Tidak dapat dipungkiri bahwa The Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah menyebabkan pagebluk global. Wabah ini, kita sebut sebagai Covid-19. Tidak ada satu pun di antara negara-negara yang ada, yang tidak menaruh perhatian penuh terhadap persoalan ini.
Dalam konteks ini, mungkin ketakutan semua orang sama, yakni: kematian. Padahal, dengan atau tanpa virus Corona, hal itu pasti datang menghampiri. Namun, atas nama bertahan hidup (survival), kita semua takut mati karena virus ini menjadi narasi yang dikekalkan di alam pikiran dan pada akhirnya diimani sepenuh hati. Dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa, virus ini sangatlah berbahaya, mudah menular dan jika tertular, akan segera menyeret jiwa kita ke pangkuan malaikat maut.
Demi melayani “brand” survival dan ketakutan tersebut, para ilmuwan terkemuka di dunia berlomba-lomba menemukan anti virusnya. Mereka berlari kencang, berpacu dengan waktu. Artinya, semakin lama waktu berjalan, maka semakin banyak manusia-manusia terkapar karena Covid-19. Para virolog yang bekerja keras di laboratorium-laboratorium ini, menjadi ujung tombak keberlangsungan hidup ras manusia dan dengan demikian, peradaban.
Sementara itu, banyak pihak, terutama pemilik otoritas berbagai bangsa dan negara berupaya mencegah penularan antar manusia yang sedang berlangsung. Sebagian besar negara yang ada, menerapkan lockdown atau karantina wilayah secara signifikan. Bahkan, melarang orang-orang keluar dari rumahnya, kecuali dengan alasan yang sangat mendesak (membeli bahan makanan atau sedang sakit dan harus dirujuk ke rumah sakit). Ketika manusia berhenti bergerak, berhenti pula penularan virus berbahaya tersebut.
Sebagian kecil negara yang lain, mempercayai adanya herd immunity. Hal itu diyakini akan lahir oleh karena sebagian generasi manusia mampu bertahan ketika terjangkit Covid-19. Karena keyakinan itulah, maka para pemimpin negara-negara tersebut (misalnya Amerika Serikat) berpikir bahwa, semakin cepat penularan terjadi, maka semakin cepat pula lahir sekumpulan komunitas yang kebal terhadap virus Corona. Dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan berbasis herd immunity adalah tingkat kematian yang tercatat besar sekali.
Strategi lainnya yang digunakan untuk menekan penularan virus Corona adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (disingkat, PSBB). Korea Selatan dan Indonesia adalah di antara yang menerapkan strategi ini. Dengan PSBB, merebaknya Covid-19 diharapkan akan berkurang secara berangsur-angsur. Angka manusia yang terpapar virus ini kemungkinan akan bertambah, tetapi secara lambat dan bertahap. Sampai pada akhirnya, ketika vaksin yang ampuh mulai diproduksi secara massal, maka komunitas yang kebal akan muncul secara menyeluruh. Tingkat kematian melalui strategi ini tentu lebih rendah dibandingkan dengan strategi herd immunity.
Sekali lagi, negara-negara di dunia berlomba memenangkan pertarungan akbar melawan Covid-19. Mereka yang mampu bertahan, berarti merupakan bagian dari para pemenangnya. Dengan melihat peta secara luas, di antara benua yang paling gigih mencapai garis finish adalah benua Asia. Terbukti bahwa sebagian besar negara-negara Asia, terlebih dahulu mampu mengalahkan Covid-19 ini. Di saat yang sama, Eropa, Afrika dan Timur Tengah, tumbang. Sementara itu, Amerika Serikat, tengah sakit parah. Sedangkan Australia, mengalami nasib yang lebih baik, karena belajar dari strategi perang Asia.
Negara yang terlebih dahulu tersungkur dalam keterpurukan adalah China. Covid-19 pertama kali menyebar di Wuhan, China. Strategi lockdown juga pertama kali diterapkan di sana. Pada akhirnya, China juga-lah yang pertama kali membuktikan di hadapan dunia bahwa dirinya adalah pemenang: lockdown dicabut dan menyatakan bahwa wilayahnya bersih dari penyakit mematikan tersebut.
