“Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum musnah terbakar. Sisanya tinggal abu” (Penghancuran Buku, h. 3). Itulah penggalan kalimat yang dilontarkan oleh seorang profesor sejarah. Sambil menangis ia mengatakan itu kepada Fernando Baez, seorang kepala Perpustakaan Nasional Venezuela. Juga sekaligus anggota komisi internasional yang diutus ke Irak untuk meneliti seberapa besar kerusakan Perpustakaan Nasional Bagdad pada tahun 2003.
Selang beberapa jam kemudian datang seorang mahasiswa sejarah profesor tadi mengajukan sebuah pertanyaan yang horor menurut Baez. Ia bertanya, “mengapa orang menghancurkan buku-buku?” Sebuah pertanyaan yang membuat Baez begitu tak berdaya. Pertanyaan itu yang kerap kali menghantui isi kepalanya sekaligus menjadi titimangsa permulaan yang mendorongnya untuk melakukan riset selama belasan tahun terkait dengan penghancuran buku yang kemudian melahirkan buku, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Selain itu, pembahasan dan pengkajian mengenai sejarah penghancuran buku masih begitu minim. Hal itu pula yang semakin memperkuat Baez untuk mengangkat tema mengenai sejarah penghancuran buku. Baez membagi tiga fase sejarah penghacuran buku. Pertama, pada masa Dunia Kuno. Kedua, dari masa Byzantium hingga Abad ke-19. Ketiga, dari abad ke-20 hingga sekarang.
Baez mengajak kita mengujungi kembali reruntuhan-reruntuhan peradaban yang pernah dihancurkan yang dilatarbelakangi dengan motif-motif tertentu. Menyodorkan kepada kita sebuah fakta sejarah secara gamblang bahwa jauh sejak dulu penghancuran dan pemberangusan terhadap buku telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu.
Dan yang melakukan itu bukanlah seorang vandalis kerdil dan bodoh. Melainkan kaum-kaum terdidik dengan motif politik maupun agama. Mereka cenderung memiliki sifat fanatisme yang tinggi. Berusaha untuk terus melanggengkan hegemoni.
Ada begitu banyak contoh yang dipaparkan Baez mengenai filsuf, kaum terpelajar maupun penulis yang menjadi aktor pembakaran buku hanya untuk mengukuhkan pemikirannya. Di antaranya ada Rene Descartes (1596-1650) yang meminta para pembaca bukunya untuk membakar buku-buku lama. Kemudian ada Joseph Goebbels yang dikenal sebagai seorang bibliofil (seorang individu yang mencintai buku) yang tekun, namun terlibat melancarkan pembakaran buku oleh Nazi. Martin Heidegger mengambil buku-buku dari perpustakaan Edmund Husserl untuk kemudian dibakar oleh mahasiswa-mahasiswa filsafatnya. Lalu ada Vladimir Nabokov yang membakar Don Quixote di Memorial Hall, yang disaksikan oleh lebih dari 600 siswa. Ketika dia menjabat sebagai seorang profesor di Stanford dan Harvard.
Awal Mula Biblioklas
Baez membuka sejarah penghancuran buku dimulai dari dunia kuno. Tepatnya di sebuah wilayah kering Sumeria, atau yang kita kenal sekarang sebagai wilayah Irak Selatan. Sekira 5.300 tahun yang lalu di antara aliran Sungai Efrat dan Tigris. Di wilayah tandus Sumeria buku muncul untuk pertama kalinya, sekaligus menjadi tempat muasal pembakaran buku.
Buku pada masa itu masih berbentuk tablet-tablet (lempengan tanah liat yang dibakar). Pada 1924 temuan arkeologi mengungkapkan keberadaan buku-buku tertua yang diperkirakan berasal dari 4100-3300 SM. Perang menjadi faktor utama yang menyebabkan tablet-tablet tersebut hancur. Hal itu kemudian yang memicu bangsa Sumeria membentuk para penyalin kitab agar ingatan-ingatan mereka tetap terjaga.
