Tafsir

Ulil Albab (1): Orang-orang Berakal dan Bijak

5 Mins read

Siapakah sesungguhnya cendekiawan atau intelektual itu? Menurut seorang penulis cendekiawan adalah orang yang menggunakan kecerdasannya dan pandangannya yang jauh ke depan untuk membangun masyarakatnya.[1] Cendekiawan merupakan seorang yang memiliki tujuan mulia untuk memperbaiki dan membangun masyarakatnya. Sifat seperti ini memerlukan kepekaan terhadap perubahan yang sedang maupun yang akan terjadi di masa depan.

Cendekiawan dengan demikian merupakan orang yang senantiasa mengamati, menilai dan memprediksi perubahan di lingkungan sekitar hingga lingkungan yang terjauh yang dijangkau pikiranya. Sedangkan cendekiawan muslim adalah cendekiawan yang beriman dan bertakwa kepada Allah.

Ulil Albab (Orang Yang Berakal)

Dalam Alquran cendekiawan diartikan sebagai orang-orang yang berakal atau ulil albab sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka (QS 3 Ali Imran: 190-191).

Definisi ini menunjukan bahwa dalam Islam, cendekiawan atau intelektual ini adalah orang beriman yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun sambil memikirkan pengetahuan dan penciptaan langit dan bumi. Langit sebagai satu ciptaan Allah memiliki sifat meluas sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

وَالسَّمَآءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْيدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Kami benar-benar meluaskannya (QS 51 Az Zariat: 47).

Sementara itu bumi pun selalu beredar atau bergerak pada tempat edarnya sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

لاَالشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَآ أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَالَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya (QS 36 Yasin: 40).

Baik langit maupun bumi dalam ajaran Islam merupakan makhluk yang senantiasa bergerak (meluas) dan beredar (berpindah tempat) atau dengan kata lain langit dan bumi bersifat dinamis atau senantiasa bergerak. Orang-orang yang beriman yang mengamati penciptaan langit dan bumi yang dinamis dengan sendirinya merupakan orang-orang yang dalam dirinya terkandung enerji yang dinamis sebagai kekuatan untuk mengamati dinamika langit dan bumi.

Baca Juga  Keistimewaan Rayap dalam QS. Saba’: 14

Sebagai orang-orang yang tinggal di bumi dengan sendirinya para cendekiawan tidak bisa lepas dari dinamika bumi beserta isinya. Mengingat manusia, tanaman, hewan, tanah, air dan udara merupakan bagian dari bumi dengan sendirinya cendekiawan muslim tidak dapat melepaskan diri dari memikirkan realitas kehidupan di bumi. Dinamika masyarakat manusia, tanaman, hewan, tanah, air dan udara merupakan objek perhatian dari cendekiawan.

Secara lebih khusus lagi cendekiawan sudah tentu memiliki kecenderungan memahami dinamika kehidupan manusia dimasa lalu, dimasa kini, dan dimasa depan. Aktifitas berpikir dan memikirkan penciptaan alam raya beserta isinya, serta akibat-akibatnya bagi dirinya sendiri sebagai manusia yang merupakan bagian dari masyarakat manusia dan dunia pada umumnya, sesungguhnya merupakan sifat dasar seorang cendekiawan.

Mampu Mengambil Hikmah (Pelajaran)

Dalam ayat lain ulil albab dipahami secara lebih menyeluruh dengan menyebutnya sebagai orang yang dapat mengambil pelajaran sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang apa diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (QS 13 Ar Rad: 19)

Selanjutnya ulil albab adalah orang-orang yang memenuhi tiga syarat:

Pertama, orang yang memenuhi janji Alah sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَلاَيَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ

(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian (QS 13 Ar Ra’d: 20).

Pada dasarnya setiap manusia pernah berjanji atau mengucapkan syahadat dihadapan Allah saat masih di alam ruh. Dalam percakapan tersebut Allah berfirman

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ

Bukankah Aku Tuhanmu? Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS 7 Al A’raf: 172).

Ulil albab yang selalu mengingat syahadat di alam ruh dan oleh karenanya akan selalu yakin bahwa Allah adalah Tuhan mereka atau Tidak ada Tuhan selain Allah (laila ha ilallah). Kemampuan mengambil pelajaran ini mustahil bagi orang biasa karena hanya mereka yang memahami makna quran dan menjalankan perintah dan laranganya yang mampu mengambil pelaran dari pengalaman agama yang berlangsung di alam ruh tersebut.