Yang menarik, ketika Mike Ryan, seorang pakar dari World Health Organization (WHO), menjelaskan bahwa Covid-19 ini bisa diatasi paling cepat dalam waktu satu tahun, hanya dalam beberapa bulan, Beijing sudah mengumumkan penemuan vaksinnya. Berdasarkan laporan dari Zhang Zhihao, China Daily, vaksin Covid-19 China sedang diuji-kliniskan di China National Pharmaceutical Group Co di Beijing. Dalam proses aktivitas ilmiah penemuan vaksin ini, peran The Wuhan Institute of Virology-China Academy of Sciences (WIV-CAS) begitu besar.
Sebelumnya, untuk mengobati pasien-pasien yang terpapar Covid-19, China juga mengawali penemuan pereda penyakit tersebut. WIV-CAS telah mengumumkan berbagai publikasi ilmiahnya mengenai efektivitas Remdesivir dan Chloroquine untuk meredakan penyakit tersebut (awal Februari 2020), di saat penelitian-penelitian ilmiah mengenai hal tersebut di berbagai negara lainnya masih berlangsung.
Sosok terpenting yang menahkodai WIV-CAS adalah Yan-Yi Wang (berusia 38-39 tahun). Tercatat bahwa pada Kamis, 2 Januari 2020, ia mengirimkan pesan untuk the China’s National Health Commission agar supaya melarang penyebaran segala informasi mengenai penelitian Covid-19. Melalui pelarangan ini, harapannya adalah masyarakat China tetap tenang dan terfokus pada proses penanganan wabah yang optimal.
Siapa Yan-Yi Wang? Saat ini ia menjabat sebagai Direktur WIV-CAS. Yan-Yi Wang seorang profesor di bidang imunologi dan biologi-sel. Gelar sarjana sains pertamanya diraih dari Peking University. Gelar magister sains ia dapatkan dari the School of Medicine, University of Colorado, Amerika Serikat. Sedangkan gelar PhD-nya, dipertahankan dari Wuhan University.
Karir akademik Yan-Yi Wang memang luar biasa cerah. Ia pernah dianugerahi The Young Scholar Award dari The Chinese Society for Immunology, komunitas ilmiah para ahli imunologi pada 2013. Setahun kemudian, ia meraih penghargaan bergengsi The Distinguished Young Scholar dari National Nature Science Foundation of China. Kemudian ia diangkat sebagai salah seorang ketua dari The Young Immunologist Committee of the Chinese Society of Immunology. Sebuah posisi yang prestisius bagi seorang ilmuwan muda. Sebelum bergabung dengan WIV-CAS, ia adalah profesor di Wuhan University.
Selama menuntut ilmu di Wuhan University, Yan-Yi Wang belajar di bawah asuhan Tian Bo, seorang ahli virus kelahiran Huantai County, Shandong, China, 1930. Ia mengerjakan disertasi yang tidak mudah dengan judul “WDR5 is essential for assembly of the VISA-associated signaling complex and virus-triggered IRF3 and NF-kB activation,” dan berhasil mempertahankannya pada 2010.
Gurunya ini adalah alumnus Beijing Agricultural University (1954), yang nantinya bertransformasi menjadi Wuhan Institute of Virology. Ia adalah orang penting di berbagai organisasi ilmiah virologi, seperti misalnya the American Virus Academy, the Indian Virus Academy dan the International Viroid Working Team. Pada 1991, ia terpilih sebagai sarjana the Chinese Academy of Sciences, sebuah lembaga ilmu pengetahuan China yang prestisius. Pada usia 87 tahun, tepat pada 15 Desember 2019, ia meninggal dunia.
Jadi sebenarnya, China sebagai sebuah bangsa dan negara, hebat sekali. Pertanyaannya, perlukah kita belajar kepada China, terutama ketika memproduksi ilmuwan-ilmuwan berkelas seperti Yan-Yi Wang dan Tian Bo, serta memenangkan perang melawan penyakit mematikan? Bagaimanakah penghayatan kita atas ungkapan, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri China” (uthlub al-‘ilma walau bi al-Shin)?
Editor: Arif