Selain di Sumeria, Baez juga merunut bagaimana penghancuran buku di Mesir, Yunani, Israel, Cina, dan Romawi hingga pada berdiri dan runtuhnya perpustakaan Alexandria. Yang lebih mencengangkan lagi adalah terungkapnya seorang filosof sebesar Plato yang membakar buku. Dengan demikian, hal itu semakin menegasakan bahwa kaum biblioklas berasal dari kalangan masyarakat yang “berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tidak biasa, cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania, dan cenderung berada dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang sedang berkuasa, kharismatik, dengan fanatisme berlebihan pada agama atau paham tertentu.”
Anggapan bahwa yang melakukan penghancuran dan pemberangusan terhadap buku adalah jenis orang yang bodoh dan tidak terdidik merupakan sebuah kesalahan. Karena Baez merekam dengan jelas bagaimana kaum intelekual berperan besar dalam penghancuran buku.
Motif-motif Pembakaran Buku
Ada beberapa motif mengapa orang-orang menghancurkan buku. Tapi yang paling dominan adalah penghancuran yang dilatarbelakangi perbedaan paham ideologi, politik, dan agama. Pada 1257 bangsa Mongol, di bawah nahkoda Hulagu Khan melakukan ekspansi wilayah di Baghdad dan berhasil menaklukkan kota tersebut. Buku-buku dibawa ke pinggiran Sungai Tigris, lalu dilempar ke dalam sungai. Hal yang menjadi kebanggaan intelektual penduduk Baghdad lenyap seketika terbawa aliran sungai.
Sudah menjadi lumrah bahwa setiap penaklukkan suatu wilayah, selain menghabisi manusianya, buku juga menjadi sasaran empuk untuk dihancurkan. Hal itu dilakukan tidak lain dan tidak bukan sebagai sebuah upaya penghapusan ingatan kolektif suatu bangsa yang ditaklukkan.
Pada abad pertengahan, otoritas gereja menjadi aktor utama dalam penghancuran buku. Di mana buku-buku yang berlawanan dengan kebenaran yang dinyatakan oleh gereja akan dicap bidah dan tersesat. Bahkan mereka mengeluarkan daftar buku-buku terlarang. Lalu kemudian buku dibakar, kadang juga dengan penulisnya.
Berikutnya pada 1933 terjadi Holocaust yang dilakuakan oleh Nazi Jerman terhadap orang Yahudi selama Perang Dunia II. Yang sebelumnya diawali dengan sebuah ritual penghancuran buku. Gundukan buku yang jumlahnya jutaan tersebut dibakar (Bibliocaust) di bawah komando rezim Hitler. Di Vijecnica, sebuah bangunan warisan budaya yang dialihfungsikan sebagai Perpustakaan Nasional Bosnia-Herzegovina di Sarajevo luluh lantak ketika 25 bom api mendarat dengan beringas atas perintah Jenderal Serbia. Sebagian buku dan manuskrip hancur atas insiden tersebut, dan sebagian lagi selamat.
Di Checnya, 1994-1996 perang berkecamuk, pasukan Rusia menyerang Grozny (Ibu kota Checnya) dan menewaskan 80.000 orang. Selain itu, Rusia juga menghancurkan Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Anak-anak Nasional, Perpustakaan Kedokteran Nasional. Tak lupa pula Perpustakaan Kampus-kampus serta Perpustakaan Pusat Ilmu Pengetahuan juga ikut dihancurkan.
Aksi-aksi penghancuran buku yang direkam dengan sangat jelas oleh Baez dalam bukunya, mengafirmasi kepada kita, bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah upaya penghapusan memori kolektif suatu bangsa. Di mana manusia, peradaban, dan kebudayaan dihancurkan. Untuk kemudian dibangun sebuah tatanan peradaban yang baru.
Betapa pemusnahaan terhadap buku, perpustakaan, dan museum telah meruntuhkan kuil-kuil ingatan suatu peradaban bangsa. Bersama nyala api, ingatan-ingatan itu dipadamkan. Sungguh sebuah kronik sejarah yang membikin hati ngilu.
Editor: Arif