Oleh: KH. Mas Mansur*
Kita dapat menetapkan kebenaran sesuatu agama itu bukan diukur dari keadaan pemeluknya, tetapi diukur dari mata air agama itu sendiri. Kalau memangnya agama itu agama yang benar, kita harus membongkar lebih dahulu kepada undang-undang yang dibawanya. Kalau memang undang-undang yang dibawanya itu mencocoki Sunnatul Uluhiyah (Ketuhanan) dan berdasar menurut peri kemanusiaan, maka itulah agama yang benar, agama sejati, agama yang memangnya dari Dzat Yang Esa: Allah SWT.
Tetapi heran. Setelah kita selidiki agama tadi dan mengakui kebenarannya itu, tiba-tiba dengan tak disangka-sangka kita lalu murtad daripadanya karena melihat. Bahkan boleh dikatakan; bertambah naik peil kemajuan dan bertambah merdeka ia menjalankan kehendak hatinya yang sangat leluasa itu, bertambah lupalah ia akan undang-undang agamanya, belas kasihan atas sesama manusia sudah agaknya tiada akan terbayang lagi di dalam hatinya.
Wet keadilan sudah ditinggalkan jauh tercecer di suatu tempat yang sunyi. Ia tak diindahkan lagi, selama kepandaian untuk merampas hak milik orang lain masih ada, keadilan nanti dulu. Rasa belas kasihan kepada sesama makhluk biarlah dia tinggal dahulu tersimpan di dalam dada, ia tak boleh keluar sebelum hati merasa puas…
Watak Manusia
Demikianlah agaknya perasaan yang timbul dari hati sebagian manusia. Tetapi, apakah sebabnya maka demikian? Apakah gerangan sebabnya, maka roh keadilan dan rasa belas kasihan itu hanya berjalan cuma sekian lama saja? Itu semuanya tak lain yang menjadi sebabnya ialah karena jiwa mereka sudah terlampau tamak dan merasa tidak puas ada padanya sehingga masih perlu ia mengarahkan tujuannya kepada hak milik orang lain.
Satu lagi sebabnya maka demikian, dan inilah boleh dikatakan menjadi sebab yang terutama, ialah karena mereka tidak hendak mengindahkan lagi kepada undang-undang alam, wet masyarakat, dan tuntunan agamanya. Sedang manakala ia telah lalai dan lengah kepada wet alam dan undang-undang agamanya tadi terus-menerus, maka janganlah mengharap bahasa dunia akan tenteram, masyarakat akan terhias dengan nur keadilan dan kesopanan, itu jauh akan didapat. Sungguh jauh. Sekali lagi jauh.
Hal ini kami tanggung benarnya, karena ditilik dari segi keadaan manusia yang telah berwatak loba, rakus akan kekayaan ia merasa benar kepada pendapat akalnya sendiri-sendiri. Padahal, di samping akal yang waras itu harus berdiri suatu “penuntun” ialah peri kemanusiaan (wet alam dan tuntunan Illahi atau agama).
Demikianlah sekedar pemandangan kita untuk memasuki “punt” (Belanda: titik—ed.) tercantum di atas yang mana sengaja kata-kata tadi kita lahirkan walaupun agak pahit, tetapi tidak mengapa. Karena dari sana kita akan dapat mengetahui bagaimanakah keperluan masyarakat manusia ini kepada agama Islam.
Persangkaan yang Salah
Sebagian besar dari pemeluknya yang bernasib hina, melarat, dan terjepit, lalu dengan terus terang kita mengatakan bahasa agama itu menjadi agama yang hina pula. Persangkaan yang demikian itu salah adanya. Ya kalau ada yang merasa keberatan akan mengakui kepada apa yang telah kita terangkan di atas tadi, baik, boleh, silahkan, tidak mengapa tuan akan menunjukkan beberapa alasan, tunjukkanlah.
Kalau tuan mengambil ukuran atas menetapkan dakwaan yang tuan ajukan itu ialah karena melihat nasib umat Islam dewasa ini, kita ingin menanyakan: “bagaimanakah keadaan ummat Islam di masa dahulu, di masa sahabat-sahabat dan tabiin-tabiin sehingga sampai zaman daulat Umawiyah dan Abasiyah, siapakah yang menampakkan kemuliaan, ketinggian budi, ketinggian pengetahuan dan kecerdasan, bukankah ummat Islam?”
Tarikh telah membuktikan bahasa yang menjadi teladan dewasa itu tak lain dari umat Islam jua. Mau bukti? Boleh.
Jadi, bilamana kita akan berani bersitegang urat leher mengatakan bahwa sesuatu agama itu menjadi rendah karena terbawa oleh keadaan pemeluknya, maka kita pun berani pula mengingatkan bahwa dakwaan yang demikian itu tidak akan terdapat dalam dada orang yang sehat dan merdeka ditentang pikirannya. Tetapi karena terbawa dan terpengaruh oleh suatu keadaan yang keluar dari batas kecerdasan dan ingin akan memperdewakan dirinya, ingin akan membuat dirinya sebagai tuan yang memerintah alam ini, merasa sempit kalau ia diberi batas oleh suatu undang-undang.
Ia bercita-cita akan memerdekakan pikirannya, jangan hendaknya pikirannya itu dihalang-halangi, tetapi biarlah dia berjalan terus… terus sampai ke ujung yang tak terbatas, walaupun akibatnya akan merusak peri kemanusiaan.
Islam Tetap Mulia
Bagi orang yang demikian ini, agama itu dipandangnya sebagai tabir kemajuan karena ditilik dari pemeluknya yang bernasib malang itu. Lalu timbul dalam hatinya hendak membenci agama, dituduhnya bahwa agama Islam itu agama pelemah, agama penghalang enz, enz.
Hal ini sengaja kita sajikan karena kita maklum, bahwa di tanah air kita Indonesia ini sebagian banyak dari kaum terpelajar kita yang lari dari agama Islam lantaran mereka merasa ragu-ragu. Disebabkan oleh keadaan pemeluknya yang pada masa ini sedang berada di lapisan yang rendah, rendah, dan sungguh rendah martabat kedudukannya kalau dibandingkan dengan umat yang lain. Tetapi di samping kerendahan bangsa kita dewasa ini adalah boleh dikatakan karena kita sendiri bukan karena Islam. Bukan karena Muhammad dan karena Quran dan Hadisnya.
Islam tetap tinggi, tetapi umatnya belum tentu sebagai dia. Biar ummatnya terpandang hina-dina, namun dia (Islam) tetap mulia. Kehinaan umatnya bukan menunjukkan atas kehinaannya. Tegasnya, kehinaan dan kebenaran serta kemuliaan pemeluk sesuatu agama itu bukan menjadi ukuran atas kehinaan agama yang dipeluknya. Tetapi ukuran kebenaran dan kerendahan suatu agama itu, ialah tersimpan di mata air agama itu sendiri.
Disusun oleh: A.M. Ampanany
*) Sumber: Adil, nomor 40 VIII/6 Juli 1940 dengan penyuntingan
Editor: Nabhan