Dalam artikel sebelumnya saya menjelaskan sosok cendekiawan muslim sebagai seorang ulil albab, yakni kaum berakal. Bagi para ulil albab kisah-kisah para Nabi bukan sekedar rangkaian sejarah. Kisah-kisah tersebut juga dijadikan sebagai bagian dari proses pembelajaran ulil albab sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu (para Nabi) terdapat pelajaran (ibroh) bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS 12 Yusuf: 111)
Para ulil albab menjadikan intisari dari kisah para nabi sebagai bagian dari proses pembelajaran dalam proses pembentukan watak mereka sebagai ulil albab. Mereka memahami bahwa kisah para Nabi mengandung beberapa pelajaran yang sangat mendasar.
Nabi Ibrahim Mengamati Alam Raya (Observasi)
Nabi Ibrahim yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat penyembah berhala merasa tidak nyaman hidupnya melihat patung-patung buatan bapaknya dijadikan tuhan yang harus disembah masyarakatnya. Tidak mengherankan jika Ibrahim yang cerdas tidak ragu untuk mendebat bapaknya, Azar, yang dia pandang sesat pikir sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا ءَالِهَةً إِنِّى أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6 Al An’am: 74)
Tidak terlalu jelas kapan tepatnya Nabi Ibrahim mendapatkan kesempatan menerima petunjuk langsung atau tidak langsung dari Allah sebagaimana Nabi Nuh ( menyaksikan gunung yang hancur karena tidak kuat menerima firman Allah) atau Nabi Muhammad (yang menerima wahyu untuk pertama kalinya melalui malaikat Jibril yang membacakan ayat 1 – 5 surat Iqra). Namun dalam ayat berikut sangat kuat adanya petunjuk bahwa Allah memberi inspirasi atau wahyu kepada Nabi Ibrahim sebagai berikut:
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. (QS 6 Al An’am: 75)
Redaksi ayat di atas kemudian diikuti dengan ayat-ayat berikutnya yang menggambarkan bagaimana Nabi Ibrahim seperti mendapat petunjuk untuk mengamati gejala alam yang maha luas untuk menemukan siapa sesungguhnya Tuhan yang benar-benar pantas disembah karena beliau sama sekali tidak percaya dengan tuhan-tuhan buatan bapaknya sendiri.
***
Dalam pengamatan terhadap bukti-bukti adanya kekuasaan Tuhan inilah akhirnya Nabi Ibrahim menjadi yakin siapa sesungguhnya Tuhan Yang Maha Besar itu sesungguhnya.
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَءَاكَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّآأَفَلَ قَالَ لآأُحِبُّ اْلأَفِلِينَ
Ketika malan telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (QS 6 Al An’am: 76)
فَلَمَّا رَءَا الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّآلِينَ
Lalu ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam, dia berkata, “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS 6 Al An’am: 77)
فَلَمَّا رَءَا الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَآ أَكْبَرُ فَلَمَّآ أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِىءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS 6 Al An’am: 78)
Ketiga ayat di atas jelas memperlihatkan bagaimana Nabi Ibrahim melakukan pengamatan secara empiris gejala alam seperti keberadaan bintang, bulan, dan matahari yang masing-masing terbenam pada waktunya.
Dari pengamatan inilah Nabi Ibrahim menjadi yakin adanya Tuhan yang sesungguhnya menciptakan langit dan bumi, yang karenanya membuat bintang, bulan, matahari terbit dan terbenam secara teratur. Kekuatan apa lagi kalau bukan kekuatan Tuhan semesta alam dan Tuhan inilah yang diyakini Nabi Ibrahim sebagai Tuhan yang ilmunya meliputi segala sesuatu.
Pada titik ini perlu digarisbawahi bahwa Nabi Ibrahim sangat cerdas karena kelak pengalaman Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan diabadikan pada surat Ali Imran ayat 190-191 tentang perilaku dan proses pembelajaran ulil albab dalam mengamati penciptaan langit dan bumi.
***
Dengan bekal keyakinan yang sangat kuat tentang adanya Tuhan Yang Maha Besar inilah Nabi Ibrahim mengajak masyarakat penyembah berhala untuk tidak lagi melakukan perbuatan syirik. Sudah barang tentu ajakan ini mendapat perlawanan hebat dari masyarakatnya mulai dari ayahnya hingga kerajaan yang akhirnya memutuskan untuk membakar nabi Ibrahim.
Peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim terjadi karena pada waktu kota dalam keadaan sepi Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang ada dan membiarkan utuh berhala yang paling besar. Lalu mengalungkan kampaknya pada berhala yang paling besar. Kejadian ini membuat masyarakat marah dan rajapun memerintahkan agar Ibrahim ditangkap. Dalam keadaan tertangkap Nabi Ibrahim tetap berdakwah dengan mengatakan bahwa berhala itu tidak bermanfaat bagi mereka.
