kepala kantor pos juga berperan sebagai agen mata-mata yang bertanggungjawab atas seluruh pelayanan pos. Oleh karena itu, jabatan kepala kantor pos mendapat gelar Shahib Al-Barid wa Al-Akhbar (Philip K. Hitti, History of Arabs: 402-403).

Salah satu prestasi puncak Dinasti Abbasiyah ini masih tetap dilestarikan hingga saat ini. Bahkan, sistem kantor pos di zaman modern seperti sekarang ini sudah menggunakan jaringan antar negara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan dalam sistem surat-menyurat saat ini. Di zaman sekarang ini, untuk mengirim sebuah surat dengan tujuan ke suatu kota tidak harus menunggu sampai berbulan-bulan, tetapi cukup hanya menanti beberapa hari saja.•

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *