Parenting

Tren Pemberian Nama Anak dalam Peristiwa Bersejarah

3 Mins read

Inspirasi nama bayi bisa didapatkan dari manapun, termasuk saat terjadi peristiwa penting yang sedang terjadi di saat sang bayi lahir ke dunia. Belakangan ini media sosial dihebohkan tren nama bayi yang memiliki kaitan dengan pandemi Covid-19. Lalu bagaimana sebenarnya tren pemberian nama anak dalam peristiwa bersejarah?

Tren Pemberian Nama Anak

Mengutip theasianparent.com, 9 April 2020, di media sosial beredar postingan dari beberapa negara termasuk Indonesia mengenai nama anak yang terinspirasi dari pandemi Covid-19. Misal, di Filipina, terdapat bayi yang lahir pada 15 Maret 2020, dengan nama Covid Bryant.

Di Indonesia muncul nama-nama seperti Siva Corona, Vairus Abdul Covid. Di India muncul nama bayi kembar, Corona dan Covid, bahkan ada juga yang menamai dengan Lockdown.  Tren pemberian nama anak yang terinspirasi dari peristiwa besar yang terjadi bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia.

Dalam sejarah Nusantara misalnya, Nama yang diberikan kepada anak tidak melulu berimplikasi dengan doa. Ia bisa sekedar penanda masa atau jaman, yang meski tidak selalu menyenangkan tapi dirasa perlu untuk dikenang.

Dalam catatan Liem Thian Joe dalam bukunya Riwajat Semarang, pada masa perang Jawa (1825-1830) banyak bayi yang baru lahir di beri nama Geger. Nama itu diberikan orang tua sebagai penanda zaman yang sedang ribut atau dalam bahasa Jawa “gegeran”, akibat perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya anak-anak Jawa, nama Geger, tulis Liem, juga diberikan kepada bayi-bayi yang baru lahir dalam keluarga Tionghoa.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo ketika menamai anak angkatnya yang ia temukan di sebuah gubug dalam keadaan yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal terkena wabah Pes yang melanda Jawa tahun 1920-an. Ia menamai bayi tersebut sesuai dengan nama penyakit–Pesjati.

Baca Juga  Mentarbiyah Anak di Masa Bayi

Nama Pesjati (baca:Pesyati) diberikan untuk mengenang wabah pes yang melanda saat itu. Nama ini di kemudian hari berubah menjadi Pestiati, tulis Soegeng Reksodihardjo dalam biografi Dr. Cipto Mangunkusumo.

Pemberian Nama di Masa Lalu

Catatan lain mengenai tren pemberian nama anak berdasarkan peristiwa sejarah, dicatat oleh Kompas.com, 8 Februari 2016. Misal, pada tahun 1960-an, terdapat tren pemberian nama sesuai situasi sosial, politik, hingga ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai contoh, dilakukan oleh keluarga Moesodo Soediro-Fatimah Partasudarma yang memberi nama anak-anaknya Bangun Rahardjo, Ritul Pangastuti, Ibar RI Lestari, Dekon Sri Hutami, dan Djoko Tavip Nugroho.

Bangun lahir saat Indonesia sedang gencar-gencarnya membangun pada tahun 1960-an. Ritul lahir tahun 1961 ketika Presiden Sokarno me-ritul atau merombak kabinet. Kalau Ibar terinspirasi dari bergabungnya Irian Barat ke Republik Indonesia. Setelah itu pada 1963, Soekarno mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon), yang berisi kebijakan ekonomi jangka pendek yang akan ditempuh pemerintah.

Kebijakan itu, antara lain, menekankan sistem ekonomi berdikari. Dari peristiwa itu, nama Dekon di pilih sebagai nama bayi yang baru lahir, tulis Kompas.com ketika menceritakan latar peristiwa dan pemberian nama anak keluarga Moesodo.

Pada 17 Agustus 1964, Soekarno mempopulerkan jargon Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP) yang merupakan judul pidato HUT ke-19 Republik Indonesia. Vivere Pericoloso berasal dari bahasa Italia, vivere berarti hidup, sedangkan pericoloso adalah “berbahaya”, atau terjemahan bebasnya adalah tahun menyerempet bahaya.

Mengingat pada medio 1960-an, Indonesia mengalami krisis multidimensi (Rukardi, 2020). Mulai adanya friksi antar-kelompok, seperti antara TNI-AD berhadapan dengan PKI, krisis ekonomi, konfrontasi dengan Malaysia, hingga keberanian Soekarno berkata ‘tidak’ kepada Amerika Serikat serta kedekatannya dengan Republik Sosialis Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok.

Baca Juga  Lagu Anak: Masa Lalu yang (Mungkin) Tak Terulang

Identitas dan Pertanda

Pidato Soekarno tersebut, guna mengobarkan jiwa revolusi kepada bangsa Indonesia yang sedang berada dalam kondisi krisis, dan untuk pertama kalinya gagasan Trisakti Soekarno secara tersirat disampaikan dalam pidato tersebut. Semangat dari Pidato Tavip inilah yang menginspirasi orang tua saat itu untuk memberi nama anaknya Tavip.

Bahkan pada tahun 2011, bertempat di Taman Wiladatika, Cibubur, Jakarta, terselenggara kongres pertama komunitas orang-orang yang mempunyai nama yang sama yaitu Tavip. Pada kongres tersebut, tercatat ada 400 orang di Indonesia yang menggunakan nama Tavip (tribunjateng.com, 4 November 2015).

Peristiwa bersejarah lainnya adalah bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004, bencana ini memberi inspirasi para orang tua untuk menamai anak mereka Tsunami. Dinas Registrasi Kependudukan Aceh mencatat, terdapat 31 orang bernama Tsunami. Sebagian besar mereka lahir ketika tsunami, dan sisanya lahir beberapa bulan setelahnya, tulis koran Kompas, 7 Februari 2016.

Bagi sebagian orang Indonesia, nama bukan sekedar identitas individu semata, tetapi sebuah catatan atau penanda. Seperti adanya peristiwa besar, kondisi emosi saat sang anak dilahirkan, yang semua itu secara tidak langsung bercerita tentang kondisi masyarakat di suatu masa. ia juga dapat menjadi perekam sejarah negerai berikut dinamika sosial, politik, ekonomi yang melingkupi.

Editor: Nabhan

6 posts

About author
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN
Articles
Related posts
Parenting

Ajarkan Kepada Anak-anak, Masjid Tak Sekedar Tempat Ibadah

3 Mins read
Ibadah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Untuk memastikan agar generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama…
Parenting

Nasihat Nashih Ulwan untuk Para Pendidik Anak

3 Mins read
Awalan, Abdullah Nashih Ulwan sangat gemar menulis, kertas dan pena senantiasa bersama dimanapun dia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, dia tetap meluangkan waktu…
Parenting

Hubungan Orang Tua dan Anak adalah Hubungan Kemanusiaan

3 Mins read
Hubungan orang tua dan seorang anak bisa dikatakan sebagai hubungan sosial dalam lingkup yang paling kecil. Bahkan, jika dalam kajian psikologi sosial,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds