IBTimes.ID — Seiring dengan meningkatnya perhatian pemerintah dan korporasi terhadap perkembangan transisi energi di Indonesia, yang mencakup dukungan kebijakan, infrastruktur, hingga ketenagakerjaan, umat Islam dianggap memiliki potensi signifikan untuk mendukung transisi energi berkeadilan. Pernyataan ini disampaikan dalam acara MOSAIC TALK bertema “Transisi Energi dalam Perspektif Islam,” yang diadakan di Perpustakaan Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada Sabtu (22/3).
Hening Parlan, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah dan Pendiri Greefaith mengatakan, data dari berbagai riset menunjukkan muslim Indonesia percaya untuk melakukan inisiatif perubahan dalam menjaga dan merawat bumi sebagai wujud wakil Allah di muka bumi atau khalifah fil ardh. Ia menekankan bahwa sebagai khalifah, maka sudah seharusnya umat Muslim berusaha memulai transisi energi sebagai upaya memulihkan bumi yang semakin rusak akibat penggunaan energi fosil yang berlebihan.
“Transisi energi yang berkeadilan adalah wujud pengamalan Al-Qur’an tentang adil yang ada banyak sekali kata adil di dalamnya,” tegasnya.
Menurut Hening yang juga penulis buku ‘Fikih Transisi Energi Berkeadilan’ harus ada keseimbangan bagaimana kita tidak terus menggunakan energi fosil yang eksploitatif ke arah pemanfaatan energi secara adil dan seimbang serta bahwa penting untuk menggerakkan inisiatif-inisiatif transisi energi berkeadilan di level umat.
“Dukungan kebijakan hingga bantuan teknis diperlukan agar berbagai inisiatif ini menjadi sesuatu yang lebih besar,” jelasnya.
Sependapat dengan Hening, Anindita Satria, Vice President Energy Transition and Sustainability PLN menyebutkan bahwa agama bisa menjadi ruang untuk masuk dalam kampanye transisi energi berkeadilan. “Ada banyak ajaran agama yang bisa dimanfaatkan sebagai kontribusi kita sebagai umat Muslim dalam menjaga kehidupan bumi melalui praktik transisi energi berkeadilan seperti program Sedekah Energi dan Puasa Energi,” ungkapnya.
Sebagai korporasi, Anindita menerangkan PLN mendukung komitmen pemerintah Indonesia terhadap perubahan iklim di Perjanjian Paris dalam target-target jangka pendek, menengah, hingga panjang. “PLN akan terus mengimplementasikan semua inisiatif transisi energi untuk mencapai pemenuhan Nationally Determined Contribution Indonesia pada 2030 serta net zero emissions pada 2060.”
Sementara itu, Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi serta Wakil Ketua Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau menjelaskan bahwa pengurangan rasio penggunaan energi berbasis fosil untuk pembangkit listrik menjadi cara terbaik dalam mewujudkan transisi energi berkeadilan untuk saat ini.
“Sektor pembangkit listrik saat ini menjadi yang paling besar menggunakan energi fosil. Fokus pemerintah adalah membangun pembangkit listrik yang menggunakan lebih sedikit fosil seperti sel surya, panas bumi, dan potensi-potensi energi baru terbarukan lainnya,” paparnya.
Menurutnya, pemerintah ingin mewujudkan transisi energi berkeadilan mulai dari sisi ekosistem industri hingga pengguna. “Kita ingin penggunanya bagus, tapi juga industrinya juga harus bagus. Jangan sampai nanti kita pakai teknologi hijau tapi justru mengurangi tenaga kerja,” tuturnya.
Senada dengan apa yang disampaikan di atas, Prof. Drs. Anwar Sanusi, MPA., Ph.D., Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bahwa perlu pemetaan yang menyeluruh untuk mengurangi kesenjangan antara kompetensi dengan tuntutan pekerjaan terkait bidang transisi energi.
“Jika tidak kita tidak petakan dengan baik akan memunculkan ketidakadilan seperti isu penggajian hingga ketimpangan gender,” terangnya.
Anwar menjelaskan penting untuk menempatkan sensitivitas gender dalam transisi energi berkeadilan. Salah satunya melalui regulasi perlindungan kesejahteraan sosial yang mengatur hak-hak pekerja perempuan. “Kita ingin transisi berkeadilan ini adalah sebagai sebuah kata kunci untuk membawa peningkatan keterampilan dan taraf hidup pekerja terutama di sektor-sektor yang ekonominya sedang berkembang,” tegasnya.
MOSAIC TALK merupakan bagian ‘Ramadan Festival: Islamic Philanthropy for Climate Action’ sebuah mini festival kolaborasi MOSAIC dengan Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (DPP UGM) dan Pares yang berupaya untuk menggabungkan nilai-nilai Islam dengan aksi nyata untuk lingkungan seperti Sedekah Energi dan Hutan Wakaf.
Acara ini mengajak komunitas Muslim untuk belajar, berkolaborasi, dan berkontribusi dalam upaya dekarbonisasi dan keberlanjutan melalui talkshow, pertunjukan seni, dan aktivitas interaktif. “Sesi diskusi di Ramadhan Festival Islamic Philanthropy for Climate Action adalah salah satu upaya kami menggabungkan nilai-nilai Islam dengan aksi nyata untuk bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan,” jelas Abdul Gaffar Karim, Dewan Pembina MOSAIC sekaligus Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.
(Soleh)