Kedua, orang yang senantiasa memelihara silaturahmi

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

Baca Juga  Khazanah Tafsir Nusantara: Tafsir Al-Ibriz Karya Bisri Mustafa

dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut pada hisab yang buruk (QS 13 Ar Ra’d: 21). 

Ayat ini menjelaskan betapa ulil albab adalah orang-orang yang selalu memelihara silaturahmi dan sangat takut pada Tuhan serta hisab yang buruk yang mungkin menimpanya. Ulil albab paham dan menjadikan silaturahmi baik antar keluarga sendiri maupun dengan orang-orang lain sebagai sebuah kegemaran.

Begitu pentingnya menjaga silaturahmi sehingga Allah mengancam orang yang menghancurkan silaturahmi sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

“Dan apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutus hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, dan ditulikannya telinga mereka dan dibutakan penglihatan mereka (QS 47 Muhammad: 22-23).

Kegemaran bersilaturahmi ini juga dianjurkan bagi kaum muslimin dan muslimat sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu (QS 4 An Nisaa: 1).

Di samping itu dalam sebuah hadis disebutkan bahwa siapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya panjang maka hendaknya ia bersilaturahmi (H.R. Bukhari). Silaturahmi dengan demikian mesti menjadi watak ulil albab yang faham betul maknanya sebagai bagian dari syiar Islam yang rahmatan lil alamin. Silaturrahmi berlawanan dengan sikap individualisme yang melanda masyarakat Barat moderen.

Di samping gemar bersilaturahmi seorang ulil albab juga sangat takut kepada Tuhannya terutama takut terhadap hisab yang buruk. Di akhirat kelak setiap manusia akan ditimbang amalnya.

فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ  فَهُوَ فيِ عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ  وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ  فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ

“Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka dia dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah (QS 101 Al Qari’ah: 6-9).

Ulil albab takut bila timbangan amal baiknya ringan karena hidupnya akan berakhir di neraka hawiyah yang sangat panas. Itulah sebabnya ulil albab akan menggunakan kemampuanya berpikir untuk memberi manfaat yang banyak bagi manusia.

Ulil albad yang mampu memberi pencerahan dan atau solusi bagi masyarakatnya sekecil apapun sudah barang tentu bermanfaat bagi masyarakat. Manfaat kegiatan ulil albab merupakan amal saleh sebagai tabungan yang memperbanyak amal baik pada saat ia dihisab kelak.

Baca Juga  Tafsir Ilmi: Ulama yang Menerima dan yang Menolaknya

Ketiga, orang yang mengharap rida Allah, salat, berinfak, menolak kejahatan dengan kebaikan

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (QS 13 Ar Ra’d: 22).

Ulil albad juga sabar dalam mengharap rida Allah dengan senantiasa menjaga keimanannya kepada Allah dalam semua keadaan. Mereka tetap taat dalam menunaikan salat dan selalu menginfakkan sebagian rezeki yang mereka peroleh dari Allah. Ulil albab menyadari pada rezeki mereka ada hak bagi orang miskin sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS 51 Adz Dzariat: 19) Itulah sebabnya ulil albab gemar berderma atau bersodakoh sebagai bagian dari amal saleh.

Lebih jauh ulil albab adalah juga orang yang mampu menolak kejahatan dengan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas. Shalahuddin al Ayyubi memberikan contoh yang baik pada saat ia memerdekakan kembali tanah Palestina dari penjajah kristen. Dia tidak melakukan balas dendam sama sekali bahkan mengampuni mereka yang kalah dan menyuruh mereka pergi.

Padahal pasukan kristen dahulu menjajah dengan menumpahkan darah umat Islam dengan cara-cara yang sangat kejam. Kelak perbuatan mulia ini membuat namanya sangat dikenal di Eropa.

Ulil albab yang menjalankan amal saleh sebagaimana diuraikan dalam ayat 19 sampai 22 surat Ar Ra’d ini dijanjikan surga adn sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَن صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ

“(yaitu) surga-surga Adn, mereka masuk kedalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasanganya, dan anak cucunya sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka (QS 13 Ar Ra’d: 23)


[1] Gian Tu Trung, “What is the role of intellectuals in society?”  World Economic Forum,15 Maret 2013

Avatar
6 posts

About author
Guru Besar Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta I Anggota Majelis Tabligh PWM DIY
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds