Buku: Mietzner, Marcus. Reinventing Asian Populism Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia. S.l: East-West Center, 2015.
Kali ini, kita akan membahas tentang buku yang bertajuk “Reinventing Asian Populism Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia” yang dikarang oleh seorang sarjana ilmu politik dari The Australian National University, Marcus Mietzner. Sebagaimana yang kita perhatikan dari judulnya, buku ini ingin menemukan kembali. Atau, lebih tepatnya, ingin memberikan makna yang baru, pada populisme seorang tokoh politik tanah air, Joko Widodo (Jokowi). Ia adalah Presiden Indonesia yang memenangkan Pemilu 2019 lalu, dengan mengalahkan Prabowo Subianto (h. 28-54).
Intisari yang ditawarkan dari buku ini adalah bahwa populisme Jokowi bersifat teknokratik (technocratic populism) sementara populisme Prabowo bersifat chauvinis dan konfrontatif (chauvinist-confrontational populism).
Mengapa demikian dan bagaimana Mietzner membangun argumentasinya? Pertama, Mietzner menyatakan bahwa populisme Jokowi bersifat “technocratic”. Ia cenderung pragmatis dalam mengambil keputusan, terutama yang berkaitan dengan meningkatkan pelayanan publik sehari-hari atau “day-to-day services of the people”. Dari sini, tampak bahwa gaya politik yang dimainkannya cenderung mengapresiasi kehendak rakyat (will of the people), salah satu syarat yang penting dalam gaya politik populisme tradisional (h. 23-27).
Sebagai personal, kharismanya terbangun karena ia menunjukkan dirinya sebagai orang biasa (a common man). Perilaku politiknya cenderung “down-to-earth” (istilah untuk menggambarkan bahwa ia membumi/merakyat). Terutama, hal itu ditunjukkan melalui gerilya politiknya yang membawa dirinya langsung mengakses jantung kehidupan rakyat melalui “blusukan”.
Secara ideologis, ia tampak sangat inklusif (highly inclusivist). Mungkin ini adalah istilah lain dari pluralis atau pembela kebhinnekaan. Ia menyatakan bahwa dirinya bekerja untuk rakyat, tanpa memandang keberagaman latar belakang yang dimiliki, baik itu berdasarkan suku, agama, ras, agama, golongan dan seterusnya.
Selain itu, populisme Jokowi bersifat non-belligerent. Artinya, tidak agresif dan tidak konfrontatif, bahkan terhadap lawan politiknya. Jokowi cenderung memainkan peran dialog dan menjalin kerjasama dalam upayanya untuk mencapai tujuan populisnya, yaitu meningkatkan pelayanan publik dan kualitas hidup masyarakat.
Oleh Mietzner, Ia dibandingkan dengan gaya politik populis Prabowo yang chauvinist-confrontational. Seringkali, Prabowo tampil di hadapan publik sebagai sosok yang garang, pemberani, patriot yang memimpin perlawanan terhadap musuh bangsa, menunjukkan populismenya mirip dengan Presiden pertama, Sukarno. Bahkan, mengenai hal yang disinggung terakhir ini, Prabowo mengadopsi gaya orasi yang menggebu-gebu, dengan nada suara tinggi, tempo yang menarik dan lainnya.
Dalam konteks Prabowo, ia disebut chavunis karena menggunakan narasi ideologis yang “anti-foreign corporation and neo-liberalism”. Di samping itu, berbagai narasi anti asing (anti-foreigners) atau aseng (anti-Chinese) disampaikannya dengan retorika konfrontasional yang menunjukkan bahwa dirinya adalah pembela negara yang sejati (ultra-nationalist confrontational populism). Sekali lagi, ia mengimitasi retorika politik Bung Karno dan berusaha merevitalisasi melalui performance dirinya. Demikianlah cara Prabowo membangun kharisma populisnya (h. 17-23).
Sebagai catatan, dalam mendekati populisme, Mietzner menggunakan pendekatan eklektik; memilih sesuai dengan fungsi dan keperluannya untuk memahami tokoh populis tertentu. Misalnya ia menggunakan populisme klasik yang menggarisbawahi pentingnya “rakyat” dan kebepihakan terhadapnya ketika memahami Jokowi. Sementara itu, ia menggunakan pendekatan ideational/ideologis terutama yang dikembangkan oleh seorang sarjana populisme terkemuka, Cas Mudde, untuk memahami Prabowo.
Menurut Mudde, memang populisme sebenarnya tidak cukup ideologis, sehingga ia berdiri secara tidak sempurna untuk layak disebut sebagai ideologi. Ia hanya berpijak pada fondasi ideologi yang tipis (thin ideology) yang menekankan pentingnya rakyat, kehendak rakyat, kepentingan rakyat, dan elit harus pro-rakyat. Jika elit tidak memihak rakyat, maka populisme yang disebut sebagai ideologi tipis ini akan melekatkan dirinya pada ideologi yang lebih tebal (thick ideology), baik itu yang berbasis pada ideologi ekonomi politik sosialisme atau liberalisme, maupun yang lainnya, seperti agama dan kebudayaan. Pendekatan populisme ideational ini cocok untuk membawa berbagai fenomena politik populisme sayap kanan di berbagai belahan dunia.
Apa yang bisa kita rangkum dari catatan Mietzner ini? Pertama, Jokowi yang memainkan peran populisme teknokratis berhasil mengalahkan Prabowo yang chauvinis-konfrontatif. Kedua, pemilih/rakyat Indonesia yang beragam, sebagian besar masih mempercayai kebudayaan yang menjunjung nilai penting keberagaman atau kebhinnekaan. Ketiga, pertarungan, konfrontasi, konflik, dan bahkan perang, tampaknya merupakan hal yang kurang diminati oleh publik tanah air. Keempat, memenangkan kontestasi politik melalui dialog dan kerjasama, dianggap merupakan langkah yang tepat bagi Jokowi.
Pelajaran yang bisa diambil dari karya Mietzner ini adalah bahwa Jokowi memenangkan kontestasi politik karena ia: (1) mencitrakan dirinya pro-rakyat; (2) berpenampilan sederhana dan bersahaja seperti rakyat; (3) berperilaku merakyat; (4) mampu mengakses dan berkomunikasi langsung dengan rakyat; (5) menjanjikan sesuatu (misalnya kebijakan) yang fokus pada melayani rakyat dan membangun kualitas hidup rakyat (6); mengapresiasi rakyat yang cenderung mengedepankan musyawarah, bukan konfrontasi; (7) dan memenangkan pertarungan dengan cara bekerjasama dengan kompetitornya.
Jika populisme Jokowi ini adalah strategi politik, maka hal ini bisa dipakai secara pragmatis untuk memenangkan pertarungan politik praktis.
Editor: Yusuf