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَالاَ يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلاَيَضُرُّكُمْ أُفٍّ لَّكُمْ وَلِما تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Dan (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu. Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” (QS 21 Al Anbiya: 66-67)
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانصُرُوا ءَالِهَتِكُمْ إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ قُلْنَا يَانَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.” Kami (Allah) berfirman! “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim. (QS 21 Al Anbiya: 68-69)
***
Sikap nabi Ibrahim terhadap perbuatan syirik sangat jelas, yakni, menentang dan mengingatkan raja dan rakyatnya bahwa sikap itu tidak bermanfaat oleh karena itu harus ditinggalkan. Sikap menentang kemusyrikan ini tetap dipertahankan sekalipun beliau ditangkap atas sikapnya itu dan siap menghadapi hukuman mati dibakar hidup-hidup. Hukuman itu sama sekali tidak mengubah sikapnya menentang kemusyrikan.
Namun pembakaran dirinya tidak membuatnya mati karena Allah memerintah api agar menjadi dingin dan menyelamatkan Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah seorang Nabi yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat kebaikan (aslama wajahu lillah wahuwa muhsinin). Itulah sebabnya Nabi Ibrahim menjadi kesayangan Allah (QS 4 An Nisa: 125).
Hikayat tentang para Nabi yang lain pada dasarnya mirip, yakni, para Nabi senantiasa membela ketauhidan dan keimanan serta menentang keras kemusyrikan dan kesesatan dari agama Islam sebagai tugas utama. Tugas itu otomatis akan membuat para Nabi mengingatkan para raja, elit dan masyarakatnya yang anti-Tuhan agar kembali ke jalan yang lurus.
Nabi Nuh, Nabi Musa mereka semua membawa risalah kenabian yang mengajarkan ketauhidan, jalan lurus, dan menentang kemusyrikan yang menjadi sifat para raja dan masyarakat dimana para Nabi diturunkan untuk membawa peringatan. Perlu diperhatikan disini bahwa tugas utama para Nabi adalah memberi peringatan.
Kritis Terhadap Pemimpin
Pelajaran yang dapat dipetik dari para Nabi adalah bahwa proses pembelajaran ulil albab memiliki tanggung-jawab besar untuk mengingatkan tindakan-tindakan syirik dan zalim yang senantiasa melekat pada para pimpinan pemerintah dimasa itu. Tugas utama ulil albab dengan demikian adalah mengingatkan elit dan menjadi cahaya bagi para elit dan masyarakatnya agar selalu dalam koridor keimanan dan ketauhidan.
Jika terjadi penyimpangan ulil albab dituntut untuk berdiri paling depan dalam meluruskan jalan yang bengkok agar kembali lurus kedepan sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini:
اذْهَبَآ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى {43} فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun. Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut (QS 20 Taha: 43-44)
Perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun sangat jelas bahwa Fir’aun yang melampaui batas harus diingatkan sehingga Allah memerintahkan mereka berdua berbicara kepada Fir’aun. Ayat ini juga menegaskan bahwa dalam mengingatkan seseorang haruslah dilakukan dengan bahasa yang lemah lembut. Karena dengan cara yang lemah lembut diharapkan Firaun akan menjadi ingat atau takut kepada Allah.
***
Pesan dari ayat tersebut adalah bahwa berdakwah haruslah dilakukan dengan bahasa yang lemah lembut penuh dengan sopan santun. Terlepas dari tujuan dakwah tercapai atau tidak namun prinsip lemah lembut dalam berdakwah, atau dalam mengingatkan para pimpinan negara, ini sangat penting untuk diperhatikan dan dijalankan oleh para cendekiawan.
Sudah barang tentu Fir’aun yang merasa dirinya sebagai tuhan menolak peringatan yang diberikan Nabi Musa. Pada akhirnya Fir’aun memutuskan untuk mengejar Nabi Musa yang kemudian berakhir hidupnya karena ditelah air laut sebagai cara Allah menghentikan kezaliman Fir’aun.
Sejarah pertemuan Nabi Musa dan Fir’aun merupakan sebuah legenda yang patut dicontoh para ulil albab. Bahwa ulil albab, yang memiliki pengetahuan, sebagaimana Nabi Musa yang mendapat perintah dari Allah untuk mengingatkan Fir’aun yang melampaui batas, memiliki kewajiban untuk mengingatkan para ulil amri atau pemegang kekuasaan jika mereka telah melakukan tindakan yang melampaui batas.
Secara lebih umum ulil albab memiliki peran sebagai cahaya bagi para pemegang kekuasaan baik sebagai penasehat diwaktu negara aman tentram atau sebagai penasehat disaat negara ditengah kekacauan atau dibawah penguasa yang zalim. (Bersambung).